JAKARTA - Mabes Polri menyatakan kesulitan membongkar kasus pemalsuan dokumen Surat Keputusan (SK) Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa Pemilu Legislatif di Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan I. Sebab, sejauh ini tidak ada laporan polisi dari pihak MK dan penyidik belum mendapatkan surat asli yang dipalsukan. Perkara tersebut melibatkan mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang kini menjadi Ketua Divisi Komunikasi Publik DPP Partai Demokrat, Andi Nurpati, dan calon anggota DPR dari Partai Hanura, Dewi Yasin Limpo.
Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komjen Ito Sumardi meminta MK membuat laporan polisi sesuai dengan prosedur hukum acara untuk mempermudah penyelidikan. Sesuai dengan prosedur, laporan polisi tidak cukup dengan surat tertulis seperti yang dilakukan Ketua MK, Mahfud MD.
’’Pihak pelapor siapapun orangnya, tak terkecuali Mahfud MD, harus membuat laporan polisi untuk proses penyelidikan dalam suatu perkara,’’ jelas Ito di Mabes Polri, Rabu (22/6).
Dia menegaskan, pihaknya tidak menunggu inisiatif dari pihak MK untuk membuat laporan polisi atas kasus tersebut. Namun, penyidik telah meminta pihak MK untuk membuatnya. ’’Bukan menunggu, tetapi kami meminta. Kalau yang diminta belum memberikan, lalu bagaimana?’’ katanya.
Menurut dia, sejauh ini pihak MK belum menyelesaikan laporan polisi sesuai dengan prosedur. Sebab, salah satu panitera MK hanya menyerahkan surat laporan dari MK dan belum membuat laporan polisi. ’’Dulu pihak yang menyampaikan surat berjanji akan membuat laporan polisi secara resmi, sehingga kami menunggu.’’
Kesulitan lainnya, lanjut Ito, penyidik belum mendapatkan SK asli yang dipalsukan, penyidik baru mendapatkan salinan SK tersebut. ’’Untuk penyelidikan forensik perlu ada yang asli dan yang palsu. Ini yang masih kita minta,’’ tandasnya.
Kendati demikian, Ito mengatakan, penyidik tetap melakukan penyelidikan dan tengah mengumpulkan alat bukti terkait kasus tersebut dan belum ada pihak yang ditetapkan sebagai tersangka. Sejuah ini penyidik juga belum menemukan unsur pidana.
’’Penyelidikan jalan terus, apakah itu memenuhi unsur pidana untuk diteruskan ke proses penyidikan, tentunya kami harus mengumpulkan saksi-saksi semua. Ini baru ada dugaan terjadi tindak pidana, tugas penyidik mengumpulkan alat bukti, jangan sampai diajukan ke JPU, tidak memenuhi alat bukti.’’Ito menegaskan, pihaknya belum berencana memeriksa Andi Nurpati. Sebab, penyidik belum menemukan keterkaitan Andi dengan perkara tersebut.
Hakim Arsyad
Sementara itu, Ketua MK Mahfud MD menuding mantan hakim konstitusi Arsyad Sanusi yang mengkonsep surat palsu dalam kasus dugaan pemalsuan dokumen Pemilu 2009. ’’Surat palsu itu yang buat dia. Justru karena administrasi disini bagus, jadi ketahuan,’’ katanya kepada wartawan di gedung MK, Jakarta, Rabu (22/6).
Dia menambahkan, Arsyad terlibat dalam dua kasus sengketa pemilu di MK. ’’Perkara pemilu ada 1.460 perkara di sini, yang muncul dua dan itu melibatkan Pak Arsyad,’’ tegasnya.
Mahfud meyakini Arsyad Sanusi terlibat kasus dugaan pemalsuan surat tersebut. ’’Jadi, ada kemajuan bahwa Pak Arsyad sekarang mengaku kalau pernah menerima Mashuri Hasan (juru panggil MK),’’ katanya.
Dia tidak sepakat dengan pernyataan Arsyad di salah satu surat kabar nasional yang membantah pertemuan dengan juru panggil MK Mashuri Hasan untuk membuat draf surat palsu. Pernyataan Arsyad menyebut bahwa pertemuan itu bukan untuk menambahkan isi dari surat MK terkait kursi di DPR RI yang saat itu bisa menjadikan Dewi Yasin Limpo sebagai pemenang kursi, melainkan hanya membuat draf putusan sengketa pemilu dinilai tidak benar. ’’Nah, ini sama sekali tidak benar,’’ ujar Mahfud.
Menurut Arsyad, juru panggil itu hanya diminta mengetik rumusan putusan suatu perkara serta diminta jangan mengubah-ubah apapun mengenai subtansi putusannya.
Mahfud mengatakan, Arsyad bukanlah hakim yang memegang tanggung jawab soal putusan sengketa pemilu legislatif terkait kepemilikan kursi DPR di Dapil Sulsel. Putusan sudah dijatuhkan Juni 2009, sementara pertemuan tersebut dilangsungkan tanggal 16 Agustus 2009.
