Jumat, 07 Oktober 2011

Nasionalisme dalam Selembar Kain Batik

TANGGAL 2 Oktober merupakan momen yang sangat penting bagi dunia perbatikan nasional. Pada tanggal itulah, di Prancis, tahun 2009 lalu, Lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membawahi masalah kebudayaan, UNESCO, mengakui batik sebagai salah satu warisan dunia.
Tetapi bagi penulis, peringatan Hari Batik Nasional tersebut, tidak sekadar mengingatkan pada momen yang sangat bersejarah itu, melainkan juga mengingatkan akan sosok Naomi Susilowati Setiono, tokoh batik Lasem yang meninggal dunia pada awal 2010.  Pertemuan dengan Ibu Naomi pada 2009 adalah sebuah kebetulan. Waktu itu, saya dimintai tolong Widi Yarmanto, mantan pemimpin redaksi Majalah Gatra yang meninggal dunia pada 8 April lalu, untuk menulis profil tokoh batik Lasem tersebut pada sebuah majalah yang dikelolanya.
Naomi adalah pemilik batik tulis khas Lasem (Clasic) Maranata (OngĂ­s Art) yang berada di Jalan Karangturi I/1. Ia merupakan putri kedua dari lima bersaudara yang lahir di Lasem tahun 1958. Darah sebagai seorang pembatik turun dari kakeknya, salah satu juragan batik yang merupakan orang terkaya di daerahnya, waktu itu, Ong Yok Thai.
Meski memiliki trah sebagai pengrajin dan pengusaha batik, namun ia tidak serta-merta menjadi pembatik setelah kakeknya. Jalan berliku dilalui oleh lulusan Sekolah Menengah Apoteker Theresiana Semarang pada 1980 ini. Ia melalui perjuangan hidup yang sangat keras, sebelum akhirnya menekuni dunia batik dengan memomulerkan batik tulis khas Lasem.
''Batik adalah karya seni Indonesia. Sebuah karya seni yang diekspresikan di atas kain,'' ungkap Naomi. Batik, katanya menegaskan, tidak sekadar menorehkan cat di atas kain, tetapi lebih sebagai ekspresi pembatiknya. ''Inilah seninya. Masing-masing karya batik itu memiliki makna sendiri-sendiri. Batik kricak menggambarkan bagaimana susah dan pedihnya masyarakat Indonesia saat dijajah selama lebih dari tiga setengah abad.''
Awalnya, Naomi juga tidak suka memegang usaha batik. ''Jenuh. Dari pagi hingga malam yang dilihat cuma itu-itu saja.'' Tetapi lambat laun, ia malah mencintai dan mengagumi batik, khususnya batik Laseman yang kemudian banyak dikembangkannya.
Menurut ceritanya, batik Laseman dibuat sejak tahun 1917-an. Batik klasik itulah yang ia repro untuk batiknya. Ia konsisten mengembangkan batik tulis klasik ini, padahal menurutnya jauh dari laku, sehingga para pengrajin batik umumnya lebih memilih membuat batik kontemporer dengan menggunakan printing.
Kendati kesulitan memasarkannya, namun perempuan yang pernah kuliah di Sekolah Tinggi Reformet Injil Surabaya (STRIS) ini tetap bertekad menjaga dan melestarikan batik tulis klasik Laseman itu.
Kini, Naomi telah tiada. Ia pergi dengan komitmennya melestarikan warisan budaya bangsa. Namun, masih ada kegundahan hatinya waktu itu yang harus diteruskan oleh generasi penerus saat ini, yaitu mempersiapkan regenerasi para pembatik nasional. (24)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/10/05/161559/

0 komentar:

Posting Komentar