Minggu, 11 September 2011

Mantu Poci di Tengah Modernisasi

MOCI atau minum teh dengan poci tanah merupakan bagian dari ritme kehidupan masyarakat Tegal dan sekitarnya. Bahkan, dari kebiasaan itu muncul tradisi unik, Mantu Poci.Ya, Mantu Poci merupakan tradisi masyarakat Kota Tegal yang berlangsung turun-temurun. Acara intinya melangsungkan ”pes­ta per­kawinan” antara sepasang poci tanah.
Awalnya, tradisi tersebut digelar untuk mempererat tali silaturahim antartetangga, khususnya bagi mereka yang tidak memiliki keturunan dan berkeinginan untuk menggelar syukuran, seperti sunatan atau nikah.

Meski tidak banyak yang mengetahui sejak kapan tradisi tersebut mulai muncul, ma­syarakat Kota Tegal meya­kini Mantu Poci merupakan tradisi asli warga Kota Bahari itu.
Di kota itu yang masih mempertahankan tradisi tersebut, yaitu di daerah pinggiran, seperti Kelu­rahan Tegalsari, Muara­reja, Tu­non, Cabawan, dan Mar­ga­dana.
Biasanya mantu itu di­lak­sanakan setelah Le­baran atau bulan Syawal. Namun, seiring kemajuan zaman dan semakin me­ningkatnya perekonomian masyarakat, tradisi tersebut jarang dilaksanakan karena merasa malu.   

Selain Mantu Poci,  war­ga Kota Tegal juga mengenal Sunatan Poci. Secara umum, antara Mantu Poci dan Sunatan Poci itu pelaksanaannya hampir sama. Adapun, yang membedakan, untuk Sunatan Poci yang punya hajat biasanya menghias bagian ujung poci dibalut dengan kain ataupun kapas.
Poci yang telah dihias diarak keliling rumah se­banyak tujuh kali dan dibacakan doa layaknya hajatan menyunatkan anak­nya.
Setelah itu, poci diletakkan di kursi yang telah dihias lengkap beserta ma­kanan, seperti kebutuhan anak sunat.

Sementara, kedua orang tua atau yang punya hajat duduk berdampingan me­ng­­apit poci untuk menerima ucapan selamat serta mene­rima sumbangan dari tamu yang hadir.
Untuk Mantu Poci yang punya hajat menyedia­kan dua poci dan dihias, seperti wanita dan pria.
Poci pria diberi topi serta poci wanita dihias dengan rangkaian melati dan janur sebagai lambang seorang wanita. Kedua poci yang telah dihias itu diarak keliling dan ditempatkan pada kursi yang telah dihias selayaknya pengantin.

Menurut Ketua Dewan Kesenian Kota Tegal, Nur­ngudiono yang beberapa tahun lalu melaksanakan Mantu Poci, biaya menggelar acara tersebut sekitar Rp 4 juta - Rp 5 juta. Ang­garan tersebut antara lain, digunakan untuk membeli sa­rana dan prasarana yang dibutuhkan dalam hajatan tersebut.
Selain itu, untuk hidang­an tamu undangan, dekorasi, dan sound system. Jika ditambah hiburan orkes melayu, wayang, organ tunggal kebutuhan biaya biasanya bisa bertambah besar.
Meski demikian, biasa­nya penyelenggara Mantu Poci tetap bisa mendapatkan keuntungan.

Diuri-uri

Dia mengatakan, sebe­lum menggelar acara itu biasanya penyelenggara mendata jumlah titipan sumbangan yang pernah dibe­rikan kepada masya­rakat yang pernah menggelar hajat.
Sedangkan, bagi mereka yang telah menerima sumbangan wajib me­ngembalikan, sehingga berapa jumlah tamu yang akan datang dan nilai sumbangan, baik barang mau­pun uang sudah bisa diperkirakan.

Nurngudiono mengata­kan, hal itu sudah dipahami masyarakat karena bersifat umum. Sebab, apabila di­undang tidak hadir dan tidak mengembalikan sumbangan secara otomatis akan mendapatkan sanksi moral. Ketika bertemu akan malu dan menjadi gunjingan ma­syarakat.
”Setiap barang atau uang yang disumbangkan selalu dicatat dan nantinya harus dikembali sesuai dengan jumlahnya,” ujar­nya.
Menurut dia, tradisi itu seharusnya bisa di-uri-uri dan mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah.

Upaya tersebut dila­kukan untuk mempertahankan tradisi asli Kota Tegal. Bahkan, ia se­ring­kali mengusulkan un­tuk bisa dibuat dokumentasi, baik secara visual maupun tertulis dan di­sosialisasikan kepada ge­nerasi muda, termasuk pelajar. ”Tanpa keterlibatan pemerintah tradisi Mantu Poci dan Sunatan Poci lambat laun akan hilang di tengah mo­dernisasi,” katanya.
Untuk mempertahankan tradisi tersebut, kata dia, perlu dikemas menjadi pertunjukkan rutin, seperti dilaksanakan saat sedekat laut, peringatan HUT Kota Tegal serta pementasan teater.

”Pemerintah juga harus peduli dengan karya seni yang  dikembangkan se­niman. Se­bab, Kota Tegal se­lama ini tidak memiliki tradisi yang menjadi ciri khas, karena balo-balo, tari endel. dan kethoprak bukan asli dari Tegal.”
 Se­lain itu, kata dia,  seni yang telah diciptakan seniman perlu dimasalkan, seperti tari geyol bahari karya Damayanti, tari gambyong guitar atau tari gambyong dengan diiringi musik gitar karya dari Tien Kusumawati. Musik tong tong prek, sandiwara sampak tegalan, serta musik sampak tegalan, sehingga sekitar 10-20 tahun mendatang menjadi kesenian khas Kota Tegal.
Wali Kota Tegal H Ikmal Jaya SE Ak mengatakan, meski Mantu Poci dan sunatan poci selama ini sudah menjadi tradisi di masyarakat, hal itu dinilai masih bersifat spontanitas dan pribadi.
Apalagi, di dalamnya terdapat unsur saling pinjam-meminjam. Dengan demi­kian, memberikan bantuan yang bertujuan untuk nguri-uri tradisi tersebut belum bisa di­lakukan. (71)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/09/11/158738

0 komentar:

Posting Komentar