MENGINGAT kawasan sekitar Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal sangat menarik. Jalan raya yang merupakan jalur utama Te gal- Pur wokerto, dari Desa Karanganyar di perbatasan Kota Tegal hingga Banjaran, Adiwerna tiap hari tidak pernah diam. Selalu menunjukkan aktivitasnya. Dalam sebuah lagu tegalan digambarkan, ” akeh wesi pating telalang nang dalanan, krompyang!” (banyak besi malang-melintang di pingir jalan, krompyang!). Itulah kawasan yang dikenal sebagai sentra industri kecil dan kerajinan.
Mulai kerajinan gerabah, kayu, sampai kerajinan logam. Produksinya antara lain perkakas rumah tangga, seperti; pompa air (dragon), dandang, panci, wajan, kompor, dan cetakan kue. Suku cadang mesin, seperti; baud, dinamo, filter, knalpot motor dan mobil. Juga kerajinan perhiasan dari emas atau perak. Sifat kreatif dan inovatif masyarakatnya itulah membuat Tegal dijuluki ”Jepangnya” Indonesia. Semua aktivitas produksi merupakan industri rumahan ( home industry ). Tampak kondisi sangat kontras dibandingkan kecamatan lain yang merupakan daerah pertanian.
Di dsaerah pertanian, lazimnya yang numpuk di rumah-rumah penduduk, terutama pada musim panen adalah gabah, jagung, kacang, atau singkong. Namun, di Kecamatan Dukuhturi, Talang, dan Adiwerna numpuk adalah hasil kerajinan. Sudah hal biasa kalau baud yang menggunung di ruang rumah penduduk.
Bukan hanya menarik, tetapi menggelitik. Tegal dengan bahasa ngapak-ngapaknya dapat ”dijual” lewat dunia hiburan. Lihat saja nama Cici Tegal, lagu berlogat tegalan, ”Okelah Kalau Begitu.” Semua tergantung bagaimana mengemasnya. Bahasa ngapakngapak yang biasa jadi bahan olokolokan bisa diubah menjadi sesuatu yang laku jual.
Terkait bahasa juga, menarik juga apa yang ada di Jakarta ternyata di Tegal ada. Kalau di Jakarta terdapat daerah bernama Tanah Tinggi, di Kecamatan Adiwerna, tidak jauh dari lokasi makam Amangkurat I ada desa bernama Desa Lemah Duwur. Di Jakarta ada bilangan Jembatan Merah, dari arah makam Amangkurat I, menyebrang jalan raya Tegal-Purwokerto menyusur jalan Projo Sumarto II, sekitar 300 meter ada Brug Abang.
Menurut sejarah kata, brug berasal dari bahasa Belanda yang berarti Jembatan. Abang adalah bahasa Jawa yang berarti merah. Brug Abang adalah benar-benar jembatan seperti jembatan pada umumnya, tetapi bukan berarti berwarna merah, hanya sebutannya saja. Di kalangan masyarakat Tegal Brug Abang cukup dikenal.
Brug Abang adalah jembatan yang melintas di sungai Gung. Terlepas dari asal-usul sebutan Brug Abang, kondisinya memang menarik. Karena di samping jembatan terdapat bendungan, berfungsi untuk membagi arus air sebagai arigasi. Di sekitar lokasi bendungan oleh masyaarakat sekitar dijadikan tempat bermain sebagaimana layaknya tempat rekreasi didukung banyaknya pedagang.
Setelah dibangun jembatan di sebelahnya, sekarang Brug Abang MENGINGAT kawasan sekitar Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal sangat menarik. Jalan raya yang merupakan jalur utama Te gal- Pur wokerto, dari Desa Karanganyar di perbatasan Kota Tegal hingga Banjaran, Adiwerna tiap hari tidak pernah diam. Selalu menunjukkan aktivitasnya.
Dalam sebuah lagu tegalan digambarkan, ” akeh wesi pating telalang nang dalanan, krompyang!” (banyak besi malang-melintang di pingir jalan, krompyang!). Itulah kawasan yang dikenal sebagai sentra industri kecil dan kerajinan.
