Selasa, 14 Agustus 2012

Jokowi Tak Suka Koalisi Simbolis

Jakarta Kemeja putih yang dikenakannya saat melaksanakan salat Jumat di Masjid Istiqlal, Jakarta, membuat penampilan Joko Widodo (Jokowi) tak terlalu dikenali jemaah. Maklum, selama kampanye putaran pertama pemilihan Gubernur DKI Jakarta, kemeja kotak-kotak merah telanjur melekat padanya. Bahkan para petugas keamanan di Pintu Al-Fattah, pintu utama Istiqlal di seberang Gereja Katedral, pun tak terlalu ngeh Jokowi memasuki arena masjid sejak pukul 11.30 WIB.

“Dia kan enggak pernah pakai protokoler resmi. Malah mungkin sopir busway akan lebih tampan karena pakai jas dibanding dia,” kata si petugas sambil tertawa.

Ya, selama tujuh tahun menjadi Wali Kota Solo, Jokowi dikenal amat bersahaja. Ke mana-mana menyapa warga tanpa pengawalan. Begitu pun selama berkampanye di Jakarta. Jumat lalu, dia memasuki ruang masjid cuma ditemani seorang pengawal dari Kepolisian Daerah Metro Jaya. Ia menenteng sendiri sepatu hitam merek Buccheri ke tempat penitipan.

Kehadiran Jokowi baru disadari banyak orang ketika seorang wartawan berteriak dan mengabadikan momen itu. Puluhan hingga ratusan orang kemudian silih berganti menghampiri, menyalami, mendoakan, atau sekadar berfoto bersama. Aksi mereka ditingkahi rengekan puluhan pengemis yang meminta sedekah kepada Jokowi.

“Waduh... bukan saya tak mau beri, tapi nanti saya disemprit (Panwaslu), dikira kampanye,” ujarnya meminta pengertian kepada para pengemis. Karena menghindari hal-hal sensitif semacam itu, Jokowi sengaja mengenakan kemeja putih saat Jumatan. “Pinginnya sih pakai kotak-kotak terus, tapi apa semuanya senang? Saya enggak ingin memanfaatkan. (Sekarang) enggak pakai kotak-kotak saja tetap dirubung, ha-ha-ha... sombong,” ujarnya.

Dari Istiqlal, Jokowi menuju kawasan Epicentrum di kawasan Kuningan untuk menyaksikan preview film Brandal Brandal Ciliwung. Ia mempersilakan Pesta Sitorus dan Sudrajat dari Detik ikut bersama mobil Kijang Innova yang ditumpanginya. Selama satu jam perjalanan, Jokowi menjawab berbagai pertanyaan, mulai isu SARA yang menerpanya, rencana koalisi, hingga strateginya membangun Jakarta. Berikut ini petikannya.

Ini pertama kali Anda salat Jumat di Istiqlal?

Kalau pas pemilihan gubernur ini, iya. Tapi sebelumnya ya sering kalau pas ke Jakarta.

Enggak takut dibilang pencitraan, termasuk umrah dua pekan lalu?

Aduh... saya itu punya anu, ya, nanti saya dibilang sombong lagi pas puasa-puasa. Di Abu Dhabi proyek saya banyak. Saya juga punya office dan showroom di sana, jadi enggak mau ngomongin umrah di sana. Nanti saya ngomongin malah jadi riya lagi, janganlah. Kemarin saya juga enggak mau ngomong berangkat, tapi ya sudahlah. Karena sudah beberapa kali kami enggak bisa umrah bersama anak, jadi pas kemarin anak-anak bisa, ya sudah, saya berangkat sama anak-istri, tapi ada satu anak yang enggak bisa ikut.

Jadi bukan karena ada isu SARA?

Enggaklah, wong enggak pernah saya pikir soal isu SARA. Tapi mestinya tidak seperti itu. Yang namanya pilkada itu adu visi, adu program, dan adu solusi, sehingga jadi pembelajaran untuk masyarakat.

Sempat terganggu?

Enggak, saya enggak terganggu. Tapi, menurut saya, itu mengganggu masyarakat.

Bagaimana Anda meng-counter tudingan bahwa Ibu nonmuslim dan ayah terlibat PKI?

