Selasa, 19 Juli 2011

Napak Tilas 14 Km Tanpa Minum

Sejak luhur Sunan Kalijaga sangatlah banyak, namun makin sedikit orang yang mengingatnya. Untuk menyegarkan ingatan tentang tokoh penyebar ajaran Islam paling berpengaruh di Nusantara itu, Pesantren Kali Opak Bantul menggelar perayaan 500 Tahun Sunan Kalijaga. Berikut laporannya.
SENIN (18/7) malam, Pondok Pesantren Kali Opak yang berada di Dusun Klenggotan, Srimulyo, Piyungan, Kabupaten Bantul, padat.
Terletak nyelempit di pinggiran Kali Opak dan dengan penerangan yang temaram tak mengurangi nuansa hiruk pikuk di pesantren itu. Puluhan kendaraan berjejer. Kesibukan terlihat di pendapa.
Ada apakah? Ada gawe besar di pesantren tersebut, yakni persiapan langkah ratri ”Merti Luhuring Sunan Kali” sebagai acara pembuka festival dan perayaan 500 tahun Sunan Kalijaga.
Sekumpulan bergada nayakerten mengenakan baju tradisional Yogyakarta berwarna merah marun, bersila mengelilingi sebuah jodhang (tempat air).
Ketua Lesbumi DIY, Jadul Maula, dan Ketua Panitia Webie Mahardika memimpin persiapan ini. Uraian-uraian tentang Sunan Kalijaga dan filosofi aktivitas yang akan mereka kerjakan dituturkan. Ungkapan rasa syukur pada Sang Pencipta, doa-doa untuk junjungan besar Nabi Muhammad SAW pun diucapkan bersama-sama.
Sebagai pamungkas persiapan, sebuah tembang Jawa pun memecah keheningan. //Pawartane pandhita linuwih/ingkang sampun saged sami pejah/Pejah sajroning uripe/ Sanget kepengenipun pawartane ingkang sampun urip/....Leng lang leng lung anedheng Hyang Widhi/mugi-mugi binuka sukma den legakna ing atine//
Tembang tentang harapan pada Yang Maha Kuasa beserta orang-orang yang telah mendahului meninggalkan dunia itu mengiringi diletakkannya jodhang pada pemikul. Sementara para peserta langkah ratri mempersiapkan diri berjajar di teras pendapa. Rombongan ini terdiri atas satu pembawa obor yang membuka jalan, disusul di belakangnya pembawa spanduk.
Pada barisan berikutnya, Jadul Maula dan Webbie Mahardika, barisan pembawa wayang, baru kemudian para pemikul jodhang air yang dipagari oleh para pembawa obor.
Di belakangnya, puluhan santri dari Mlangi dan peserta umum. Setidaknya pada rombongan pertama yang berangkat pukul 21.30 diikuti oleh 70 orang. Rombongan ini secara estafet bertambah atau berganti setiap titik persinggahan.
Salah satu yang menjadikan peristiwa ini istimewa adalah terlibatnya Sultan Palembang, Iskandar Mahmud Badarudin, yang menyambut di Wotgaleh.
Lampah ratri mengharuskan para pesertanya tidak boleh berbicara dan makan-minum, menempuh rute dari pesantren ke Wotgaleh-Kotagede-Alun-alun Utara Keraton Ngayogyakarta. Perjalanan yang berjarak sekitar 14 kilometer ini pun akhirnya tiba di titik terakhir menjelang subuh, Selasa (19/7).
Keserasian dan keterbukaan Islam terhadap budaya Jawa sangat terasa di sini. Rangkaian itu semakin mempertegas makna ketokohan Sunan Kalijaga sebagai salah satu wali terpenting di Nusantara.
Arstitek Budaya
Apa sebenarnya yang membuat Lesbumi, Nahdlatul Ulama DIY, dan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat memperingati 500 tahun Sunan Kalijaga?
Apa yang istimewa dari anggota Walisanga, yang menurut catatan di Kasepuhan Kadilangu Demak, hidup selama tahun 1446-1602 itu?
”Sunan Kalijaga adalah peletak dasar kebudayaan, sosial, politik, dan filosofi kemanusiaan yang penting di Nusantara. Bisa dikatakan, beliau yang hidup pada zaman akhir Majapahit, Demak, Pajang hingga awal Mataram Islam, adalah arsitek kebudayaan yang sampai sekarang masih terlihat jejaknya,” ungkap Jadul Maula.
Namun, peringatan 500 tahun Sunan Kalijaga ini, menurut Jadul, justru timbul dari keprihatinan terhadap kondisi bangsa. Ia mengatakan, tatanan budaya, pemikiran, dan kearifan yang telah terbentuk pada zaman Sunan Kalijaga semakin meredup, tertutup dengan berbagai kebijaksanaan semu yang sarat dengan kepentingan.
”Saat ini, tatanan sosial telah morat-marit. Yang salah dibenarkan, yang benar disalahkan. Ini terlihat dari perwujudan kehidupan individu maupun kelompok,” ujarnya.  
Jadul merasa di zaman reformasi ini muncul istilah demokrasi, pluralisme, multikulturalisme. Namun hal semacam itu hanya berubah menjadi jargon atau slogan. Peringatan ini dimaksudkan untuk menggali kembali nilai-nilai yang telah dipunyai bangsa Indonesia.
”Katakanlah humanisme atau nilai kemanusiaan itu kita punya. Kalau di barat ada the self dan the other, orang Jawa ada aku, kowe dan awake dewe. Ini sebenarnya nilai-nilai universal, yang tidak hanya dikatakan tetapi juga dijalani dengan hati sanubari. Sayangnya, ini semakin tertutup. Dengan peringatan inilah, kami ingin menyingkap dan mengumpulkan kembali peradaban tersebut,” tutur Jadul.
Dalam bahasa Jadul, peringatan ini bisa menjadi spirit untuk mengingat kembali, sebagai titik tolak untuk merekonstruksi nilai-nilai tersebut seiring dengan perubahan zaman.
Langkah ratri sendiri sebenarnya merupakan napak tilas proses perjalanan Sunan Kalijaga dari Demak menuju Mataram.
”Ini semacam rekonstruksi dari segi waktu, ruang, dan spiritualitas nilai ajaran Sunan Kalijaga. Kalau kita bayangkan dulu beliau dari Bayat (Klaten) kan lewatnya sini (Piyungan, Bantul) ke arah titik lokasi keraton Mataram,” ujarnya.
Salah satu simbol terpenting dalam langkah ratri adalah air dalam jodhang yang diambil dari Sendang Panguripan, Jatimulyo, Dlingo. ”Ini sumber air peninggalan Sunan Kalijaga yang tidak pernah kering sampai sekarang. Ini yang kita jadikan spirit. Ini metafor dari sumber pegetahuan yang memancar dari dalam. Kalau orang Jawa bilang kaweruh. Ini pengetahuan yang tidak pernah kering, yang membuat kehidupan menjadi berkembang. Ini antitesa dengan dunia pendidikan sekarang yang terlalu kognitif, sehingga banyak orang pintar tetapi perilakunya rusak,” katanya. (Sony Wibisono-43)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/20 Juli 2011

0 komentar:

Posting Komentar