Minggu, 28 Agustus 2011

Jejak Maaf

BANYAK maaf diminta, banyak maaf diberikan tetapi kesalahan terus bermunculan. Stok maaf memang besar  sekali, tetapi jumlah kesalahan juga besar sekali. Komposisi ini bisa membingungkan karena bisa menimbulkan aneka spekulasi. Pertama, karena selalu  tersedia  maaf, maka mudahlah kita
membuat kesalahan. Jadi wajar. Kedua, karena selalu ada maaf bagi  setiap kesalahan, wajar jika maaf  menjadi banyak sekali karena kesalahan juga banyak sekali. Jadi, wajar lagi. Ketiga, banyak maaf memang harus berdampingan dengan banyak kesalahan itulah yang disebut keseimbangan. Lagi-lagi ini juga wajar. Akhirnya, kesalahan bisa jadi harus dianggap sebagai kewajaran. Atau jangan-jangan pewajaran semacam itu, hari  ini  sudah terjadi.
Lihatlah ular-ularan permintaan maaf terutama menjelang lebaran itu. Ia sudah  mulai bahkan sebelum bulan puasa benar-benar tiba. Aneka SMS sudah berlalu lalang siap menyambut puasa sambil meminta maaf atas semua kesalahan. SMS ini tambah gencar memasuki seminggu sebelum Lebaran. Ada yang mengaku harus berkirim ucapan jauh-jauh hari demi untuk menghindari kepadatan sinyal dan kemacetan provider. Berkirim SMS saja mana cukup jika tidak bersalaman di puncak perayaan yakni pagi hari, rampung salat ied di masjid dan lapangan. Begitu khatib menutup dengan salam jamaah mulai gaduh  saling-silang bermaafaan. Begitu bersemangat maaf-memaafkan itu  sampai enak saja  meninggalkan koran bekas di lapangan. Lautan koran bekas adalah pemandangan yang selalu khas di setiap salat ied dirampungkan. Tapi sudahlah, korupsi saja bisa dimaafkan apalagi ini sekadar koran.
Karena mana afdal bersalaman jika cuma ketemu di lapangan. Yang tua-tua harus menunggu di rumah untuk menunggu yang muda datang. Yang muda harus sowan yang tua karena itu penghormatan. Yang atasan harus bersiaga karena bawahan pasti datang. Yang petinggi harus open house karena pasti banyak pihak ingin bersalaman. Ini baru Lebaran hari pertama. Hari kedua, ketiga dan seterusnya sudah menunggu acara halalbihalal di berbagai segmen dan kesempatan. Mulai dari kampung sendiri, kantor sendiri sampai organiasi itu dan ini. Satu  pribadi bisa ada di empat lima organisasi tergantung posisi. Di luar pribadi ia adalah juga anggota paguyuban keluarga besar, warga di  sebuah kawasan, pegawai di  sebuah departemen dan angota komunitas ini itu.
Jadi budaya memintaa maaf itu luar biasa besar di Indoensia. Lautan maaf tersedia di negeri ini. Inilah kenapa koruptor saja diusulkan dimaafkan jika mau  mengembalikan hasil jarahan. Tindakan penjarahan itu sendiri tidak penting karena yang penting adalah  mengamankan barang jarahan. Sementara pembawa narkoba diancam hukuman mati, pemakainya harus diampuni dan cukup dikirim ke pusat rehabilitasi  karena sebutannya adalah korban. Inilah hukum yang memandang rendah pemakai dan memandang tinggi pembawa. Semua kesalahan itu menjadi mudah mengalami proses pewajaran karena telah disediakan cukup banyak stok pembenaran. Kita sambut gembira budaya maaf-memaafkan ini sambil menyisakan pertanyaan: adakah jumlah maaf itu telah sepadan dengan jumlah kegembiraan kita, terutama sebagai bangsa? (33)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/08/28/157520/

0 komentar:

Posting Komentar