Ya mau gimana. Saya tahu semuanya yang masuk tentang saya. Tapi mau saya apain? Setelah terekspos mengenai ibu saya, wartawan ramai ke tempat ibu saya. Padahal ibu saya saja enggak pernah saya ikutkan, tapi kemudian media ke sana, ya terserahlah. Tanya langsung saja. Tapi ya mestinya janganlah, Ibu saya kan sudah tua, jangan difitnah seperti itu.

Itu dari sisi Ibu, kalau Ayah?

Ayah saya sudah almarhum. Dulu beliau kerja di swasta, kecil-kecilan. Jualan kayu kecil-kecilan. Ayah saya itu anaknya lurah di sebuah desa di Karanganyar. Kalau ibu adalah anak petani di sebuah desa di Boyolali. Bapak-ibu dan adik saya sudah haji semuanya. Ayah saya dulu mau haji tapi keburu meninggal, terus dihajikan. Saya pada dasarnya enggak senang, enggak mau berbicara itu (silsilah keluarga).

Kecewa karena yang melontarkan Rhoma Irama?

Sangat kaget sebagai seorang penggemar berat.

Bukankah hobi Anda musik rock, kok menggemari Rhoma juga?

Emang rocker enggak boleh dengar dangdut dan keroncong, ha-ha-ha.... Rhoma Irama itu kan dangdut rock, bukan dangdut pop. Semua orang juga ngerti nyanyinya Bang Haji. Semua juga tahu lagunya, dari Begadang, Judi, 135 Juta, Adu Domba, Indonesiaku, Darah Muda, ha-ha-ha.... Dulu saya punya koleksi albumnya, tapi sudah hilang semua. Kalau rock sih masih banyak.

Anda kecewa tokoh idola Anda malah menyudutkan posisi Anda?

Enggak apa-apa saya, ya sudah enggak apa-apa.

***

Ada strategi khusus untuk putaran kedua?

Enggak punya strategi, dari kemarin sama saja kerja kecil-kecilan, dari kampung ke kampung dari RW ke RW. Hanya itu, kok. Itu bukan strategi, tapi menghabiskan tenaga. Sebab, kalau mengundang ke gedung dan ke restoran, kan biayanya besar. Sedangkan kalau datang kan tinggal nyalamin saja, jadi modalnya hanya salaman, ha-ha-ha.... Karena memang kita kan organisasinya juga enggak jelas, tanpa bentuk, dan jalan sendiri-sendiri.

Enggak jelas bagaimana?

Ya, enggak jelas, coba saja cek markasnya di mana. Di Pasar Minggu juga komputernya cuma ada satu. Di tempat lain juga hanya ada satu atau dua. Namanya ini sukarelawan, masyarakat yang mengorganisasi dan mereka bergerak tanpa sebuah organisasi yang masif dan solid. Kami hanya memberikan panduan kecil-kecil. Makanya saya bilang ini hanya kerja kecil-kecil. Kalau kerja besar pakai duit gede, apalagi kalau mau buat strategi, pakai duit yang gede banget. Jadi enggak usah pakai strategi-strategianlah.

Anda yang memang tidak mau?

Bukan enggak mau, saya ini mengerti. Mendesain sebuah strategi dananya dari mana. Yang paling enak dan gratis ya datangi saja ke kampung, salamin. Saya enggak tahu itu efektif atau enggak. Saya koalisinya langsung dengan rakyat, warga, masyarakat, dan dengan partai semuanya. Kalau yang lain nanti di TPS (tempat pemungutan suara) saja, namanya koalisi TPS, ha-ha-ha....

Pak Taufiq Kiemas menyarankan Anda mendatangi para tokoh?

Kan sudah didatangi. Hanya, memang saya tidak mau bersuara-bersuara atau saya keluarkan di koran bahwa saya sudah bertemu kiai ini, tokoh anu. Kan enggak pernah saya begitu. Saya enggak mau meng-endorse diri saya dengan tokoh-tokoh yang dipakai hanya untuk pencitraan. Saya simbolis-simbolis mah enggak (suka). Tapi saya datangi semuanya. Sesepuh yang di sini saya datangi semuanya, tapi tidak mau kami publish memang.

Selain Habib Munzir, siapa lagi?

Banyak, habib-habib yang sudah saya datangi bukan hanya satu-dua atau tiga. Yang kemarin itu memang terekspos, padahal saya enggak bawa (wartawan). Saya hanya mau jenguk beliau sakit, itu saja sebenarnya. Eh tepergok sama media, ha-ha-ha.... Sudah saya datangi semuanya. Hanya, terus terang, saya enggak mau ngomong karena memang saya menjaga tokoh-tokoh itu.

