Minggu, 17 Juli 2011

Warung Tegal Sebuah Fenomena Urbanisasi

Warung Tegal (selanjutnya saya singkat Warteg) adalah salah satu tipe warung makan yang dikenal luas oleh masyarakat Indonesia, terutama melekat di kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah. Harga yang murah dan penyajian yang sederhana merupakan ciri khas yang menjadi faktor utama mengapa warteg lebih melekat di kalangan masyarakat tersebut. Sepiring nasi penuh, sepotong daging ayam, dan kuah sayur, misalnya, dapat kita bayar hanya dengan harga Rp. 4000,-. Jika dibandingkan dengan restoran Padang, harga menu makan di warteg jauh lebih murah. Warteg boleh jadi sudah menjamah berbagai daerah. Tidak sedikit para pemilik warung ini yang sukses.Mungkin Bisa jadi Warteg di sebut Warteg Warung Makan Murah Masakan Berkualitas
Penyajian di warteg begitu sederhana, yaitu dengan menata makanan secara prasmanan, sehingga kita dapat mengambil sendiri pilihan hidangan; ada juga model memilih menu hidangan dengan cara diambilkan oleh pelayan (bisa ibu Sri lihat dalam lampiran foto). Adapun hidangan yang disajikan di warteg bervariasi dan sederhana, terdiri dari: sayur-sayuran (seperti sayur tahu, sayur kacang merah, dan soto), lauk pauk (tempe, tahu, perkedel, goreng-gorengan, goreng ayam, goreng ikan, remis, dan jeroan ayam), urab dan sebagainya. Makanan yang disajikan di warteg didominasi oleh hidangan Jawa. Maklum saja, yang mempunyai usaha warteg adalah orang-orang Tegal yang merantau di kota-kota besar, terutama di kawasan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, Bandung; Semarang, Solo, dan beberapa daerah lain.

Tegal sendiri adalah salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang terletak di wilayah Pantura (Pantai Utara) dengan kota Slawi sebagai ibukota kabupatennya. Uniknya, di wilayah Tegal sendiri –menurut penuturan pengusaha warteg—, sulit menemukan warteg. Hanya ada beberapa warung di jalan utama. Itu saja tidak sesemarak di luar daerah Tegal. Warteg cukup potensial di luar daerah. Pasalnya, warteg bisa tumbuh dan berkembang ketika berada di lingkungan atau di kawasan industri di kota-kota besar. Apakah mungkin di wilayah Tegal sendiri dibentuk sentra warteg? Kemungkinan itu tampaknya kecil. Hal ini disebabkan karena kebanyakan warga Tegal bukan pendatang. Jadi, kalaupun mendirikan usaha warteg, kemungkinan untuk laris sangatlah kecil.
Meski demikian, tidak ada sumber yang pasti, bagaimana bermulanya usaha warteg ini di daerah-daerah yang saya sebutkan di atas. Namun, diperkirakan eksistensi warteg mulai berkembang pada kurun tahun 1970-an ketika arus urbanisasi besar-besaran mulai terjadi di Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia. Pendorong utamanya, jelas, bahwa orang-orang Tegal yang merantau memandang kota-kota besar, seperti Jakarta dan sekitarnya merupakan lahan bisnis yang menjanjikan. Mereka pun menamakan warung nasi-nya dengan nama “warung Tegal”, karena memang dimiliki oleh orang-orang Tegal. Hampir seluruh usaha rumah makan tersebut di wilayah manapun diberi label “warteg”. Ini bukan bisnis franchise, tapi istilah warteg itu sendiri memang betul-betul sudah menjadi brand image atau dengan kata lain sudah menjadi istilah yang merakyat di mata masyarakat Indonesia sampai saat ini. Tidak perlu aturan untuk meminta izin jika mendirikan rumah makan dengan nama “warteg”, karena siapapun dapat dan boleh memakai label “warteg” tersebut untuk menjalankan usahanya. Sehingga dengan “warteg” ini pula, hubungan kaum perantauan dari Tegal ini dapat terjalin dengan baik sebagai sesama pengusaha seprofesi. Oleh karena itu, para pengusaha warteg ini pun mempunyai inisiatif untuk mendirikan perhimpunan kowarteg (Koperasi warung Tegal) yang bertujuan untuk menjalin kerjasama dan membantu anggota-nya melalui wadah koperasi tersebut.

