Kamis, 04 Agustus 2011

Puasa Para Pejabat

SETIAP pagi, pada saat fajar, selalu terdengar sebuah panggilan agung yang dikumandangkan melalui televisi, radio, atau loudspeaker di masjid dan mushala. Panggilan agung itu mengajak manusia kepada kemenangan dan kebahagiaan.
Dialah “al-imsak”; panggilan agung sebagai pertanda dimulainya ibadah puasa. Imsak adalah batas di mana manusia harus meninggalkan makan, minum, berjimak, dan perbuatan lain yang membatalkan ibadah puasa. Dengan ungkapan metaforis, Alquran menggambarkan saat imsak melalui ungkapan waktu ketika manusia mampu membedakan secara jelas benang putih dari benang hitam, yaitu fajar  (Qs. 2, al-Baqarah: 187).
Pada saat fajar, menjelang terbit matahari, manusia mampu melihat semua objek dengan jelas. Selain makna harfiah, ungkapan Alquran tersebut juga memiliki makna filosofis yaitu saat manusia mampu membedakan mana yang benar (putih) dan salah (hitam).
Demikianlah, pada saat imsak masih banyak orang yang sudah berniat berpuasa tetapi masih menerabas batas-batas aturan. Perbedaannya memang hanya beberapa menit. Sangat singkat. Tetapi, saat yang singkat itu mampu membedakan hamba Allah yang taat dan yang maksiat. Banyak yang memanfaatkan saat-saat imsak untuk meneguk minuman dan beberapa suap nasi. Alasannya ”tanggung”. Saat imsak seringkali dimanfaatkan oleh para ”ahli hisab” (perokok) untuk mengisap beberapa isapan atau bahkan sebatang rokok. Banyak yang tidak mampu menahan diri karena merasa tidak ada yang mengawasi atau karena tidak ada sanksi. Padahal, hakikat berpuasa sebagaimana pengertian lafadznya adalah menahan diri.
Kecenderungan menerabas imsak selain membedakan tingkat ketaatan seorang hamba akan perintah Allah SWT juga menunjukkan sifat  ambivalensi manusia. Secara kodrati, manusia memiliki potensi untuk menjadi hamba yang saleh atau manusia yang salah.
”Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-nya (7); maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya (8).” (Qs. 91, asy-Syams: 7-8). Ekspresi dari sifat yang ambivalen itu dapat terlihat dari perilaku manusia yang acapkali bertolak-belakang  keinginan dirinya dan kehendak Tuhannya. Di satu sisi, manusia mendambakan kebahagiaan dunia dan akhirat. Tetapi, pada sisi yang lainnya mereka tidak mematuhi tuntunan dan jalan menuju kebahagiaan. Mereka ingin mendapatkan ridha Tuhan, tetapi justru mengikuti bujukan setan.

Lokomotif Perubahan
Akibat perilaku manusia yang ambivalen itu, kita menyaksikan kehidupan kebangsaan yang paradoks. Sepanjang Ramadan, bahkan dalam kehidupan sehari-hari, umat Islam khusyuk menunaikan ibadah puasa. Akan tetapi, kesalehan ritual ini belum mampu menjadikan Indonesia sebagai negara yang bersih dari korupsi dan berbagai tindak kejahatan. Harus diakui, sebagian koruptor adalah umat Islam.
Korupsi adalah bukti kekalahan manusia mengendalikan nafsu serakah. Angka korupsi di Indonesia masih sangat tinggi dan semakin menggurita. Mafia koruptor menjarah harta negara dan merampas hak rakyat jelata di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Negara seakan tidak berdaya memberantas korupsi karena para penyelenggara negara ditengarai telah menjadi bagian sistemik dari kejahatan korupsi.
Malangnya, sebagian dari aktor utama korupsi adalah  para pejabat negara yang berkuasa dengan mandat kuat rakyat. Praktik state capture corruption inilah yang membuat Indonesia, negeri muslim terbesar di dunia, terjerembab ke jurang berbagai permasalahan dan di ambang kegagalan.
Ramadan adalah saat yang tepat untuk menempa kita menjadi manusia yang mampu menahan diri dari berbuat dosa. Kemampuan menahan diri adalah karakter mulia yang seharusnya dimiliki oleh semua manusia bertaqwa, khususnya para pejabat. Dengan segala kemampuan dan kekuasaan yang melekat pada jabatannya, para pejabat negara adalah insan perkasa yang mampu menjadi lokomotif perubahan.
Jika para pejabat mulai berperan sebagai imam dalam pemberantasan korupsi, rakyat akan menjadi makmum yang setia mengikutinya. Inilah makna panggilan agung puasa bagi para pejabat dan rakyat. Semoga Ramadan tahun ini menjadi tonggak awal pemberantasan korupsi.
(Dr Din Syamsuddin, ketua umum PP Muhammadiyah-34)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/08/04/155023/

0 komentar:

Posting Komentar