KEMUNCULAN sosok wanita berparas cantik bertubuh kuda terbang itu mampu mencuri perhatian para penonton pada setiap pergelaran kesenian tradisional. Gerakannya megal-megol mengikuti iringan genjring rebana. Sesekali boneka besar itu meliuk-liuk, membuat para penonton terkagum. Di belakanganya, sejumlah penari memanggul boneka singa yang dinaiki seorang anak kecil.
Ya, masyarakat pesisir utara Kabupaten Brebes menyebutnya kesenian buroq. Kesenian itu, dulu selalu tampil di setiap ada pergelaran hiburan. Bahkan, banyak orang yang bernazar nanggap buroq, jika anaknya sembuh dari sakit. Namun, kesenian bernafaskan Islam itu kini nasibnya makin terpinggirkan.
Jalannya kian terseok-seok di tengah gempuran hiburan modern. Puluhan grup kesenian itu tumbang.
Berdasarakan data Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olah Raga Pemkab Brebes, saat ini hanya tersisa sekitar 16 grup kesenian buroq. Padahal, saat kejayaannya jumlahnya lebih dari 30 grup, tersebar di pantura Brebes. Grup kesenian itu gulung tikar karena minim tanggapan sehingga tidak mampu menghidupi para awaknya. Faktor lain, karena pemilik meninggal dunia dan tidak memiliki generasi penerus.
”Ya, begini lah kondisinya. Order tanggapan semakin menurun. Meski demikian, kami tetap berusaha eksis demi melestarikan kesenian tradisional khas Brebes ini,” ungkap Wasjan Kirom, pemilik grup kesenian buroq asal Desa Pakijangan, Kecamatan Bulakamba.
Setiap pementasan, personel yang terlibat cukup banyak. Bagian utama adalah sepasang buroq. Setiap buroq digerakan dua orang. Sedangkan kelompok pengiring minimal beranggotakan sembilan orang. Mereka meliputi penambuh terbang atau rebana genjiring, penabuh bedug, penambuh seruling, pemain gitar, dan penyanyi.
Untuk memeriahkan pertunjukan, biasanya dipentaskan bersama Sisingaan, unta, dan boneka binatang lain. Iringan musik yang dibawakan bernafaskan Islam dengan syair shalawatan dan parikan brebesan.
Kesenian itu mulai berkembang di Kota Bawang pada 1974. Sejarah lahirnya kesenian buroq tak terlepas dari penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Awalnya kesenian itu sebagai sarana untuk siar Islam. Hal itu tercermin dari lagu yang mengiringinya. Nama buroq sendiri diambil dari nama kendaraan yang digunakan Nabi Muhammad dalam perjalan Isra Mi’raj ke Sidratul Muntaha.
Kesenian itu kali pertama muncul pada 1920-an, di Desa Kalimaro, Kecamatan Babakan, Cirebon Jawa Barat. Kesenian itu ditemukan oleh Toal, seorang pelukis kaca. Kedekatan letak geografis dan klutrul budaya, menjadikan kesenian itu berkembang pesat di Brebes. Bahkan, ditetapkan sebagai kesenian tradisional khas Brebes.
Di era 1980-an, kesenian buroq mengalami masa kejayaan di Brebes. Tumbuh subur bak jamur di musim penghujan. Puluhan grup kesenian bermunculan dan para awaknya mampu hidup sejahterah. Di masa itu, hampir setiap desa di pesisir utara Brebes memiliki grup kesenian itu. Bahkan, kesenian itu dijadikan alat sosialisasi politik salah satu partai besar.
Budaya
Budayawan Brebes, Drs Atmo Tan Sidik mengungkapkan, kesenian buroq mencerminkan multikuturalisme. Dalam setiap sosok buroq mengambarkan paksi naga liman, yang merupakan penyatuan empat arus budaya dan agama besar. Paski merupakan perlambangan bentuk burung yang berasal dari Timur Tengah dengan agama Islam. Naga merupakan bentuk ular yang berasal dari China dengan agama Konghucu. Sedangkan Liman merupakan gajah dari India dengan agama Budha dan Hindu.
”Keberadaan kesenian buroq ini hingga kini masih terlestari sebagai sarana siar Islam. Yakni, untuk alat penggugah saur warga saat Ramadan. Itu kali pertama diterapkan sejak 1980-an tepatnya di Desa Pakijangan, Kecamatan Bulakamba,” ujar Atmo Tan Sidik yang juga Kabag Humas dan Protokol Setda Pemkab Brebes.
Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Brebes, Lukman Suyanto SH mengatakan, kesenian buroq kini mulai tersingkirkan. Hal itu terbukti dari semakin menyusutnya jumlah grup kesenian buroq yang eksis. Agar tetap eksis, kesenian buroq kini memasukan iringan musik modern, seperti gitar listrik dan organ. Lagu yang mengiringi juga disesuaikan dengan lagu-lagu yang poluler saat ini, seperti dangdut dan tarling cirebonan. Meski demikian, unsur keaslian kesenian buroq tetap dipertahankan. ”Melalui modernisasi ini, menjadikan kesenian buroq tetap lestari hingga kini. Tak hanya itu, kini kesenian buroq kembali dijadikan sarana hiburan masyarakat untuk mengiringi acara hajatan,” ungkapnya.
Sentra kesenian buroq, kata dia, kini hanya tersisa di beberapa kecamatan saja, yakni Kecamatan Losari, Tanjung, dan Bulakamba. Dari empat kecamatan itu, grup yang paling banyak dan eksis berada di Losari. Banyak generasi muda yang terlibat. ”Mereka masih tertarik karena percaya kesenian itu merupakan warisan leluhur dan masih menjadi hiburan yang dianggap menarik,” terangnya.
Kepala Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olah Raga Pemkab Brebes, Drs H Mustair PS mengatakan, untuk melestarikan kesenian buroq berbagai upaya dilakukan. Selain memodernisasi iringan musik, Pemkab juga mementaskan kesenian itu di berbagai kegiatan, baik tingkat lokal, provinsi maupun nasional. Pihaknya bekerja sama dengan Dewan Kesenian juga berupaya melakukan kolaborasi kesenian buroq, di antaranya memunculkan topeng buroq, buroq sintren, dan buroq sisingaan.
Kreasi baru itu juga diikutikan dalam pentas-pentas besar. Di event lokal, buroq dimainkan setiap peringatan Hari Jadi Brebes dan HUT RI. Di tingkat provinsi, dipentaskan pada Parede Budaya Jateng, dan tingkat nasional di PRPP Jakarta. (71)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/07/31/154468/
0 komentar:
Posting Komentar