SEBAGAI sebuah produk ideologi, Pancasila sangatlah sempurna. Nilai-nilai yang dibawa sangat tinggi, sehingga hanya manusia sempurna yang bisa mengejawahtahkan ke dalam kehidupan sehari-hari. "Kesempurnaan" ideologi ini bisa dilihat, dirasakan, dan dipelajari sampai pada tingkat detail. Semua hal yang baik telah tercerminkan ke dalam lima sila itu.
Di dalam ideologi itu ada banyak nilai tinggi yang diajarkan seperti ketuhanan, kesetiakawanan, kegotongroyongan, kehangatan, pengertian, kejujuran, kesahajaan, kasih sayang, dan sebagainya. Ir Sukarno yang diakui sebagai penggali Pancasila, seperti juga setiap orang bijak, ingin selalu mempersembahan sesuatu yang terbaik. Apalagi itu untuk bangsanya. Karena itu, meskipun sudah ada ketuhanan, masih dibutuhkan empat sila lagi.
Hampir pasti Sukarno sadar, bahwa jika orang sudah merasa bertuhan, maka hampir pula orang memiliki hati, kasih sayang, kejujuran dalam hati dan perbuatan, menebar kesetiakawanan, menghangatkan tetangga dan persahabatan. Selain itu juga memiliki pengertian terhadap keberadaan liyan, dan merasa perlu ada orang lain untuk diajak bersatu. Tentu masih berderet-deret kebaikan yang bisa dibangun bersama. Logikanya, jika sudah ada ketuhanan, kenapa masih ada sila lain?
Jika seorang, atau masyarakat merasa memiliki Gusti Allah, maka mereka seharusnya memiliki derajat "kesempurnaan" yang tinggi. Seseorang yang memiliki Tuhan seharusnya mampu membentuk dirinya sebagai "manusia sempurna" (manungsa kang utuh/gembleng/the ultimately perfect man). Ekspresi dari nilai ini adalah manusia memiliki pribadi, tingkah laku, dan hidup "sempurna" baik jasmani, rohani, sukmawi dan juga hidup pribadi, sosial dan berketuhanan.
Manusia yang rumangsa duwe Gusti Allah, dan benar-benar ingin menjadi alat Tuhan maka ia bisa menguasai nafsu amarah, aluamah, supiah, dan mutmainah dan selalu mampu bersikap lila legawa (tulus dan ikhlas).
Karena itulah, mereka tidak harus membunuh, mengebom, merusak milik orang lain, dan sejenisnya. Ketika orang merasa perlu menjadi alat Tuhan, dia tidak perlu marah membabi buta, sehingga malah merendahkan-Nya.
Baru satu sila saja, konsekuensi yang harus ditanggung oleh para pelaku sedemikian berat. Bagaimana dengan sila-sila lain? Sila pertama itu merupakan mercusuar yang menerangi sila-sila berikutnya. Ketika orang bermusyawarah untuk mufakat yang disinari oleh nilai-nilai kesejatian Gusti Allah, tidak perlu lagi ngotot-ngototan, gontok-gontokan, saling jegal, menabur kebencian, dan selalu menyiapkan perangkap agar orang lain celaka.
Karena Pancasila tidak terbandingkan dengan ideologi mana pun, tak pelak Pak Harto merasa perlu "menyakralkan" . Lalu, ia menugaskan secara khusus beberapa "ideolog" seperti Roeslan Abdulgani dan Prof Soenardji memberikan koridor tafsir bernilai amat tinggi. Pendek kata Pancasila adalah panduan kehidupan ideal dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Secara jernih harus diakui bahwa Soehartolah yang memberikan tempat tinggi terhadap Pancasila ini. Keberadaan penataran dengan durasi amat panjang, pelabelan manggala, dan segala eksperimennya, sebenarnya menunjukkan Soeharto amat menyadari "kesaktian" ideologi ini.
Dengan nilai amat tinggi yang dibawa dari Pancasila, maka secara ideologi jika diimplementasikan diyakini mampu mewujudkan kesejahteraan diri sendiri (mewayuhayuning diri), menyejahterakan bangsa dan negara (mewayuhayuning bangsa lan negara), dan juga menyejahterakan dunia (mewayuhayuning bawana).
Nilai-nilai luhur itu ternyata belum mampu diwujudkan dalam kehidupan nyata secara ideal. Kenapa? Barangkali lebih karena sedemikian tinggi "target" yang harus dicapai. Jika dalam jangka waktu lama ternyata capaian target terus menerus minimal, maka orang akan merasa frustrasi. Ini naluri dasar manusia.
Sumber Berita : Hendro Basuki : Suara Merdeka CyberNews, 29 Mei 2011
0 komentar:
Posting Komentar