Mulai kerajinan gerabah, kayu, sampai kerajinan logam. Produksinya antara lain perkakas rumah tangga, seperti; pompa air (dragon), dandang, panci, wajan, kompor, dan cetakan kue. Suku cadang mesin, seperti; baud, dinamo, filter, knalpot motor dan mobil. Juga kerajinan perhiasan dari emas atau perak. Sifat kreatif dan inovatif masyarakatnya itulah membuat Tegal dijuluki ”Jepangnya” Indonesia.
Semua aktivitas produksi merupakan industri rumahan ( home industry ). Tampak kondisi sangat kontras dibandingkan kecamatan lain yang merupakan daerah pertanian. Di dsaerah pertanian, lazimnya yang numpuk di rumah-rumah penduduk, terutama pada musim panen adalah gabah, jagung, kacang, atau singkong. Namun, di Kecamatan Dukuhturi, Talang, dan Adiwerna numpuk adalah hasil kerajinan. Sudah hal biasa kalau baud yang menggunung di ruang rumah penduduk.
Bukan hanya menarik, tetapi menggelitik. Tegal dengan bahasa ngapak-ngapaknya dapat ”dijual” lewat dunia hiburan. Lihat saja nama Cici Tegal, lagu berlogat tegalan, ”Okelah Kalau Begitu.” Semua tergantung bagaimana mengemasnya. Bahasa ngapakngapak yang biasa jadi bahan olokolokan bisa diubah menjadi sesuatu yang laku jual.
Terkait bahasa juga, menarik juga apa yang ada di Jakarta ternyata di Tegal ada. Kalau di Jakarta terdapat daerah bernama Tanah Tinggi, di Kecamatan Adiwerna, tidak jauh dari lokasi makam Amangkurat I ada desa bernama Desa Lemah Duwur. Di Jakarta ada bilangan Jembatan Merah, dari arah makam Amangkurat I, menyebrang jalan raya Tegal-Purwokerto menyusur jalan Projo Sumarto II, sekitar 300 meter ada Brug Abang.
Menurut sejarah kata, brug berasal dari bahasa Belanda yang berarti Jembatan. Abang adalah bahasa Jawa yang berarti merah. Brug Abang adalah benar-benar jembatan seperti jembatan pada umumnya, tetapi bukan berarti berwarna merah, hanya sebutannya saja. Di kalangan masyarakat Tegal Brug Abang cukup dikenal.
Brug Abang adalah jembatan yang melintas di sungai Gung. Terlepas dari asal-usul sebutan Brug Abang, kondisinya memang menarik. Karena di samping jembatan terdapat bendungan, berfungsi untuk membagi arus air sebagai arigasi. Di sekitar lokasi bendungan oleh masyaarakat sekitar dijadikan tempat bermain sebagaimana layaknya tempat rekreasi didukung banyaknya pedagang.
Setelah dibangun jembatan di sebelahnya, sekarang Brug Abangdua lajur. Semula Brug Abang lama lebarnya hanya empat meter. Sedangkan jembatan baru dengan kontruksi baja, lebarnya dua kali dari jembatan lama dimaksudkan untuk menggantikan jembatan lama karena sempit, kurang memadahi. Adanya jembatan baru, jembatan lama tidak dibongkar, menambah unik dan indah, namun tetap disebut Brug Abang, bukan Brug Kembar, misalnya.
Masih di ruas Jalan Projo Sumarto II, sekitar dua kilometer adri Brug Abang sampai di sanggar seni Paguyupan Seni Satria Laras Ragam Pergelaran Dalang Ki Enthus Susmono di Desa Bengle, Kecamatan Talang. Sebagai aspek seni melengkapi aspek yang sudah ada, yaitu aspek sejarah dan industri kerajinan, kesemuanya berbasis tradisi. Desa Bengle juga merupakan sentra batik bercorak pesisir, dengan ciri cerah.
Kawasan potensial
Dengan perpaduan berbagai aspek, di kawasan Kecamatan Dukuhturi, Talang, dan Kecamatan Adiwerna berpotensi untuk dikembangkan menjadi daerah wisata atau penelitian yang bersifat mendorong kreativitas dan inovatif. Sayangnya, pihak pemerintah sendiri daerah kurang inovatif. Berupaya memberdayakannya untuk ditawarkan kepada pihak lain, kalangan akademik, dunia industri atau daerah lain.
