Minggu, 28 Agustus 2011

Mudik Bersepeda Motor Lebih Praktis Maut pun Tak-Digubris

MUDIK ke kampung halaman saat Lebaran bagi sebagian orang, menjadi keharusan. Dengan kondisi demikian, banyak orang  melakukannya dengan cara ngaya. Salah satunya, mudik dengan mengendarai sepeda motor.
Menjadi bagian dari arus mudik dengan bersepeda motor, semula tak pernah dibayangkan Sutikno (27). Kalau toh pada akhirnya pria asli Kalijambe, Sragen ini ”berlangganan” naik motor, lebih didasarkan atas pengalaman pahit saat mudik menggunakan bus.
”Pernah berangkat Senin petang dari Cakung, sampai di Sragen Rabu dinihari. Pokoknya kapok naik bus lagi,” ujarnya, saat beristirahat di warung pinggir jalan di kawasan Tirto, Kota Pekalongan.
Hal yang sama juga dirasakan Yanto (37), pengendara Yamaha Vixion B-6892-SQA warna merah tua. Insan bara (perantau, Red) asal Wonogiri ini, mengaku perjalanan sekitar 800 kilometer itu ditempuh dalam tempo 24 jam.
”Kalau dari Jakarta berangkat siang, sampai di sini sudah siang esok harinya,” ujar pria asal Desa Klampeyan, Kecamatan Paranggupito, Kabupaten Wonogiri, ini.
Sunarko (35), warga Pondok Kopi, Jakarta menjelaskan, selain waktu tempuh yang lebih cepat, mudik dengan sepeda motor praktis dan lebih murah. ”Istilahnya, tinggal werr saja dari rumah habis Subuh, sebelum Magrib sampai Purwokerto,” kata Sunarko (35), warga Pondok Kopi Jakarta Timur, pekan lalu.
Menurut pria yang bekerja sebagai tukang ojek di sekitar Pondok Kopi dan Klender tersebut, mudik Lebaran dengan bersepeda motor tahun ini, untuk kali kelimanya. Mudik yang kali pertama bagi bapak seorang puteri tersebut dilakukan tahun 2005. Saat itu bersamaan dengan kondisi keuangan keluarga yang pas-pasan.
Awalnya, menurut dia, karena ada unsur nekatnya. ”Wis kebelet mudik, tapi pas uang pas-pasan. Terus temen-temen di sini ngompori saya, ayo numpak motor. Ya saya harus coba Mas. Ternyata bisa juga sampai Purwokerto, dengan bensin 10 liter saja,” kata pria asal Purwokerto Wetan tersebut.
Hal senada dikatakan Ronsi (38) warga Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Bapak dua anak asal Wonogiri tersebut mengaku pernah melakukan mudik dengan sepeda motor pada tahun 2008 juga karena ”dikompori” tetangganya. ”Tetangga saya pada bilang, kalau nggak nyobain nggak akan pernah tahu enaknya naik motor. Coba dong. Akhirnya saya coba. Ya sih masih ada senangnya, ongkos juga cuma Rp 90 ribu sampai Wonogiri. Tapi anak dan istri saya langsung kapok,” kata karyawan perusahaan swasta tersebut.  
Tidak hanya itu, sesampainya di kampung, Ronsi juga dimarahi ibu dan mertuanya. Mereka khawatir akan keselamatan anak dan cucunya. Menempuh perjalanan yang sangat jauh dengan satu sepeda motor untuk empat orang di tengah padatnya arus mudik, benar-benar tindakan yang sangat nekat di mata mereka.
Antimacet
Pertama kali Sunarko mudik bersama keponakannya. Saat itu dia menggeber motornya dengan kecepatan maximum 70 km/jam. Mudik kali berikutnya, dia sudah berani meningkatkan kecepatan. ”Tapi nggak pernah lebih dari 80 (km/jam, Red) Mas. Tahu sendiri motor kan gampang ngleyang kalau ngebut banget,” katanya.
Pertama kali mudik, dia juga tidak berani ngebut lantaran membawa keponakan. Pada saat pertama (2005) itulah, Sunarko melihat sendiri bahwa sepeda motor adalah kendaraan antimacet. Saat mobil terjebak macet, sepeda motor bisa dengan leluasa melaju melalui jalan-jalan tikus bahkan pematang sawah, sehingga akhirnya lebih cepat mencapai tujuan.
”Rata-rata Jakarta sampai Purwokerto waktunya antara 11 dan 12 jam saja. Itu pun, sudah pakai istirahat tiga kali,” tuturnya.