Banyaknya pendatang dari daerah ke Jakarta tentu menjadi alasan utama mengapa warteg makin bertambah jumlahnya dan makin kuat eksistensinya. Dalam arti, banyak dari mereka yang bekerja di wilayah Jakarta dan sekitarnya sebagai buruh bangunan, buruh pabrik, tukang becak, sopir bus, dan profesi blue collar lainnya yang umumnya berpenghasilan rendah. Penghasilan yang rendah dan keberadaan warteg sudah pasti dihubungkan dengan kemampuan finansial untuk mencari biaya makan yang murah. Maklum saja, biaya hidup di kota-kota besar begitu tinggi. Sehingga dengan kondisi demikian, warteg menjadi solusi tersendiri bagi kaum ekonomi menengah ke bawah untuk menikmati makan yang murah meriah.
Selain itu, target konsumen mereka adalah para mahasiswa daerah yang indekos. Tidak heran kalau di daerah kampus, warteg dapat dicari dengan mudah. Ketika saya masih berkuliah di Bandung, warteg memang menjadi tempat makan yang selalu penuh dengan mahasiswa, terutama ketika jam makan siang. Kiriman uang dari orangtua yang terbatas menjadi alasan utama, mengapa para mahasiswa memilih warteg.
Warga Tegal memang lebih suka menjadi wira swasta, sebagian besar membuka usaha warteg yang tergabung dalam perhimpunan Kowarteg (Koperasi Warung Tegal). Jika melihat sekilas usaha warung nasi yang dilakoni kaum perantauan dari Tegal ini, mungkin tidak pernah terlintas di benak kita, bagaimana kehidupan mereka di kampung halamannya. Saya malah pernah berpikiran, bahwa mereka yang mengais rizki di daerah lain mungkin adalah orang yang kehidupannya susah di kampung, sehingga dengan membuka usaha warteg ini setidaknya mereka dapat menafkahi mereka dan keluarganya di kampung halaman.
Ternyata pikiran saya itu meleset. Bukan hanya sekedar untuk menafkahi keluarga mereka, namun kesuksesan mereka ternyata layak diacungi jempol. Meski rata-rata berpendidikan rendah, kekayaan mereka di tanah rantau sebagai pedagang warteg tidak boleh dianggap remeh. Setiap pulang kampung, umumnya pada saat hari raya Lebaran, para pengusaha warteg ini tak pernah lupa menyumbangkan uangnya, untuk membangun dusun atau desa masing-masing. Suasana ramai pun tampak di rumah-rumah mewah (menurut ukuran warga Tegal, karena bertembok dan bertingkat) milik pengusaha warteg yang sukses di Jakarta.
Bahkan, keramaian itu sebenarnya sudah tampak dua hari sebelum Lebaran. Sebab, beberapa hari menjelang Lebaran warga yang sukses membagi-bagikan sembako (sembilan kebutuhan bahan pokok) dan uang kepada warga tidak mampu. Para pengusaha itu pun membuka pintu lebar-lebar pada saat Lebaran tiba. Selama masa masa mudik itulah ekonomi Kabupaten Tegal menjadi lebih semarak dan perputaran ekonomi menjadi lebih dinamis
Setelah mengantongi uang banyak dari bisnis warteg, banyak dari mereka yang membangun rumah besar di desanya. Meski demikian, rumah itu hanya dihuni kalau mereka pulang, ya itu tadi, saat Lebaran. Kalau hari-hari biasa banyak yang tanpa penghuni.