Di samping itu, kebanyakan orang masih berpandangan bahwa yang namanya wisata yaitu segala sesuatu yang bersifat “kesenangan” atau hedonis. Sehingga wisata dikonotasikan pada kondisi alam yang indah, tempat belanja, dan hiburan.
Padahal, rekreasi bukan semata kebutuhan bersifat hiburan. Bukan hanya memenuhi kebutuhan hati (perasaan), tetapi juga merangsang otak untuk berfikir, yang bersifat menginspirasi dan memotivasi. Wisata bukan terbatas berdasar objeknya seperti wisata alam. Sehingga mendorong eksploitasi dearah pegunungan, pantai, atau wisata belanja, bermunculannya mal. Padahal, tak sedikit akibat eksploitasi alam menjadikan kerusakan yang ujungnya memicu bencana. Eksploitasi kawasan Puncak di hulu dan Ancol di hilir membuat Jakarta langganan banjir dapat dijadikan pelajaran.
Perlu dikembangkan wisata menurut spesifikasi minat dan bakat yang dapat memicu inovasi dan kreativitas manusia. Misalkan, dirintis wisata seni, wisata edukasi atau riset dan wisata rohani. Merintis wisata semacam itu bukanlah mimpi, sebab seorang pengarang terkenal, Gol A Gong telah memberi contoh mengembangkan wisata seni di Serang, Banten. Jenis wisata dimana yang dianggap serius dibikin menyenangkan, tetapi menumbuhkan daya inovasi dan kreativitas. Untuk merintis model wisata seperti itu, kawasan Tegal Arum sangat potensial.
Di tengah bangsa terus terpuruk, sangat penting merubah paradigma pariwisata. Dari bersenang-senang tetapi mengabaikan aspek substantif bagi manusia, menjadi wisata yang memanusiakan manusia. Yaitu, model wisata yang bukan menawarkan keindahan alam yang semu dan memicu eksploitasi alam serta menimbulkan efek domino, melainkan menawarkan sebuah model wisata yang membangkitkan etos kerja.
Sehingga dalam jangka panjang terwujud bangsa yang berjiwa intrepreneur namun tetap berbudaya
Sumber Berita : http://kilurahsemar.wordpress.com/category/tegal/
Mulai kerajinan gerabah, kayu, sampai kerajinan logam. Produksinya antara lain perkakas rumah tangga, seperti; pompa air (dragon), dandang, panci, wajan, kompor, dan cetakan kue. Suku cadang mesin, seperti; baud, dinamo, filter, knalpot motor dan mobil. Juga kerajinan perhiasan dari emas atau perak. Sifat kreatif dan inovatif masyarakatnya itulah membuat Tegal dijuluki ”Jepangnya” Indonesia. Semua aktivitas produksi merupakan industri rumahan ( home industry ). Tampak kondisi sangat kontras dibandingkan kecamatan lain yang merupakan daerah pertanian.
Di dsaerah pertanian, lazimnya yang numpuk di rumah-rumah penduduk, terutama pada musim panen adalah gabah, jagung, kacang, atau singkong. Namun, di Kecamatan Dukuhturi, Talang, dan Adiwerna numpuk adalah hasil kerajinan. Sudah hal biasa kalau baud yang menggunung di ruang rumah penduduk.
Bukan hanya menarik, tetapi menggelitik. Tegal dengan bahasa ngapak-ngapaknya dapat ”dijual” lewat dunia hiburan. Lihat saja nama Cici Tegal, lagu berlogat tegalan, ”Okelah Kalau Begitu.” Semua tergantung bagaimana mengemasnya. Bahasa ngapakngapak yang biasa jadi bahan olokolokan bisa diubah menjadi sesuatu yang laku jual.
Terkait bahasa juga, menarik juga apa yang ada di Jakarta ternyata di Tegal ada. Kalau di Jakarta terdapat daerah bernama Tanah Tinggi, di Kecamatan Adiwerna, tidak jauh dari lokasi makam Amangkurat I ada desa bernama Desa Lemah Duwur. Di Jakarta ada bilangan Jembatan Merah, dari arah makam Amangkurat I, menyebrang jalan raya Tegal-Purwokerto menyusur jalan Projo Sumarto II, sekitar 300 meter ada Brug Abang.
