"Sungguh Cemerlang wahai engkau Waisak Purnama
Tulus di hati kulantunkan sebuah Doa
Semoga tiada lagi tangis dan derita
Sempurnanya sebuah uraian, raga dan cita"
Prajnavira - Purnama Waisak 2011/2555
SETIAP tahun umat Buddha memperingati tiga peristiwa agung yang telah menjadi fondasi keyakinan (Sradha) Bulan purnama yang paling sempurna di dalam tradisi umat Buddha diseluruh dunia. Tiga peristiwa besar itu adalah kelahiran Sidharta Gautama, pencerahan sempurna beliau menjadi seorang Buddha, dan wafatnya Hyang Buddha.
Peringatan tahunan ini hanyalah akan menjadi sebuah tradisi bila kita mengabaikan makna dibalik cemerlangnya rembulan Waisak. Momentum yang indah ini perlu diimbangi dengan sebuah langkah nyata yang bisa kita realisasikan untuk memajukan kehidupan bersama yang lebih baik.
Waisak pada tahun ini membawa hikmah akan teguran alam yang sudah berada pada ambang batas toleransi. Peringatan alam ini telah terealisasi pada bencana alam yang bertubi-tubi bukan saja di bumi Nusantara, tetapi di manca Negara seperti yang terjadi di Jepang beberapa bulan yang lalu. Puluhan ribu jiwa yang tidak terselamatkan dan juga ribuan umat manusia yang terkena dampak radiasi telah membuka mata fisik dan juga hati nurani kita akan sebuah bumi yang tidak lagi asri alami namun sebuah bumi yang sedang murka sebagai reaksi dari perbuatan manusia.
Napak tilas Waisak tahun ini bertumpu pada pemulihan dan perlindungan lingkungan hidup. Bercermin pada kelahiran sang pangeran Siddharta di taman Lumbini yang indah, pencapaian penerangan sempurna di hutan Gaya, pembabaran ajaran yang pertama di taman rusa Isipatana, dan pencapaian penerangan sempurna di bawah pohon Sala kembar di Kusinara, semuanya berkaitan dengan lingkungan hidup yang asri.
Tiga peristiwa suci Waisak memberikan inspirasi kepada kita semua akan pentingnya lingkungan hidup yang alami sebagai sumber kekuatan spiritual dan praktek Dharma pada kehidupan sehari hari. Mencintai dan menjaga kelestarian alam akan mengurangi bencana-bencana alam yang pada akhirnya merugikan kehidupan manusia di bumi.
Layaknya sebuah perjuangan seorang pangeran mencapai kesempurnaan, bangsa Indonesia dan dunia juga mengalami proses dalam menanggulangi bencana alam dan krisis moral serta perdamaian dunia. Melalui berbagai macam rintangan penduduk bumi ini terus berupaya untuk berdamai dengan alam demi tercapainya kehidupan yang lebih baik dan stabil.
Tri Suci Waisak dan kehidupan bangsa-bangsa di dunia termasuk bangsa Indonesia yang sedang membangun sebenarnya tidak jauh berbeda dipandang dari sudut Dharma. Keduanya menekankan pada subjek yang sama, yaitu manusia. Sejak penerangan sempurna, Buddha bekerja keras setiap hari, memancarkan kasih sayang dan kebijaksanaanya, menyalurkannya dengan berbagai cara agar semua mahluk mendapat manfaat kebahagiaan.
Harmonisasi Pemerintahan
Pada masa globalisasi ini hendaknya kita sadar bahwa tindakan yang kita perbuat akan menimbulkan dampak yang akhirnya berpulang kepada kita sendiri. Ibarat kata pepatah, jangan menabur angin bila tidak ingin menuai badai.
Tantangan mendasar antara waisak dan era globalisasi ini juga bisa dikatakan sejalan. Menjernihkan hati dan pikiran bermula dari pengikisan tiga akar kejahatan, lobha, dosa, dan moha. Menengakkan pondasi demokrasi juga membutuhkan para pemimpin bangsa ini menjauhi sifat kebencian, keserakahan, dan kebodohan batin.
Di tengah kancah dunia yang serba tidak pasti, keharmonisan sebuah pemerintahan dan rakyat melalui mekanisme feedback yang sesuai merupakan pilihan terbaik dibanding dengan cela-mencela, tuding-menuding, dan fitnah yang dilandasi dengan kebencian.
Pesta demokrasi di indonesia baru saja selesai. Pemilihan calon calon legislatif yang mewakili suara rakyat dalam meracik tata hukum negara juga akan berlangsung. Perhatian kita tertuju pada partai partai yang akan berkoalisi membentuk sebuah kekuatan yang besar. Pertanyaan mendasar di hati setiap kita apakah koalisi ini akan menjadikan kehidupan demokrasi yang lebih baik dan betul betul memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan hanya golongan koalisi partai yang semakin kuat.
Tri Suci Waisak yang memperingati wafatnya seorang Buddha mengingatkan kita tentang sebuah pilihan hidup dan pengabdian. Seperti pepatah gajah mati meninggalkan gading, manusia wafat meninggalkan jasa. Kejujuran, kesadaran, dan pengabdian telah dipilih oleh Hyang Buddha untuk kebahagiaan orang banyak melampaui batas geografi dan waktu.
Demikianlah visi dan misi pemerintahan yang baru, bila dapat mengikuti jejak mulia Hyang Buddha, maka bangsa Indonesia akan bisa menjadi bangsa yang besar, yang pemimpinnya bekerja sepenuh hati untuk kepentingan rakyat banyak, layaknya seperti seorang Bodhisattva, yang tidak mengenal lelah mendengar keluhan, dan berupaya agar semua orang bisa terbebas dari penderitaan.
Dengan segenap kerendahan hati, saya mengajak semua umat Buddha untuk menanamkan tekad yang baik, menyalurkannya kepada kehidupan yang harmonis di bumi Indonesia. Biarkanlah semangat Waisak tahun ini menjadi sebuah rintik hujan yang meneduhkan kemarau panjang akibat dari pemanasan global. Semoga teguran alam dalam berbagai bentuknya mampu mengendalikan keserakahan manusia dan memberi pandangan yang benar akan perbadaan antara kebutuhan dan keinginan demi kelestarian lingkungan yang mendukung perbaikan segi-segi kualitas kehidupan itu sendiri.
Semoga semua mahluk hidup damai dan berbahagia.
Boddhicitta,
Bhiksu Prajnavira Mahasthavira
Sekjen World Buddhist Sangha Council
Pendiri Asosiasi Buddhis Center Indonesia
Pimpinan Vihara Mahavira Graha Semarang
(Bhiksu Prajnavira Mahasthavira/CN27)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/14 Mei 2011
0 komentar:
Posting Komentar