Kamis, 04 Agustus 2011

Tak Melulu Bahas Haram dan Halal

MUHAMMAD Kharis (25) masih teringat peristiwa 15 tahun lalu saat diajak ayahnya mengikuti pengajian tafsir Alquran di Masjid Al Aqsha Kudus. Ia belum tahu mengenai materi tafsir yang disampaikan KH Sya’roni Ahmadi.
Kini, dia tahu kitab tafsir apa saja yang digunakan untuk membedah Alquran.  “Biasanya Kiai Sya’roni memakai kitab Tafsir Jalalain dan Showi untuk menerangkan setiap ayat Alquran,” katanya.
Ratusan tahun yang lalu, kawasan Masjid Al Aqsha adalah sebuah dusun pusat penyebaran Islam di pesisir utara Jawa yang dibangun oleh Sunan Kudus, Raden Ja’far Shadiq. Nassirun Purwokartun dalam novelnya Penangsang: Tembang Rindu Dendam (2010) mengambarkan upaya pembangunan pusat keilmuan di Dusun Tajug itu tanpa melukai pemeluk agama lain yang telah menempati. Candi-candi dari pemeluk agama lain hanya diubah fungsinya saja.
“Sunan Kudus selalu mengingatkan pentingnya ajaran Islam sebagai rahmat bagi semesta alam. Seperti lebah yang tak pernah merusak bunga ketika dihisap. Justru menjadi mekar karena kerja sang lebah,” tulis Nassirun.
Semangat ajaran ini diteruskan melalui generasi berikutnya dengan mengajarkan nilai-nilai Alquran yang moderat. Kharis mengambil pelajaran dari pengajian tafsir bahwa Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini kerap memberikan solusi, tidak melulu membahas haram dan halal persoalan agama. “Solusi yang diberikan sesuai dengan konteks masyarakat, tidak hanya menyoroti soal hukum saja,” kata pria asal Kecamatan Nalumsari Jepara ini.
Ramadan ini Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus (YM3SK) menggelar pengajian umum tafsir Alquran, 3 - 27 Agustus. Pengajian ini melanjutkan agenda rutin bedah Alquran setiap Jumat selepas shalat subuh. Pengajian yang dimulai sehabis shalat subuh hingga pukul 06.00 ini diikuti ribuan muslim dari Kudus, Jepara, Demak, dan Pati.
“Biasanya akhir pekan peserta pengajian membludak, karena banyak kantor yang libur, sehingga jalan depan masjid dipakai tempat duduk,” kata Denny Nur Hakim, staf YM3SK.
Pihak yayasan menyediakan layar LCD untuk menjembatani peserta pengajian di luar masjid. “Biar bisa langsung melihat aktivitas kiai di dalam masjid saat menerangkan tafsir,” kata Denny.
Tafsir Jalalain merupakan kitab tafsir karya Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli (791 H-864 H) dan Abu al-Fadl Abdur Rahman bin Abu Bakar bin Muhammad Jalaluddin as-Suyuti (849-911 H). Disebut Tafsir Jalalain yang berarti dua (ulama tafsir bernama) Jalal.
Tadarus
Pengurus YM3SK juga menggelar tadarus umum “Pitulasan” di aula Masjid Menara Kudus, setiap hari selepas shalat tarawih mulai 3-27 Ramadan. Tadarus umum ini adalah tradisi yang digagas oleh KHR Asnawi, ulama Kudus yang turut menahkodai renovasi Masjid Menara Kudus pada awal abad XX.
Nama Pitulasan diambil dari tanggal yang digunakan untuk menggelar tadarus Alquran. Namun, belum diketahui kenapa tanggal yang diambil adalah 17, bukan yang lain.
Ketua Panitia, Nailal Muna (50), belum mengetahui alasan Kiai Asnawi mengambil angka itu. Setahu dia cara penamaan dan pendirian majlis dengan nama diambil dari angka-angka adalah kekhasan Kiai Asnawi. “Saya belum tahu maksud Kiai Asnawi mengambil angka itu. Saya lahir tradisi ini sudah ada,” jelas dia yang telah menjadi ketua panitia pengajian pitulasan selama 13 tahun ini.
Acara pokok dalam pengajian pitulasan adalah semaan atau saling baca dan simak Alquran. Ada tiga pemuda membaca Alquran di atas panggung bergiliran. Setiap hari tidak sama yang membaca. “Setiap kelompok terdiri atas tiga pemuda, agar tidak capek dan terburu-buru membacanya. Mereka akan digilir dengan kelompok yang lain seminggu sekali. Jadi, ada 21 pembaca Alquran,” jelas Nailal.
Pembaca Alquran, menurutnya, tidak asal ambil tetapi melalui seleksi dengan dasar menjaga kualitas bacaan. “Orangnya harus fasih pelafalannya dan tartil, tidak buru-buru. Jika tidak sesuai tidak kami terima,” katanya.
Seleksi dilakukan semata untuk menjaga majlis sebagai acuan masyarakat dalam membaca Alquran. Ia mengisahkan bahwa dulu pernah terjadi pembaca Alquran kurang fasih dan tartil. Lalu ada surat dari penyimak berisi kritik atas kesalahan yang dilakukan pembaca.
Meskipun agenda Ramadan di Masjid Al Aqsha terkesan tradisonal, nilai ajarannya menembus ruang dan waktu. Umat muslim membutuhkan solusi atas masalah yang dihadapi dengan cara pandang yang moderat dan membumi. Dari Alquran jawaban mengenai semua persoalan kehidupan digali. (Zakki Amali-35)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/08/04/155015/

0 komentar:

Posting Komentar