Minggu, 21 Agustus 2011

'Sunda Kecil' di Tapal Batas

ETNIS  Sunda tidak melulu mendiami Jawa Barat. Mereka juga tersebar hingga sekitar lembah Sungai Pemali, Brebes serta di wilayah barat Kabupaten Cilacap.
Dalam kehidupan sehari-hari, mereka lebih banyak menggunakan bahasa Sunda dibandingkan dengan bahasa Jawa. Di daerah tertentu, masyarakat menggunakan campuran kedua bahasa itu.
Realitas ini sangat unik. Mereka tetap merasa sebagai warga Jateng, tetapi tidak bisa memungkiri sebagai etnis Sunda. Di Cilacap, etnis Sunda mendiami di sekitar lima kecamatan, yakni Cimanggu, Karangpucung, Majenang, Wanareja, dan Dayeuhluhur.  Kecamatan terakhir ini, hampir seluruh warganya menggunakan bahasa Sunda, kecuali pendatang. Karena memang secara geografis lokasinya paling dekat dengan Jabar.
Permasalahan yang timbul, yakni ketika sistem pendidikan mewajibkan anak-anak Sunda untuk mempelajari bahasa Jawa sebagai muatan lokal (mulok) di sekolah dasar. Kenyataan itu menjadi sebuah kontradiksi. Karena dalam kesehariannya, ’’Sunda Kecil’’ menggunakan bahasa Sunda, namun di sekolah justru diwajibkan mempelajari bahasa ibu suku saudaranya.
’’Susah. Apalagi kalau pelajaran menulis huruf Jawa, saya tidak bisa,’’ demikian pengakuan Riki, siswa kelas 5 SD Panulisan Timur 3, Kecamatan Dayeuhluhur.
Pengakuan itu juga diiyakan oleh dua teman sepermainannya, Bayu dan Noval. Dalam seminggu, mereka mendapatkan pelajaran bahasa Jawa satu jam pelajaran, selama 45 menit.  Kata-kata yang dipelajarinya pun dirasa asing. Apalagi dalam bahasa Jawa dikenal adanya kasta. ’’Biasanya Pak Guru menyampaikan pelajaran bahasa Jawa menggunakan bahasa Sunda,’’ aku Noval.
Kondisi tersebut juga yang menjadi keprihatinan sebagian masyarakat. Di satu sisi mereka tidak mampu menguasai bahasa Jawa dengan baik, di sisi lain anak-anak tidak mendapatkan pengetahuan tentang bahasa ibu yang digunakan.
Sekdes Matenggeng Arsim menyatakan, banyak anak tidak tahu bagaimana berbahasa Sunda dengan baik. Karena itu perlu diajarkan di sekolah agar bahasa Sunda sebagai bahasa ibu masyarakat setempat tidak mati.
Keprihatinan juga disampaikan masyarakat yang tergabung Aliansi Masyarakat Dayeuhluhur (AMD). Salah satu aktivisnya, Sindu Irawan Fredyansah mengungkapkan, saat ini hampir sebagian besar anak-anak dan remaja tidak bisa berbahasa Sunda dengan baik.
Menyadari kondisi tersebut, AMD pun kini mulai memperjuangkan agar bahasa Sunda menjadi salah satu mulok di sekolah dasar.
Beberapa kali, melalui diskusi internal dan dengan tokoh masyarakat lainnya, mereka mencoba menggolkan tujuan ini kepada pembuat kebijakan.

Muatan Lokal
Camat Dayeuhluhur Agus Supriyono menjelaskan, secara administratif Dayeuhluhur memang masuk wilayah Jateng, namun secara kultur warganya orang Sunda.
Hasil diskusinya dengan masyarakat, sebenarnya tidak ada yang berkeberatan dengan pengajaran bahasa Jawa. Namun, warga berharap bahasa Sunda juga diajarkan di sekolah. “Ini sebagai bentuk kepedulian pemerintah dalam melestarikan budaya yang hidup di masyarakat,” paparnya.
Selama ini dia turut memfasilitasi masyarakat dalam memperjuangkan bahasa Sunda menjadi muatan lokal (mulok). Termasuk saat mendampingi AMD yang mengajukan usulan kepada Disdikpora Cilacap.
Ketua PGRI Dayeuhluhur Basuki mengaku sangat mendukung bahasa Sunda menjadi salah satu mulok.  Selama ini, siswa SD mendapatkan tiga mulok, yakni bahasa Jawa (mulok provinsi), bahasa Inggris (mulok kabupaten) dan Tata Boga (mulok kecamatan).
’’Sebenarnya dulu (bahasa Sunda) pernah diajarkan, namun karena kurikulum yang berubah-ubah, akhirnya dihilangkan,’’ terangnya.
Mereka memang orang Sunda. Tapi masa depan ’’Sunda Kecil’’ di tapal batas ini menjadi tanggung jawab pemerintah Jateng.  Dan perlu diingat, pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara.(47)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/08/21/156733/

0 komentar:

Posting Komentar