’’Ini sama sekali tidak benar karena vonis itu sudah diucapkan bulan Juni dan sudah ada nomor dan sudah diketok kenapa masih dibuat rancangannya lagi tanggal 16 Agustus, di rumah Pak Arsyad. Itu kesalahan yang pertama,’’ ujar Mahfud.
Kesalahan lainnya, hakim konstitusi yang bertanggung jawab atas perkara itu adalah Harjono dan bukan Arsyad Sanusi. Kendati demikian, menurut Mahfud, sekarang kasus dugaan pemalsuan surat ini sudah ada titik terang karena Arsyad mengakui bertemu dengan Mashuri Hasan. ’’Tapi materinya yang ditolak. Padahal vonis itu sendiri sudah jadi, ini masalah surat bukan vonis.’’
Mahfud mempersilakan Arsyad Sanusi membongkar seluruh kebobrokan di MK. ’’Pak Arsyad dengan emosinal marah akan membongkar borok MK, ini yang saya tunggu. Bongkarlah kalau perlu bawa traktor,’’ ujarnya.
Pernyataan Mahfud ini menanggapi ancaman Arsyad Sanusi, yang akan membongkar seluruh borok MK pascagonjang-ganjing kasus surat palsu MK yang ramai dibicarakan publik.
Arsyad Sanusi, sebelumnya membantah keras jika dirinya terlibat dalam kasus pemalsuan surat terkait calon legislatif terpilih dalam pemilu 2009.
Menurut Mahfud, ancaman Arsyad sebenarnya sudah pernah muncul dalam sidang majelis kehormatan hakim (MKH), yang dibentuk MK untuk menyidangkan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Arsyad.
’’Dia pernah mengancam yang sama ketika kasus Dirwan Machmud terungkap, di dalam forum hakim dia mengancam akan hancurkan MK. Saya persilakan,’’ tegas Mahfud.
Peran Dominan
Ketua Komisi II DPR Chairuman Harahap menilai, mantan anggota KPU Andi Nurpati punya peran dominan dalam kasus surat palsu MK berdasarkan keterangan yang disampaikan MK kepada Panja Mafia Pemilu. ’’Peran Andi dominan, karena dia menghubungi panitera MK, Zainal Arifin untuk menyerahkan surat palsu,’’ ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (22/6).
Oleh karena itu, Panja Mafia Pemilu akan memanggil Andi Nurpati untuk dimintai keterangan terkait pengambilan keputusan dalam rapat Pleno KPU tanggal 2 September 2009, dimana saat itu surat palsu digunakan sebagai dasar mengambil keputusan. ’’Padahal, sudah diketahui ada surat lain karena Bawas Pemilu pada hari itu sudah mengajukan protes,’’ kata Chairuman.
Dia menambahkan, Panja juga akan mendalami asal surat yang disebut palsu itu dengan meminta keterangan dari mantan Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi, mantan juru panggil MK, Mashuri Hasan, serta Dewi Yasin Limpo. ’’Semua nanti akan kita panggil, tapi tidak berbarengan. Kalau Nesha (putri Arsyad-red) belum, kita lihat dulu keterangan Pak Arsyad,’’ ujarnya.
Sementara itu, anggota Komisi II dari Fraksi Partai Demokrat, Ramadhan Pohan merasa yakin bahwa Andi Nurpati yang kini menjabat sebagai Ketua Divisi Komunikasi Publik DPP Partai Demokrat tidak terlibat dalam kasus tersebut. ’’Kita percaya Ibu Andi tidak terlibat dalam kasus ini,’’ katanya.
Menurut dia, Panja justru melihat lebih banyak keterlibatan pihak MK dalam kasus dugaan pemalsuan surat MK itu. Untuk itu, aparat hukum harus segera menuntaskan kasus ini. ’’Justru, orang-orang dalam MK yang terlibat. Nah, ini kan belum kesimpulan, ini masih sementara. Dan akan lebih cantik lagi kalau seandainya penegak hukum masuk di dalam permasalahan ini,’’ ujarnya.
Adapun anggota Komisi II Al Muzzamil Yusuf menegaskan, dari keterangan Ketua MK Mahfud MD, tidak ada alasan bagi Polri untuk tidak memproses lebih lanjut kasus ini dengan memeriksa pihak-pihak yang terlibat dalam kasus ini. Polri harus segera memeriksa tokoh kunci dari kasus ini, di antaranya mantan Anggota KPU Andi Nurpati, mantan Hakim MK Arsyad Sanusi, dan staf MK Mashuri Hasan.
Apalagi, Polri sudah membuat kesepakatan dengan MK, MA, Kejaksaan, KPU, dan Bawas Pemilu bahwa kasus pemalsuan dan penggelapan surat negara bukanlah kasus sengketa Pemilu yang kedaluwarsa, namun merupakan kasus pidana yang diatur dalam KUHP pasal 263 dan 372.
’’Jadi kasus ini bukan kasus sengketa pemilu. Ini kasus pemalsuan dan penggelapan dokumen negara yang direncanakan oleh para mafia pemilu,’’ tegasnya.(K24,D3J22,K32,H28-25,35)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com//23 Juni 2011
0 komentar:
Posting Komentar