BENCANA alam telah menjadi hal biasa di Republik ini. Hampir tidak ada sejengkal daerah yang dapat lepas dari keganasan alam Indonesia. Mulai dari banjir, tanah longsor, angin ribut, gempa bumi, tsunami, dan gunung meletus, silih berganti menerjang bumi Indonesia.
Alam ini tampaknya ingin menyampaikan sesuatu. Alam Indonesia sudah rusak, yang diakibatkan oleh ulah manusia. Mereka serakah, ingin kaya dari alam, tetapi tidak memperhatikan keseimbangan makrokosmos.
Ketidakseimbangan makrokosmos ini menunjukkan tidak adanya sinergi antara manusia dan alam. Alam dieksploitasi sumber dayanya tanpa memedulikan kelestariannya.
Maka dari itu, sudah saatnya seluruh elemen bangsa Indonesia merenung dan berpikir. Bahwasanya manusia butuh bumi. Bumi sebagai tempat manusia hidup. Bumi sebagai tempat manusia meneruskan keterunannya.
Akan tetapi, apa yang terjadi, manusia ternyata belum mampu bersinergi dengan alam. Alam seringkali dieksploitasi tanpa memedulikan keseimbangan makrokosmos bumi. Hal ini mengakibatkan alam hancur. Alam tidak mampu menyerap air hujan dan mengakibatkan banjir.
Agenda Besar
Guna menyelamatkan alam dari kehancuran, diperlukan sebuah agenda besar penyelamatan lingkungan. Menurut Emil Salim (1996), bisa dilakukan dengan beberapa tindakan.
Pertama, penyelamatan air dari eksploitasi berlebihan dan pencemaran yang terus meningkat tajam. Air adalah salah satu sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui. Air kadang dapat memberi manfaat bagi manusia. Akan tetapi, suatu saat dapat memberikan mudarat (kerugian) bagi manusia.
Air sudah saatnya dihemat untuk hari depan. Yaitu dengan, mematikan kran ketika sudah tidak dipakai lagi. Lebih dari itu, hasil limbah buangan pabrik sudah saatnya diolah agar tidak menimbulkan pencemaran. Semakin banyak limbah pabrik mencemari air, maka manusia akan diserang berbagai jenis penyakit. Dan pada akhirnya tidak ada lagi air bersih yang layak bagi kehidupan.
Pemerintah juga mempunyai peran penting dalam menjaga agar air bersih tidak habis. Ambil contoh, membatasi eksploitasi air untuk industri besar (privatisasi air dan sumber daya mineral) dan menghukum bagi pengusaha yang tidak mampu mengolah limbahnya dengan baik.
Kedua, mencegah merosotnya kualitas tanah dan hutan akibat tekanan penduduk dan eksploitasi besar-besaran untuk pembangunan. Menurunya kualitas tanah dapat diakibatkan tidak adanya tumbuhan di atasnya. Tumbuhan dapat menjaga kesuburan tanah. Ketika tanah tandus dan tidak mampu menahan curah hujan, maka banjir menjadi ancaman nyata manusia.
Demikian pula dengan pembalakan liar, yang mengakibatkan hutan gundul. Padahal hutan adalah paru-paru dunia. Ketika paru-paru dunia rusak, maka udara akan semakin panas, yang berakibat mencairnya es di Kutub Utara, Kutub Selatan, dan di puncak-puncak gunung, yang pada akhirnya banyak daratan di muka bumi akan tenggelam. Hal ini tentunya merugikan manusia, karena tidak dapat hidup atau bertempat tinggal. Dan pada akhirnya manusia akan mati.
Ketiga, memulihkan keanekaragaman hayati akibat rusaknya habitat lingkungan hidup berbagai jenis tumbuhan dan hewan. Rusaknya hutan tentunya akan berakibat pada rusaknya tatanan makhluk yang lain. Hewan akan mati karena tidak tersedianya cadangan makanan. Ketika banyak hewan mati, maka akan mengakibatkan tidak seimbangannya makrokosmos alam.
Keempat, perubahan iklim akibat pencemaran yang luar biasa. Menurut Global Forum on Ecology and Poverty, dunia kita berada di tepi kehancuran lantaran ulah manusia. Sumber-sumber alam dijarah kelewat batas. Diperkirakan pada setiap detiknya sekitar 200 ton karbon dioksida (CO2) dilepas ke atmosfer dan 750 topsoil musnah. Sementara itu, diperkirakan sekitar 47.000 hektare hutan dibabat, 16.000 hektare tanah digunduli, dan antara 100 hingga 300 spesies mati setiap hari.
Kelima, meningkatnya kota-kota yang berpenduduk banyak. Urbanisasi yang tak terkendali mengakibatkan penuhnya kota dan lengangnya desa. Banyaknya penduduk kota akan mengakibatkan persoalan sosial baru. Tidak hanya meningkatnya kriminalitas, tetapi juga persoalan lingkungan.
Pertumbuhan penduduk yang terlalu cepat berimplikasi pada ketersediaan lahan untuk menopang tuntutan kesejahteraan hidup. Lahan yang tersedia bersifat tetap dan tidak bisa bertambah sehingga menambah beban lingkungan hidup. Daya dukung alam ternyata semakin tidak seimbang dengan laju tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup penduduk. Atas dasar inilah, eksploitasi sistematis terhadap lingkungan secara terus menerus dilakukan dengan berbagai cara dan dalih (Surna T Djajadiningrat dan S Budhisantoso (peny), 1997).
Pada akhirnya, bumi kita hanya satu. Jika kita tidak mampu menahan hasrat merusak bumi dengan jalan melestarikannya, maka kepunahan akan mengancam masa depan umat manusia. Selamatkan lingkungan sekarang atau musnah bersama. (24)
—Ismangoen Notosapoetro, Ketua Dewan Pembina Yayasan Obor Tani, Semarang, dan penerima Sahwali Award dari Indonesia Environmental Management Information Center (IEMIC), 1992.
Sumber Berita : Suara Merdeka, 14 Juni 2011
0 komentar:
Posting Komentar