ALKISAH seorang pangeran dari Dinasti Abbasiyah bernama Ahmad Ibnu Arrosyid memilih hidup sebagai rakyat biasa di pinggiran kota Basrah; hidup sederhana dengan kerja keras untuk memenuhi kebutuhannya. Dia memilih melarikan diri dari hiruk pikuk istana ayahnya yang berlimpah kemewahan dan kesenangan duniawi.
Kendati sebagai anak seorang penguasa apapun keinginannya dapat dipenuhi, akan tetapi dia memilih untuk tenggelam dalam beribadah kepada Allah, cukup makan roti kering dan memakai baju kasar. Dalam kehidupan sehari-hari, dia lebih banyak merasakan lapar dengan segala keterbatasan daripada sebaliknya.
Tidak segan-segan dia berada di Pasar Basrah bersama-sama dengan para pekerja kasar lainnya untuk mengadu nasib. Dengan bermodalkan kuas dan tempayan, dia menawarkan jasa di pasar sebagai tukang cat dengan bayaran sehari 1/6 dirham, yang bisa untuk menutup kebutuhan hidupnya selama satu minggu. Hidup yang sangat berkekurangan untuk ukuran masyarakat Basrah waktu itu. Akan tetapi itulah yang dipilih sang pangeran, demi memenuhi hasratnya tenggelam dalam nikmatnya buaian ibadah kepada Allah swt.
Di rumahnya, dia hidup sebatang kara, tempat tidurnya hanya beralaskan bumi dan berselimutkan langit, karena tidak mendapat tempat berbaring dan selimut untuk menutupi tubuhnya. Suatu saat ketika dia jatuh sakit, ada tetangganya yang sangat peduli mengunjungi rumahnya, dan bertanya; ”Apakah kamu menginginkan sesuatu?”. Dia menjawab; ”Rasanya aku akan mati. Bila aku mati cucilah jubah dan sarungku untuk kafanku, dan bukalah saku jubahku, karena di dalamnya terdapat cincin dari yaqut, bawalah cincin itu kepada khalifah Harun Al Rasyid dan berikan padanya”.
Tidak lama setelah itu sang pangeran meninggal dunia. Merasa mendapatkan wasiat, maka tetangga itu mengambil cincin yaqut dari saku jubahnya untuk kemudian diserahkan kepada khalifah Harun Al Rasyid.
Serta merta sang khalifah sangat kaget ketika menerima cincin yaqut tersebut, karena cincin itu merupakan ciri kebesaran dari keluarga kerajaan yang hanya diberikan kepada anak-anaknya.
”Dari mana cincin ini kau dapat?” tanyanya. Maka, diceritakanlah kepada khalifah, bahwa cincin itu diperoleh dari seorang pemuda tukang cat, tinggal di pinggiran Kota Basrah, di sebuah gubug reyot dengan kondisi kehidupannya yang amat miskin. Pemuda itu sangat jujur dan tidak pernah meninggalkan detik-detik waktunya untuk beribadah kepada Allah.
Mendengar cerita tersebut, tiba-tiba sang khalifah tersungkur di tanah, menangis sejadi-jadinya, dan berkata; ”Pemuda itu adalah anakku, dia meninggalkan aku setelah kudesak dia untuk menjadi khalifah kelak sebagai penggantiku. Maka, aku tetap memberikan dia cincin yaqut ini sebagai ciri dari anggota keluargaku. Anakku Ahmad senantiasa memberikan nasihat, dia berkata padaku bahwa ia mengkhawatirkan bencana kekuasaan atas diriku. Kini dia telah kembali kepada Allah tanpa mengambil sedirham pun dari hartaku.
Demi Allah sungguh saya malu pada diriku jika anakku menjadi seorang tukang cat, yang cukup dengan uang 1/6 dirham dalam satu minggu, sementara aku memiliki kekayan yang melimpah. Sungguh dia bertemu dengan Allah dalam keadaan miskin harta, sementara aku kelak bertemu Allah dan hisabku akan lama, karena harus mempertanggung jawabkan setiap dirham yang tersimpan dalam almari-almariku”. Cukup lama sang khalifah berkabung dan meratapi anaknya itu.
Kisah ini ditulis sangat apik dan menyentuh para pembaca oleh Syeh Abdul MunĂim Qindil dalam bukunya Khayaatus Sholihin. Dalam sejarah hidup orang-orang besar sering kita jumpai kisah-kisah semacam itu.
Ada sebuah penelitian tentang sifat dan perilaku orang yang berpuasa. Penelitian itu mengamati sekelompok orang yang berpuasa. Setelah beberapa hari, terjadi sesuatu yang aneh. Pikiran mereka menjadi lebih filosofis, keinginan mereka menjangkau pada hal-hal abstrak yang berkenaan dengan kualitas hidup. Mereka tidak lagi terbelenggu pikiran-pikiran konkret berupa kebutuhan sehari-hari saja. Tidak jarang dalam kehidupan sehari-hari, kita hanya terbelenggu pada keinginan-keinginan biologis belaka yang memerlukan pemuasan sesegera mungkin.
Meminjam teori Sigmund Freud, kebutuhan itu hanya terjadi pada fase kekanak-kanakan. Freud membagi tiga tahap perkembangan kenikmatan anak-anak, yang semuanya bersifat konkret, biologis, dan pemenuhannya sesegera mungkin. Pada masa awal, letak kenikmatan itu ada di mulut (periode oral). Anak-anak menemukan kenikmatannya ketika memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya.
