Jumat, 05 Agustus 2011

Puasa dan Jihad Kaum Perempuan

Ramadan 1432 Hijriah sudah tiba. Umat Islam di berbagai penjuru dunia menyambutnya dengan suka-cita. Itu karena bulan Puasa ”yang di dalamnya terdapat malam mulia” merupakan bulan yang penuh ampunan; pintu surga dibuka seluas-luasnya dan pintu neraka ditutup serapat-rapatnya. Pendek kata, bulan Puasa adalah momentum tepat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan memohon ampun atas segala dosa yang sudah dilakukan selama setahun lalu.
Namun, tidak banyak yang menyadari kemuliaan bulan Puasa, khususnya para ibu rumah tangga. Tidak sedikit mereka yang mengeluh dan menyambut bulan ini dengan berat hati. Mengapa? Karena sudah pasti puasa akan menambah beban berat. Bagaimana tidak, mulai bangun sahur sampai berbuka puasa,  merekalah yang paling repot. Harus bangun lebih awal agar hidangan bisa tersaji tepat ketika waktu sahur tiba. Sebaliknya, kaum pria sebagian besar tidak mau tahu, mereka akan makan sahur atau berbuka ketika semua sudah siap tanpa mau ikut membantu istri.
Jika siang, kaum ibu harus ”memutar otak” agar menu yang tersaji memenuhi unsur ‘empat sehat lima sempurna’, meski kondisi keuangan keluarga sedang defisit. Bagi keluarga ekonomi menengah ke atas, memang tidak masalah. Tetapi, bagi golongan ekonomi pas-pasan, merancang dan mengatur menu berbuka dengan sehemat-hematnya, bukan pekerjaan yang mudah. Itu belum jika penghasilan suami hanya pas-pasan; sang istri juga harus turut ngode  atau bekerja.

Jihad Akbar
Bagi kaum perempuan yang punya anak balita atau tengah hamil, tentu lebih berat lagi. Selain sibuk mengatur menu buka puasa dan segenap kebutuhan keluarga, mereka juga harus mengurus buah hati agar tetap tumbuh dan kembang secara sehat. Boleh dibilang, kedatangan bulan Puasa merupakan ujian terberat kaum perempuan, khususnya para ibu rumah tangga. Jika kesabaran, ketakwaan, kebesaran dan ketulusan hati tidak menjadi sandaran, mereka tidak akan mendapat apa-apa di bulan Puasa; selain hanya lapar dan dahaga.
Ketika puasa datang, kaum perempuan, dalam bahasa Abidah El Khalieqy (2011), laksana melakukan jihad akbar. Mengapa? Karena pada bulan yang dimuliakan itu, mereka selalu mendapat halangan dalam menjalankan ibadahnya. Daur menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui merupakan fakta biologis yang menyebabkan perempuan tidak sepenuhnya dapat melaksanakan puasa sepanjang bulan. Oleh karena itu, lanjut Abidah, jika tak memahami maksud dan tujuan syariat Islam, serta fikih yang berkenaan dengan perempuan pada bulan puasa, bisa jadi akan timbul keragu-raguan di hati kaum perempuan terhadap ajaran Islam.
Akan tetapi, jika halangan-halangan puasa tersebut direnungkan secara lebih mendalam, sungguh, bulan Ramadan merupakan anugerah bagi kaum hawa untuk meraih kearifan. Suatu kenyataan spiritual yang secara spesifik tidak mungkin dialami oleh kaum laki-laki.

Hidup Wajar
Godaan lain yang teramat berat bagi kaum perempuan adalah dunia mode/fashion. Lihatlah, ketika puasa, aneka desain pakaian dengan menumpang istilah ”busana muslim” menggoda kaum perempuan untuk berbelanja. Maka tidak heran jika mereka berlomba memperbarui busana, mukena, sajadah dan aneka pernak-pernik lain ketika bulan Puasa datang. Tidak heran jika kita sering menjumpai  masjid atau mushala berubah layaknya stage model; di mana kaum perempuan memamerkan aneka desain perlengkapan ibadah  mutakhir. Jika tidak  arif dan selektif, bisa terjadi pertengkaran antara suami-istri.
Agar kaum perempuan juga bisa khusyuk menjalankan ibadah puasa, maka seyogianya kaum laki-laki sadar diri. Dengan kata lain, mereka juga harus berbagi peran secara adil, membantu tugas kaum perempuan secara sukarela dan tanpa paksaan.
Membantu kaum perempuan, tentu tidak hanya secara fisik, tetapi juga psikologis. Apalagi, bagi suami yang istrinya tengah hamil, harus mampu menjadi bapak yang menjaga, melindungi dan mengayomi dengan tulus. Ini akan sangat memengaruhi kondisi anak yang tengah dikandung.
Jika kaum laki-laki tidak sempat membantu secara fisik, cukuplah mereka menciptakan suasana lingkungan rumah yang kondusif dan harmonis; bukan sebaliknya.
Sejatinya, tolong-menolong antara suami - istri itu, sudah lama dicontohkan oleh baginda Nabi Muhammad saw terhadap istri-istri beliau. Sebuah riwayat menyebutkan, Nabi menjahit dan mencuci jubah yang dikenakannya sendiri. Jika panutan kita saja mencontohkan hal mulia, mengapa kita sebagai umatnya tidak meneladani?
Tidak mudah memang bagi suami untuk sadar dan legawa membantu tugas istri di bulan Puasa. Ada saja alasannya; entah semalam begadang tadarus, lelah bekerja di kantor dan sebagainya. Meski berat, tetapi demi sang istri tercinta, kaum laki-lahi harus turun tangan membantu.
Yang lebih penting, seyogianya setiap keluarga muslim memperlakukan bulan Puasa secara wajar, sebagaimana bulan-bulan yang lain secara ekonomi. Artinya, budaya konsumtif yang memuncak berbarengan dengan hadirnya bulan Puasa, mestinya ditekan sedemikian rupa, agar tidak seperti pepatah: besar pasak dari pada tiang. 
Berdasarkan pengalaman bulan Puasa yang lalu, oleh sebagian umat Islam, puasa malah digunakan untuk mengumbar hasrat konsumerisme. Seperti diberitakan salah satu koran nasional, tahun lalu omzet penjualan retail melonjak hingga 50 persen daripada bulan biasanya.
Bagi keluarga muslim yang berlebih, alangkah mulianya jika anggaran untuk berbuka ”yang tidak sewajarnya” disalurkan untuk kerja atau usaha pengentasan kemiskinan. (24)

—Siti Fathimatuz Zahroh AMG, ibu rumah tangga, alumnus SMA MTA Surakarta.
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/08/03/154866/14/

0 komentar:

Posting Komentar