Dulu, pedangdut Hamdan ATT menahbiskan diri sebagai ”Orang Termiskin di Dunia”, lengkap dengan aksi panggung yang sendu dan mengharu-biru. Tak berselang lama, Iis Dahlia mencuat karena meratapi kekejaman ”Ibu Tiri”.
Kesenduan yang berlarat-larat itu berbuah prestasi yang terukur dari penjualan album yang mencapai ratusan ribu kopi. Masih di jalur serupa, Kristina justru mendulang keuntungan setelah ”Jatuh-Bangun”.
Kini, lagu-lagu dangdut bertema cinta, tak melulu menjadikan penyanyinya harus pura-pura merana. Tak perlu jadi orang termiskin di dunia atau pun jatuh bangun, untuk mendapatkan dukungan dari ratusan ribu atau bahkan jutaan penggemar. Setidaknya, hal itu disadari betul oleh Raja Dangdut Rhoma Irama saat mengantar putranya Ridho Rhoma untuk ikut terjun ke belantara dangdut.
Ya, muda, stilis, energetik, dan dilingkupi aura kebintangan, barangkali itulah keberuntungan Ridho Rhoma. Tak perlu menunggu lama, kaum muda segera saja terpesona. Tangga lagu yang didominasi band-band beraliran pop Melayu, perlahan mulai tersentuh geliat musik dangdut yang berkawin dengan racikan sweet rock. Meski muncul dengan lagu yang lagi-lagi penuh kesenduan, Rhido Rhoma bersama Sonet 2 Band memunculkan kegenitan tersendiri.
Buktinya, di tahun pertama kemunculannya, ia telah menggaet penghargaan Album Pendatang Baru Solo Favorití yang diadakan oleh sebuah stasiun televisi swasta di awal 2010. Kini, pedangdut yang dikabarkan menjalin hubungan istimewa dengan presenter Cathy Sharon ini tengah mempersiapkan diri untuk membawa musik dangdut ke pentas dunia. Pada pengujung Juli 2011 mendatang, Ridho dijadwalkan akan tampil di Los Angeles Staples Center dan San Fransisco, Amerika Serikat.
Bukan Kali Pertama
Sebenarnya, bukan kali pertama musik asli Indonesia ini dibawa berkelana ke negeri-negeri asing. Sejak revolusi musik dangdut pada medio 1970-an, musik dangdut ditampilkan di pusat-pusat kebudayaan 75 negara. Tak hanya itu, pada tahun 2009, sempat digelar audisi ”Dangdut in America”. Sang pemenang Arreal Tlighman akhirnya meluncurkan album dangdut yang dipasarkan di Amerika Serikat dan Indonesia. Album bertajuk Dangdut in America milik pria asal Marryland itu mendapatkan sambutan positif dari publik negeri Paman Sam dan mendapat pujian dari Rhoma Irama.
Amerika bukanlah negeri yang alergi dengan dangdut. Pada tahun 1980-an, Profesor Andrew Weintraub PhD mulai melakukan pengkajian terhadap musik yang acap membius pendengarnya untuk bergoyang ini. Profesor musik dari Universitas Pittsburg, AS, itu bahkan memiliki grup band Dangdut Cowboys yang bahkan membawanya berkeliling ke Kanada, Amerika, dan sejumlah negara di Eropa. Menurut pria yang hapal sebagian besar lagu milik Rhoma Irama ini, dangdut adalah musik Indonesia yang unik, kendati terpengaruh oleh unsur India, Melayu, Arab, hingga Barat.
Awal April 2010 lalu, Dangdut Cowboys mendapat kesempatan tampil sepanggung dengan pedangdut Ike Nurjannah yang datang atas undangan sebuah event organizer di Amerika Serikat. Secara khusus, Ike menggoyang para penikmat dangdut di sana melalui konser I Love Dangdut. Konser yang digelar di New York, Pittsburgh, dan Washington DC itu mendapat sambutan luar biasa. Tiket ludes terjual, dengan mayoritas penikmatnya adalah truly American.
Sebelumnya, Raja Dangdut Rhoma Irama pernah menggebrak Universitas Pittsburgh di tahun 2008. Konsernya dipenuhi mahasiswa jurusan musik yang mengangguminya. Bahkan, seluruh penonton, termasuk profesor-profesor universitas tersebut, tak luput bergoyang.
Respons masyarakat dunia terhadap dangdut juga dapat dilihat di Youtube. Saat video lipsync ”Keong Racun” meledak di dunia maya, lagu ini akhirnya juga banyak di-lipsync orang asing, yang kebanyakan berasal dari Australia. Tak hanya itu, pembuat dan pemilik situs dangdut.net yang berisi kompilasi lagu-lagu dan seluk-beluk dunia dangdut adalah Elie Bitar, seorang pria berkewarganegaraan Amerika Serikat berdarah Lebanon.
Barangkali, memang sudah saatnya revolusi dangdut kembali dimulai. Jika dulu dangdut identik dengan panggung hiburan rakyat, maka, barangkali inilah waktunya meluaskan orbit agar tabuhan kendang dan liukan seruling mampu menciptakan panggungnya sendiri di pentas dunia. Bukankah itu sangat mungkin? (62)
Sumber Berita http://suaramerdeka.com/3 Juli 2011
0 komentar:
Posting Komentar