Tahap kedua, pusat kenikmatan itu bergeser pada daerah sekitar anus (fase anal). Dia beroleh kenikmatan ketika buang air besar, bahkan dia merasa nikmat melihat tumpukan kotorannya sendiri yang banyak, sambil dipermainkan. Selanjutnya kepribadian anak berkembang lagi memasuki tahap ketiga, yaitu periode persiapan menjadi orang dewasa, bahwa pusat kenikmatan letaknya pada alat kelamin (fase genital). Dia senang mempermainkan alat kelaminnya dan memperlihatkannya pada teman sebaya.
Teori Freud tersebut semuanya berupa kebutuhan fisik, tidak terdapat kebutuhan rohaniah sedikit pun. Sesungguhnya kebutuhan manusia terus berkembang. Semakin paripurna kepribadian seseorang semakin dia membutuhkan kepuasan-kepuasan yang bersifat filosofis dan rohaniah.
Abraham Maslow menyebutnya dengan self actualization (attakaamul al ruhaani) sebagai kebutuhan tertinggi. Kisah Ahmad Ibnu Arrosyid yang dicuplikkan di awal tulisan ini adalah contoh sosok yang tidak mau terbelenggu oleh kebutuhan kepuasaan sesaat. Dia rela meninggalkan gemerlap kemewahan istana, dan memilih hidup dalam kesunyian dan kenestapaan, karena ingin mendapatkan sesuatu yang sangat hakiki yaitu kebutuhan rohaniah; kenikmatan bercumbu dengan Tuhannya.
Banyak orang dewasa yang terhambat kepribadiannya hanya pada kebutuhan pemenuhan oral atau genital saja, yaitu makan, minum, seks. Institusi-institusi modern pun segera dibuat untuk memenuhi kebutuhan itu. Sebuah survei cukup mengejutkan bahwa pengeluaran masyarakat Indonesia untuk keperluan makan dan minum mencapai lebih dari 75% dari seluruh penghasilannya.
Dalam konteks ini, perintah puasa Ramadan seperti yang tersurat dalam Al Baqoroh 183, merupakan sebuah bentuk kasih sayang Allah. Kasih sayang untuk mengontrol manusia agar tidak terjebak hanya pada kebutuhan fisik belaka yang bersifat fana. Puasa mengantarkan pencerahan hakekat kemanusiaan hakiki, yang memang Allah tanamkan pada diri manusia sejak kelahirannya.
Banyak nilai yang dapat dipetik dari ibadah puasa ini, sebagai upaya pendidikan karakter. Pertama, adalah jiwa ikhlas. Ikhlas berarti beramal semata-mata karena mengharap ridlo Allah swt. Puasa merupakan ibadah yang tidak dapat dipertontonkan pada orang lain. Kelelahan fisik, kelesuan, mata cekung, bibir yang kering bukan menunjukkan puasa saja. Puasa hanya dapat dijalankan dengan ikhlas. Karena itu, orang melakukannya tidaklah karena tendensi manusia, tidak karena mendambakan kekayaan, tidak pula ditujukan untuk mempertahankan kedudukan.
Dalam puasa orang dididik bahwa keridloan Allah lebih besar daripada dunia dengan segala isinya. Waridlwanun MinaLLahi Akbar (QS 9:72). Kedua, pembersihan diri. Dalam menjalankan ibadah puasa seorang muslim dididik untuk menghindarkan diri dari segala perbuatan tercela. Ia mengendalikan lidahnya supaya tidak mengeluarkan kata-kata keji dan menyinggung orang lain. Bahkan, jika dia dicemoohkan sekali pun, nabi menyuruh kita untuk berkata Inni shooimuni (saya sedang berpuasa). Ia mengendalikan telinganya, pandangannya, seluruh anggota badannya, bahkan getaran hatinya.
Pada suatu hadis diceritakan; Ketika di suatu siang di bulan Ramadan ada seorang sahabat perempuan yang memaki-maki pembantunya, Rasulullah menyuruh sahabat yang lain untuk membawakan makanan, dan menyuruh wanita tersebut untuk memakannya. Namun sahabat wanita tersebut berkata bahwa sedang berpuasa. Mendengar jawaban tersebut nabi yang mulia bersabda; ”Bagaimana mungkin kamu berpuasa padahal kamu mencaci maki pembantumu. Sesungguhnya puasa adalah sebagai penghalang bagi kamu untuk berbuat hal-hal yang tercela. Betapa sedikitnya orang yang berpuasa, dan betapa banyaknya orang yang kelaparan”. Pada kalimat terakhir tersebut, nabi ingin menunjukkan bahwa banyak sekali orang yang berpuasa tetapi tidak memperoleh apa-apa kecuali lapar dan dahaga.
Takwa sebagai tujuan akhir dari ibadah puasa tidak akan dapat dicapai tanpa proses pembersihan diri. Cahaya rohaniah tidak akan mampu menembus hati yang dipenuhi dengan dosa dan maksiat. Ketiga, Ikhsan.
Melalui puasa pula seorang muslim diajarkan untuk selalu membiasakan diri berbuat baik. Berbuat baik kepada Allah melalui disiplin ibadahnya; setiap saat digerakkan bibir dan lidahnya untuk berdzikir dan membaca Alquran, ditegakkan kakinya untuk shalat malam, dipenuhinya waktu sahur dengan istighfar.
Selain itu, juga berbuat baik kepada sesama makhluk Allah; dibiasakannya memperbanyak sedekah, menolong orang lain, menggembirakan yang susah, dan meringankan beban yang berat, akan membentuk karakter orang yang memiliki hospitality yang tinggi. (Prof Dr Masrukhi MPd, Pembantu Rektor III Universitas Negeri Semarang (Unnes)-35
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/08/06/155237
0 komentar:
Posting Komentar