Menurut sejarah kata, brug berasal dari bahasa Belanda yang berarti Jembatan. Abang adalah bahasa Jawa yang berarti merah. Brug Abang adalah benar-benar jembatan seperti jembatan pada umumnya, tetapi bukan berarti berwarna merah, hanya sebutannya saja. Di kalangan masyarakat Tegal Brug Abang cukup dikenal.
Brug Abang adalah jembatan yang melintas di sungai Gung. Terlepas dari asal-usul sebutan Brug Abang, kondisinya memang menarik. Karena di samping jembatan terdapat bendungan, berfungsi untuk membagi arus air sebagai arigasi. Di sekitar lokasi bendungan oleh masyaarakat sekitar dijadikan tempat bermain sebagaimana layaknya tempat rekreasi didukung banyaknya pedagang.
Setelah dibangun jembatan di sebelahnya, sekarang Brug Abang MENGINGAT kawasan sekitar Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal sangat menarik. Jalan raya yang merupakan jalur utama Te gal- Pur wokerto, dari Desa Karanganyar di perbatasan Kota Tegal hingga Banjaran, Adiwerna tiap hari tidak pernah diam. Selalu menunjukkan aktivitasnya.
Dalam sebuah lagu tegalan digambarkan, ” akeh wesi pating telalang nang dalanan, krompyang!” (banyak besi malang-melintang di pingir jalan, krompyang!). Itulah kawasan yang dikenal sebagai sentra industri kecil dan kerajinan.
Mulai kerajinan gerabah, kayu, sampai kerajinan logam. Produksinya antara lain perkakas rumah tangga, seperti; pompa air (dragon), dandang, panci, wajan, kompor, dan cetakan kue. Suku cadang mesin, seperti; baud, dinamo, filter, knalpot motor dan mobil. Juga kerajinan perhiasan dari emas atau perak. Sifat kreatif dan inovatif masyarakatnya itulah membuat Tegal dijuluki ”Jepangnya” Indonesia.
Semua aktivitas produksi merupakan industri rumahan ( home industry ). Tampak kondisi sangat kontras dibandingkan kecamatan lain yang merupakan daerah pertanian. Di dsaerah pertanian, lazimnya yang numpuk di rumah-rumah penduduk, terutama pada musim panen adalah gabah, jagung, kacang, atau singkong. Namun, di Kecamatan Dukuhturi, Talang, dan Adiwerna numpuk adalah hasil kerajinan. Sudah hal biasa kalau baud yang menggunung di ruang rumah penduduk.
Bukan hanya menarik, tetapi menggelitik. Tegal dengan bahasa ngapak-ngapaknya dapat ”dijual” lewat dunia hiburan. Lihat saja nama Cici Tegal, lagu berlogat tegalan, ”Okelah Kalau Begitu.” Semua tergantung bagaimana mengemasnya. Bahasa ngapakngapak yang biasa jadi bahan olokolokan bisa diubah menjadi sesuatu yang laku jual.
Terkait bahasa juga, menarik juga apa yang ada di Jakarta ternyata di Tegal ada. Kalau di Jakarta terdapat daerah bernama Tanah Tinggi, di Kecamatan Adiwerna, tidak jauh dari lokasi makam Amangkurat I ada desa bernama Desa Lemah Duwur. Di Jakarta ada bilangan Jembatan Merah, dari arah makam Amangkurat I, menyebrang jalan raya Tegal-Purwokerto menyusur jalan Projo Sumarto II, sekitar 300 meter ada Brug Abang.
Menurut sejarah kata, brug berasal dari bahasa Belanda yang berarti Jembatan. Abang adalah bahasa Jawa yang berarti merah. Brug Abang adalah benar-benar jembatan seperti jembatan pada umumnya, tetapi bukan berarti berwarna merah, hanya sebutannya saja. Di kalangan masyarakat Tegal Brug Abang cukup dikenal.
