Minggu, 31 Juli 2011

Tapa Ngrame sang Sufi Cyber

MAKIN banyak medium, makin kuatkah syiar keagamaan?
Kreativitas seperti apa yang mengikuti dinamika kehidupan beragama seiring dengan kepesatan perkembangan teknologi informasi?
Reformasi dakwah, dari sisi kemasan, berjalan beriring dengan tuntutan kreativitas mediatika. Para pelaku dan pengakses dakwah pun seperti menjalani ”tapa ngrame”, ”berzikir di tengah gemuruh keramaian dunia”, menginternalisasi ritus sekaligus spiritualitas sosial, yang bahkan jalan tasawuf pun bisa dibuka lewat ruang maya.
Fenomena ini tentulah bisa dibaca sebagai tren teknologi informasi. Apa pun mediumnya, satu tujuannya. Apa pun jalannya, pintu kesadarannya sama. Amin Syukur dalam Tasawuf Kontekstual (2003) menjelaskan, tasawuf berarti kesadaran seorang hamba, adanya dialog dan komunikasi langsung dengan Tuhan.
Cyber-space hampir dalam seluruh aspek kehidupan sekarang ini pun dimanfaatkan sebagai bagian dari ikhtiar membangun syiar. Dan, ketika jalan sufi dipahami dari sisi ”syiar hati”, medium apa saja akhirnya hanya bagian dari pilihan ”cara”. Zikir —meminjam istilah Ahmad Mustofa Bisri dalam Mencari Beningnya Mata Air (2008) — merupakan kunci pintu gerbang Allah dan pembuka sekat kegaiban, penarik kebaikan-kebaikan dan pelipur keterasingan. Ia merupakan pancaran wilayah dan pendorong kepada makrifat Allah.
Barang tentu, zikir bisa diintensifikasi di ruang apa pun, di ruang mana pun. Substansinya untuk ”mengingat Allah” dengan tujuan akhir kemaslahatan individu dan sosial tak memandang dengan cara bagaimana ditekuni.
Mensyukuri Nikmat
Eksplorasi teknologi, pada akhirnya kita pahami sebagai buah pencapaian manusia dalam mensyukuri nikmat Tuhan lewat ilmu dan pengetahuan. Realitas ini, dari sisi ritus dan implementasi sosialnya, membangun kesadaran baru, yakni pencapaian ilmu dan kebijaksanaan hidup dengan memanfaatkan kemajuan teknologi yang memudahkan dan mempraktiskan. Itulah jalan memeroleh hikmah. Seperti yang dikutip Laode M Kamaluddin dan A Mujib El Shirazy dari Fudhail bin ‘Iyadh dalam The Islamic Golden Rules (2011), ”Ulama itu banyak, tapi ahli hikmah yang bijaksana itu sedikit. Sesungguhnya yang dituju dari ilmu pengetahuan adalah hikmah kebijaksanaan. Barang siapa yang dianugerahi hikmah, maka ia telah mendapatkan anugerah yang tak terhingga”.
Tesis ini bisa membuka pintu ke titik singgung: ilmu dan hikmah. Dari mana ilmu digali; ke mana pengetahuan dipancarkan? Seperti apa pula posisi ritus? Apakah perkembangan teknologi lalu menomorsekiankan ritus?
Jalaluddin Rakhmat, lewat kolom ”Ritualisme” dalam Reformasi Sufistik (1998) mengingatkan, jangan sekali-sekali diartikan ritus-ritus itu tidak penting. Ia tetap harus dilakukan. Ritualisme keliru karena berhenti pada ritus. Pada ritualisme, agama tampak hanya sebagai serangkaian upacara formal yang kering dan tidak bermakna. Namun ketika hanya  meloncat kepada makna yang paling dalam dengan meninggalkan ritus-ritus lahir, lalu mengatakan ritus-ritus itu hanya wahana untuk mencapai tingkat spiritual yang tinggi, dan mengatakan tidak perlu wahana lagi, mereka sudah mengklaim dirinya sebagai orang suci. Klaim seperti itu, dalam tasawuf, disebut ‘ujb (merasa kagum dengan dirinya).
Kata Jalaluddin, iblis jatuh karena itu. Eksoterisme sama satu sisinya dengan esoterisme. Sebagaimana Allah (Dialah Yang Lahir dan Yang Batin — QS 57:3), seorang muslim menjalankan dimensi keberagamaan yang lahir dan yang batin sekaligus.
Jadi, dengan menjejak ruang apa pun, substansi keberagamaan untuk meraih kesalehan individual sekaligus kemaslahatan sosial menjadi tujuan.
Sufi pada era cyber, atau medium apa pun, berhakikat sama: keikhlasan menuju Allah untuk meraih hikmah. Dalam jejak sederhana, mari kita ber-tapa ngrame. (33)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/07/31/154496

0 komentar:

Posting Komentar