JUDUL tulisan ini memiliki dua pengertian. Pertama, mereka yang menunaikan ibadah puasa tetapi berbohong. Mereka hanya tidak makan, minum, bersetubuh dan hal-hal lain yang membatalkan
Di dalam Islam, berbohong adalah perbuatan tercela (al-akhlak al-madhmumah). Berbohong memiliki berbagai bentuk dan pengertian. Pertama, menyampaikan informasi secara lisan, tulisan atau perbuatan yang bertentangan dengan kenyataan. Yang paling umum dilakukan adalah kebohongan verbal, mengibul.
Mencurangi takaran dan timbangan, memalsukan data-data, menjiplak karya orang lain, memanipulasi fakta adalah kebohongan. Kedua, menolak atau mengingkari kebenaran ilmiah, alamiah dan diniyyah.
Penolakan tersebut disebabkan oleh nafsu, egoisme, kejumudan, atau kesombongan yang bermuara pada kekhawatiran hilangnya kewibawaan, kekuasaan atau kekayaan. Alquran mengisahkan penolakan dan perlawanan Bani Israil atas ajaran para rasul karena keangkuhan. Orang-orang kafir menentang risalah Islam yang dibawa Nabi Muhammad karena kesetiaan membabi buta terhadap warisan leluhur dan kehilangan kekuasaan.
Kaum munafik ngeyel atas peringatan Rasulullah karena merasa dirinya pintar dan keminter. Ketiga, mengingkari janji dan kesepakatan. Mengkhianati komitmen yang berhubungan dengan masyarakat luas disebut kebohongan publik.
Pada musim kampanye seorang pejabat berjanji menyediakan pendidikan dan kesehatan gratis. Ternyata, ketika terpilih, dia tidak melaksanakan janjinya. Pejabat yang demikian adalah pembohong dan pengkhianat rakyat.
Seorang yang berpuasa tetapi berbohong, maka ibadahnya tidak sempurna. Dalam Hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: ”Barangsiapa (yang berpuasa) tidak meninggalkan ucapan dusta dan amal jahat, maka Allah tidak butuh kepadanya, (walaupun) dia meninggalkan makan dan minum”. (HR. Bukhari). Jangankan berbohong, berkata-kata kasar dan kotor saja Allah melarangnya.
Allah berfirman di dalam sebuah Hadits Qudsi yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah: ”Puasa itu untuk-Ku dan Aku sendirilah yang akan membalasnya. Puasa itu merupakan perisai. Jika seorang di antara kalian sedang berpuasa, maka janganlah ia berkata-kata kotor dan jangan pula membentak-bentak.”
Kedua, ”puasa berbohong” berarti menahan diri dan berhenti berbohong. Sesuai pengertian etimologi, ”shiyam” berarti menahan dari dan mencukupkan diri atas sesuatu yang membatalkan atau merusak. Seorang yang berpuasa hendaknya berjuang bagaimana agar senantiasa jujur dan amanah.
Kejujuran adalah pangkal kebajikan, kebohongan pintu kejahatan. Di dalam Hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah SAW bersabda: ”Berbuatlah yang jujur, karena ia pangkal kebajikan, dan kebajikan akan mengantarkan kepada surga. Barangsiapa yang berbuat jujur dan konsisten dengan kejujurannya, maka Allah akan mencatatnya sebagai orang yang jujur. Janganlah berbohong, sebab ia akan menyeret kepada kejahatan, dan kejahatan akan menjerumuskan ke neraka. Barangsiapa yang berbohong dan terbiasa berbohong, maka Allah akan menvonisnya sebagai pembohong.” (HR. Bukhari).
Pembohong tidak hanya nista di hadapan Allah tetapi juga terhina di hadapan sesama manusia. Kebohongan adalah penyakit rohani yang bisa menggerogoti kesehatan jasmani, sosial dan spiritual. Secara psikologis, pembohong adalah pengecut, penakut, tidak ksatria. Seorang yang berbohong terus menerus mengalami tekanan jiwa, dihantui ketakutan dan kekhawatiran akan terbongkar kebohongannya. Sang pembohong akan berbohong untuk menutupi kebohongannya.
Kebohongan adalah investasi kehancuran. Hukum sejarah membuktikan tidak ada satu pun manusia dan bangsa pembohong, korup dan curang yang berjaya, damai dan bahagia. Kapanpun dan dimanapun, berbohong adalah akhlak tercela yang dilarang oleh Allah. Karena itu agar hidup kita selamat dan bangsa kita bermartabat marilah berhenti berbohong. Ramadan adalah momentum tepat untuk memulai.(34)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/08/02/154733/
0 komentar:
Posting Komentar