KECAMATAN Lebaksiu yang berada disebelah selatan jantung kota Slawi, selama ini sudah dikenal dengan martabaknya. Hal ini lantaran rasanya yang khas dan aromanya yang menggoda membuat martabak buatan Lebaksiu terkenal di seluruh penjuru tanah air. Selain martabak, Lebaksiu juga dikenal dengan Pondok Pesantren Babakan dan wisata ritual 'Rabu Pungkasan'. Wisata ritual yang dilaksanakan setiap rabu terakhir di bulan shafar tersebut banyak dikunjungi warga dari luar kota.
Seperti yang dituturkan Arifin (59), warga Perbalan 780 Jomblang Semarang ini. Dia mengaku sudah empat kali ziarah ke Bukit Sitanjung setiap rabu pungkasan tiba. "Saya bersama rombongan naik ke puncak Bukit Sitanjung sejak pukul 05.00 WIB dan turun pada pukul 09.00 WIB. Dan sebagai piranti turun biasanya saya membawa bambu sebagai alat bantu," tutur pensiunan Dinas Perikanan ini. Tak ditampiknya bila musim hujan tiba hampir seluruh jalan menuju ke atas menjadi licin. Disinilah para peziarah dituntut sekuat tenaga dengan alat seadanya seperti bambu agar bisa sampai ke tempat tujuan.
Hal senada juga dilontarkan Nur Irianto (49) yang selalu dipercaya menjadi ketua panitia rebo pungkasan. Dia mengakui kondisi jalan licin menuju tempat ziarah di Bukit Sitanjung dimusim penghujan membuat penurunan jumlah pengunjung. “Sudah dua rabu pungkasan mas, yakni 2010 dan 2011 bertepatan dengan musim hujan. Hal ini membuat suasana rabu pungkasan tak seramai tahun-tahun lalu,”terangnya.
Biasanya, menurut warga RT 01/ RW 08 Desa Lebaksiu Lor, Kecamatan Lebaksiu tersebut sejak pukul 9.30 WIB kawasan sudah ramai dikunjungi pengunjung. Namun bila kondisi licin, hingga memasuki pukul 9.30 WIB suasana masih sepi. Hal ini disebabkan cuaca yang kurang mendukung. "Berkurangnya pengunjung belakangan ini juga disebabkan tidak ada hiburan, karena tidak adanya dukungan sponsor. Jadi mereka yang datang kesini karena murni ziarah dengan maksud cari jodoh bagi yang masih sendiri dan peruntungan bagi para pedagang," celotehnya.
Disinggung soal harga tanda masuk, dia menegaskan bahwa tidak ada tiket resmi yang ada hanya kotak yang disediakan panitia. Dan pengunjung secara sukarela memberikan uang tanda masuk pada panitia. Besarannya pun beragam antara Rp 2.000 hingga RP 1.000, dan tidak sedikit yang tidak memberi. Hasil yang diperoleh dari para pengunjung tersebut menurutnya digunakan untuk membantu pembangunan yang ada di Desa Lebaksiu Lor, seperti pembangunan jalan, jembatan, tempat ibadah dan lain-lain.
Dengan kendala yang dihadapinya, pihaknya berharap ke depan agar lebih baik lagi dalam segala hal terutama kepanitiaan sebagai ujung tombak suksesnya suatu kegiatan. “Dengan kepanitiaan yang handal, Insya Allah sponsor akan datang dengan sendirinya,” katanya. Terpisah Kepala Desa Lebaksiu Lor Drs Ahmad Husein mengaku tradisi rabu pungkasan di desanya sudah dilaksanakan turun temurun. Konon katanya diatas Bukit Sitanjung ada makam Mbah Grinsing yang sakti mandraguna. Disanalah para peziarah memanjat do'a meminta jodoh bagi yang masih sendiri dan mendapat rezeki yang barokah bagi para pedagang dan lain-lain kepentingan yang ada dalam hati para pengunjung. "Kami punya keinginan agar momentum rabu pungkasan dilakukan lebih lama lagi maksimal satu minggu. Jadi ada acara pra Rabu pungkasan diisi dengan festival rebana, terbang kencer, pasar murah, pameran dan lain-lain," tegasnya.
Dan malam hari rabu pungkasan diadaan do'a bersama. Puncaknya, grebeg pungkasan dengan cara keliling desa dan diakhiri dengan saling lempar air kali gung (ciret-ciretan). Namun, rencana tinggalah rencana, berulang kali ide tersebut sempat dia lontarkan, dan berulang kali pula gagsan ini mengalami kegagalan. Meski demikian, dirinya tetap berharap agar suatu saat idenya dapat terlaksana. Sehingga pelaksanaan rabu pungkasan di desanya dapat lebih terorganisir, meriah dan menyumbang pendapatan lebih banyak lagi bagi desa dan warganya. (her)
Sumber Berita : Radar Tegal 17 Juni 2011
0 komentar:
Posting Komentar