Brug Abang adalah jembatan yang melintas di sungai Gung. Terlepas dari asal-usul sebutan Brug Abang, kondisinya memang menarik. Karena di samping jembatan terdapat bendungan, berfungsi untuk membagi arus air sebagai arigasi. Di sekitar lokasi bendungan oleh masyaarakat sekitar dijadikan tempat bermain sebagaimana layaknya tempat rekreasi didukung banyaknya pedagang.
Setelah dibangun jembatan di sebelahnya, sekarang Brug Abangdua lajur. Semula Brug Abang lama lebarnya hanya empat meter. Sedangkan jembatan baru dengan kontruksi baja, lebarnya dua kali dari jembatan lama dimaksudkan untuk menggantikan jembatan lama karena sempit, kurang memadahi. Adanya jembatan baru, jembatan lama tidak dibongkar, menambah unik dan indah, namun tetap disebut Brug Abang, bukan Brug Kembar, misalnya.
Masih di ruas Jalan Projo Sumarto II, sekitar dua kilometer adri Brug Abang sampai di sanggar seni Paguyupan Seni Satria Laras Ragam Pergelaran Dalang Ki Enthus Susmono di Desa Bengle, Kecamatan Talang. Sebagai aspek seni melengkapi aspek yang sudah ada, yaitu aspek sejarah dan industri kerajinan, kesemuanya berbasis tradisi. Desa Bengle juga merupakan sentra batik bercorak pesisir, dengan ciri cerah.
Kawasan potensial
Dengan perpaduan berbagai aspek, di kawasan Kecamatan Dukuhturi, Talang, dan Kecamatan Adiwerna berpotensi untuk dikembangkan menjadi daerah wisata atau penelitian yang bersifat mendorong kreativitas dan inovatif. Sayangnya, pihak pemerintah sendiri daerah kurang inovatif. Berupaya memberdayakannya untuk ditawarkan kepada pihak lain, kalangan akademik, dunia industri atau daerah lain.
Di samping itu, kebanyakan orang masih berpandangan bahwa yang namanya wisata yaitu segala sesuatu yang bersifat “kesenangan” atau hedonis. Sehingga wisata dikonotasikan pada kondisi alam yang indah, tempat belanja, dan hiburan.
Padahal, rekreasi bukan semata kebutuhan bersifat hiburan. Bukan hanya memenuhi kebutuhan hati (perasaan), tetapi juga merangsang otak untuk berfikir, yang bersifat menginspirasi dan memotivasi. Wisata bukan terbatas berdasar objeknya seperti wisata alam. Sehingga mendorong eksploitasi dearah pegunungan, pantai, atau wisata belanja, bermunculannya mal. Padahal, tak sedikit akibat eksploitasi alam menjadikan kerusakan yang ujungnya memicu bencana. Eksploitasi kawasan Puncak di hulu dan Ancol di hilir membuat Jakarta langganan banjir dapat dijadikan pelajaran.
Perlu dikembangkan wisata menurut spesifikasi minat dan bakat yang dapat memicu inovasi dan kreativitas manusia. Misalkan, dirintis wisata seni, wisata edukasi atau riset dan wisata rohani. Merintis wisata semacam itu bukanlah mimpi, sebab seorang pengarang terkenal, Gol A Gong telah memberi contoh mengembangkan wisata seni di Serang, Banten. Jenis wisata dimana yang dianggap serius dibikin menyenangkan, tetapi menumbuhkan daya inovasi dan kreativitas. Untuk merintis model wisata seperti itu, kawasan Tegal Arum sangat potensial.
Di tengah bangsa terus terpuruk, sangat penting merubah paradigma pariwisata. Dari bersenang-senang tetapi mengabaikan aspek substantif bagi manusia, menjadi wisata yang memanusiakan manusia. Yaitu, model wisata yang bukan menawarkan keindahan alam yang semu dan memicu eksploitasi alam serta menimbulkan efek domino, melainkan menawarkan sebuah model wisata yang membangkitkan etos kerja.
Sehingga dalam jangka panjang terwujud bangsa yang berjiwa intrepreneur namun tetap berbudaya
Sumber Berita : http://kilurahsemar.wordpress.com/category/tegal/
0 komentar:
Posting Komentar