Itu sekilas rekaman kisah yang saya peroleh, baik dari pengalaman mengobrol dengan pemilik warteg ketika masih kuliah dulu; maupun informasi yang pernah saya baca dari media massa yang mengulas tentang bisnis warteg. Mereka memang memiliki jiwa yang ulet, kreatif, dan mandiri, sehingga dapat meraih kesuksesan seperti yang sudah saya kisahkan tadi. Bahkan, Pemerintah Daerah Tegal pernah mempunyai rencana untuk mengutip Rp. 1000,- kepada tiap-tiap pengusaha warteg yang tersebar ribuan jumlahnya di luar kota. Kalau program ini dilaksanakan, jutaan rupiah tiap bulannya dapat mengucur ke kantong pemerintah daerah Tegal untuk membangun desa-desa terpencil. Hal itu menjadi sebuah ukuran begitu pentingnya peranan pengusaha warteg ini.
Makanan Khas
Mengenai makanan khas yang ada di warteg, kalau menurut saya, tidak ada yang istimewa. Tidak ada yang istimewa ini maksudnya karena sudah begitu umum dikenal oleh khalayak masyarakat. Variasi menu hidangan yang tersedia di warteg, memang didominasi oleh cita rasa makanan Jawa Tengah-an yang mempunyai ciri khas santan di beberapa hidangan berkuahnya, namun tidak bercita rasa pedas, seperti halnya hidangan asal Sumatera.
Tapi, kalau berbicara makanan khas Tegal, walau agak menyimpang sedikit dari warteg, saya ingin menyampaikan beberapa jenisnya. Tegal memiliki beberapa jenis “koleksi” kuliner berupa makanan dan minuman khas. Misalnya: teh poci yaitu teh diseduh dalam poci tanah liat kecil dan diminum dengan gula batu, sehingga ada istilah teh poci “wasgitel” kepanjangan dari kata: wangi, panas, sepet, legi, lan (lan dalam bahasa Indonesia berarti kental). Tegal hingga saat ini dikenal sebagai sentra penghasil teh. Teh dijarangi pada poci tanah (teh poci) kemudian dituang ke dalam cangkir dengan pemanis gula batu. Teh dalam cangkir tidak diaduk, sehingga rasa manis ditemukan pada saat isi teh dalam cangkir hampir habis. Hal ini menyebabkan cangkir terus dituangi. Selain teh poci, juga ada aneka jenis makanan seperti yang terdapat dalam buku resep masakan Jawa Tengah berikut ini:
• Sate Tegal (sate kambing muda khas Tegal dengan bumbu sambal kecap), dan sate bebek majir;
• Kupat atau ketupat glabed, kupat blengong (kupat glabed dengan daging blengong. Blengong yaitu keturunan hasil perkawinan bebek dan angsa), dan kupat bongko (ketupat dengan sayur tempe yang telah diasamkan);
• Nasi ponggol, dan nasi bogana (nasi megono),
• Sauto (soto ayam atau babat khas Tegal dengan bumbu tauco dan tauge), dan tahu plethok.
• Mendoan, yaitu tempe goreng yang dilapis tepung dengan bumbu. digoreng tidak kering. Biasanya sebagai teman minum teh poci, dihidangkan dengan sambal.
• Sega Lengko – nasi lengko: adalah nasi dengan bahan pelengkap seperti tempe, tahu yang diiris dadu, toge, dan sambal kacang serta kerupuk.
• Tahu aci: Tahu dengan tepung aci (kanji atau sagu) kemudian digoreng.
• Kemronyos, yaitu sate khas Tegal
• Pilus: makanan kecil (snack) dari tepung terigu.
Memang, makanan yang saya sebutkan di atas tidak semua identik dengan hidangan warteg, namun kadang ada warteg yang menyediakan hidangan istimewa, seperti Soto Tegal dengan memesannya terlebih dahulu. Paling yang mudah dihidangkan dan selalu tersedia adalah tempe mendoan. Adapun jenis makanan khas Tegal bisa ditemukan di rumah makan Jawa Tengah, karena pada dasarnya jenis makanan Tegal –seperti halnya Cirebon— merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari koleksi kuliner Jawa Tengah.

Sumber berita : http://blogs.unpad.ac.id/cheffadly/?p=6

0 komentar:

Posting Komentar