Minggu, 28 Agustus 2011

Lampion Kontemporer Sambut Idul Fitri

“MAU yang Naruto, Sponges Bob, apa masjid?” tanya Slamet (28) pada seorang anak kecil yang tampak kebingungan memilih. Si anak tampaknya pasrah saja ketika ibunya menanyakan pilihannya. “Masjid saja,” ujarnya. “Sama Sponges Bob ya,” ibunya menawari, dan si anak hanya mengangguk.
“Telu ya mas, patang puluh lima oleh ya. (Tiga ya mas, empat puluh lima ribu boleh ya),” rayu si ibu pada Slamet.
Dengan senyuman, Slamet menampik harga yang dianggapnya belum cocok itu. Pasalnya menurut pengakuan Slamet, dia menjual satu unit lampion seharga Rp 20 ribu. “Seket lima telu bu (Lima puluh lima ribu, tiga bu),” Slamet mengambil keputusan. Si ibu pun setuju, dan akhirnya membawa pulang tiga lampion berbentuk masjid, Sponges Bob, dan Naruto.
Si bocah pun dengan girang mengikuti langkah ibunya menuju ayahnya yang menunggu di sepeda motor tak jauh dari tempat berdagang Slamet. Dalam hati si anak, tentu perayaan malam takbiran nanti akan semakin meriah karena orang tuanya telah berbaik hati.
Ya, ini adalah cerita ringan transaksi lampion di kawasan Alun-alun Utara Yogyakarta pada Rabu (24/8) lalu. Sejak pertengahan Ramadan lalu, di kawasan itu mulai bermunculan penjual lampion. Tidak lagi hanya mengandalkan bentuk bunga, bintang, atau tiruan-tiruan alam lainnya, kini gaya lampion pun mulai beragam mengikuti tren. Maka bentuk tokoh kartun semacam Sponges Bob, Naruto, Avatar, Doraemon, Hello Kity dan semacamnya pun dijadikan inspirasi pembuatan lampion. Begesernya tren lampion pada tokoh-tokoh film ini terjadi sekitar 4 tahun belakangan.
Tentu, berbagai bentuk baru itu pun menuntut pembaharuan-pembaharuan. Bisa dibayangkan jika kreasi tokoh-tokoh animasi itu hanya dibentuk dengan masih mengandalkan struktur bambu dan membran dari kertas minyak saja. Maka bahan-bahan yang sebenarnya juga merupakan perkembangan dari obor sebagai “lampion” paling tradisional itu pun harus mengalah.

Lebih Ringan
Para perajin kini lebih menyukai styro foam untuk mencari bentuk lampion. Bahan ini dianggap lebih ringan, dan mudah dibentuk. Kertas minyak pun tidak lagi menjadi andalan pewarnaan, meski masih dominan. Saat ini kreasi cat berwarna-warni pada styro foam juga penting, untuk membuat detail karakter tokoh.
Perubahan pun terjadi pada sumber cahaya lampion. Dulu, di masa baheula kita mengenal obor yang mengandalkan sumber cahaya dari api. Kemudian mulai lebih modern dengan bohlam yang disokong baterai. Saat ini pedagang sudah tidak terlalu kesulitan menyambung dan membuat saklar untuk peranti tersebut. Pasalnya, lampu mainan, demikian mereka menyebutnya, sudah sangat praktis. Mereka tinggal membeli lampu pabrikan yang sudah jadi itu per dos dan memasang pada lampion. Hasilnya, dengan peranti yang dibeli dengan Rp 35 ribu itu, cahaya berwarna-warni pun sudah menyebar. Praktis, dan ekonomis.
Menurut Slamet, saat ini pembuatan lampion memang jauh lebih mudah. Meski begitu ia tetap membuat lampion-lampion yang masih memakai rangka bambu. “Di sini saya juga masih jualan yang rangka bambu. Tapi terus terang bikinnya lebih sulit. Kayak yang bunga mekar, itu pakai rangka bambu,” terang pria yang tinggal di kawasan Surokarsan, Kelurahan Wirogunan, Mergangsan, Kota Yogyakarta.
Ia yang mengaku mengerjakan lampion sendiri, dalam sehari bisa menghasilkan sekitar 20 unit. Selain menjual lampion secara lengkap, ia juga menjual lampion kosongan. “Kalau mau lampionnya saja tanpa pakai lampu mainan, yang rangka bambu cuma Rp 15 ribu. Memang terpaut sedikit. Soalnya kalau yang rangka bambu, misalkan mau diisi pakai lilin masih aman. Kalau yang styro foam tidak berani, berbahaya bisa terbakar,” terang pria asli Purworejo itu.(47)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/08/28/157501

0 komentar:

Posting Komentar