Menurut Ronsi, pemilihan waktu mudik juga memengaruhi macet tidaknya mudik bersepeda motor. Dia mengaku mendapatkan informasi dari mereka yang berpengalaman mudik bersepeda motor, bahwa mudik harus sebelum H-5.
”Makanya saya mudiknya H-6, jadi Jakarta -Wonogiri lancar. Ditambah empat kali istirahat, Jakarta-Wonogiri ditempuh selama 15 jam,” tuturnya.
Sutikno mengaku sudah mudik menggunakan sepeda motor lima tahun silam. Pria yang bekerja di perusahaan tekstil di bilangan Cakung ini mengaku, menikmati mudik tanpa berboncengan. ”Kalau berboncengan, motor jadi lebih berat. Apalagi kalau yang diboncengkan mengantuk, motor sering goyang,” ujarnya.
Selama mudik dengan motor, Sutikno menghindari berombongan. ”Susah kalau mudik ikut rombongan, berhenti di pom bensin setengah jam, belum lagi kalau ada rombongan tertinggal. Pokoknya lama,” ujarnya mengisahkan pengalaman di tahun 2008 saat mudik bersama salah satu merk sepeda motor.
Lain Sutikno, lain lagi dengan pengalaman empat pengendara motor dari Kejobong, Purbalingga. Taufik (20), Herman (24), Ranto (25) dan Lau (23) merupakan empat pemudik dengan tiga motor, justru lebih senang berombongan. Berangkat dari perasaan senasib satu kampung, mereka bersama rekan-rekannya menggunakan delapan unit motor. Agar lebih mudah dikenali, disiapkan tulisan ”Cah Purbalingga Back to Kejobong City” di belakang sepeda motor. Hanya saja, di tengah jalan rombongan terpisah.
Lakukan Imbauan
Ranto mengisahkan, dalam setiap kali mudik paling tidak tiga kali melihat kecelakaan di depannya. ”Pernah sekali perjalanan melihat lima kecelakaan,” ujarnya.
Kejadian paling parah dialami Ranto, rem belakang motornya rusak dari Cikampek, baru diketahui di Bumiayu. Herman, teman Ranto bahkan pernah mengalami kecelakaan saat mudik tahun 2006. ”Waktu itu saya menyalip di tikungan, namun tidak berhasil. Akhirnya,  menabrak Avanza. Namun justru pengemudi Avanzanya yang kabur, karena melihat saya terkapar,”  ujarnya sambil tertawa, mengenang kejadian tersebut.
Meski begitu, hal tersebut tak membuat Ranto kapok mudik menggunakan motor.
Menyusul terus meningkatnya angka kecelakaan yang melibatkan sepeda motor, Kementerian Perhubungan terus melakukan imbauan agar masyarakat tidak mudik dengan sepeda motor. Selain disebabkan oleh banyaknya kecelakaan yang merenggut korban jiwa, imbauan itu juga disebabkan oleh fakta bahwa sepeda motor bukan merupakan alat angkutan jarak jauh.  
Karena itu, masalah mudik dengan sepeda motor bagi pemerintah menjadi persoalan tersendiri. Selain kemacetan dan angka kecelakaan yang tinggi, semakin banyaknya pemudik bermotor juga membuat  pemerintah menyediakan berbagai fasilitas di jalur yang banyak dilewati pemudik. Misalnya, penyediaan tenda-tenda tempat istirahat  di sejumlah titik-titik khusus. Di tempat istirahat ini, fasilitas yang disediakan bukan hanya untuk sekadar makan minum, tapi sarana pendukung lain seperti untuk tidur, cek kesehatan, servis kendaraan, dan membeli oleh-oleh.
Selain itu, Kemhub bersama Direktorat Lalu Lintas Polri juga mengawal pemudik sepeda motor ini dan memberikan tips mudik aman. Walau demikian, Menurut Menhub Freddy Numberi, pemerintah tidak bisa mengeluarkan peraturan yang melarang pemudik menggunakan sepeda motor, karena tidak ada landasan hukumnya. Dengan demikian, yang dilakukan hanya sebatas imbauan saja.
Pada bagian lain, Freddy menjelaskan, transportasi angkutan umum yang disediakan pemerintah lebih dari cukup. Pemprov DKI misalnya, untuk Lebaran tahun ini menyediakan 7.292 bus cadangan, 244 rangkaian kereta berkapasitas 61.680 bangku, 24 kapal berkapasitas 28.531 bangku, dan 285 persawat berkapasitas 39.923 bangku.(09)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/08/28/157518/

0 komentar:

Posting Komentar