Benarkah Anda menghindari koalisi dengan partai karena minta konsesi tertentu?

Enggaklah, saya ketemu semuanya, kok, tapi saya enggak sebutkan dengan siapa. Golkar dan partai lain saya ketemu, tapi saya memang kerja-kerja senyap saja. Kemarin dengan PKS juga diam-diam, tapi ternyata ada yang kasih tahu tapi enggak tahu siapa. Proses komunikasinya baru proses silaturahmi. Dengan partai yang lain juga seperti itu, kami tetap proses. Tapi, kalau mereka sudah memilih, ya enggak apa-apa, kami hargai. Tapi proses politik itu kami enggak pernah gembar-gemborkan. Dengan PKS kami masih telepon, masih komunikasi.

Di sebuah media dikabarkan PKS minta jatah tiga kepala dinas?

Enggak ada, dengan saya enggak bicara itu, hanya bicara masalah visi Jakarta ini ke depan seperti apa. Itu juga belum rampung karena saya ada acara, Ustad Luthfi (Luthfi Hasan Ishaaq, Presiden PKS) juga ada acara, jadi baru silaturahmi saja, kok.

***

Memasuki Jalan HR Rasuna Said, arus lalu lintas benar-benar padat. Kijang yang kami tumpangi harus merayap. Selain gedung-gedung pencakar langit dan aneka mobil mewah yang ikut merayap, tiang-tiang beton untuk proyek monorel yang mangkrak menjadi pemandangan menarik.

***

Ada yang mengusulkan tiang-tiang itu dibuat jalan layang khusus jalur bus. Anda setuju?

Proyek trem itu kan dibuat oleh orang yang pintar, yang ahli. Mestinya sudah dihitung dan dikalkulasi, kalau harus dimangkrakkan seperti itu, la terus gimana. Keputusan itu kan mestinya sudah berdasarkan sebuah kalkulasi semuanya. Mulai gambar sampai desain dan mestinya studinya sudah komplet. Kalau bolak-balik enggak rampung-rampung, jadinya hanya jadi kajian-kajian dan sebatas studi. Kalau saya, ada blueprint, ya sudah, eksekusi, laksanakan, kawal sesuai dengan waktu yang ditentukan. Proses manajemennya enggak usah berbelit-belit.

Jadi tak setuju dijadikan shelter busway?

Selesaikan (monorel). Kalau mau dijadikan elevated busway dan elevated bus kan beda soal, dan saya enggak pintarlah yang begitu-begitu. Tapi orang pintarnya banyak yang bisa itu.

Proyek monorel mangkrak karena terkait dana perbankan?

Inilah yang namanya kekeliruan cara berpikir. Pemerintah itu pelayanan, bukan cari untung, yang ada sekarang itu berlomba-lomba cari income, PAD (pendapatan asli daerah), dan memberatkan masyarakat. Pemerintah itu melayani, baik di bidang KTP, perizinan, maupun transportasi, itu pelayanan. Jadi paradigma itu harus diubah jadi pelayanan dan kesejahteraan. Kok kita ini malah jadi saling bangga-banggakan masalah PAD, warteg pun jadi dijadikan sumber PAD. Yang kecil-kecil belum bisa bertelur saja sudah dikenai pajak, saya enggak ngerti cara-cara berpikir seperti itu.
Kalau hitung-hitungan soal untung dan rugi, la kita ini swasta atau pemerintah. Saya itu orang bisnis, tapi kalau sudah masuk ke pemerintah, ya pelayanan. Cari untung itu gampang buat saya kalau jadi pemerintah. Saya tiketin orang masuk ke Jakarta, bisa langsung beribu-beribu triliun dapatnya.

Kalau soal parkir liar, bagaimana Anda akan menertibkannya?

Kembali lagi, itu manajemen sistemnya yang harus diperbaiki semuanya. Manajemen sistem harus diperbaiki di semua lini, baik pelayanan KTP, perizinan maupun perparkiran. Itulah gunanya pemimpin, untuk mengatur-atur seperti itu. Karena sistemnya enggak dibangun, ya jadi muncul begitu. Ini tantangan yang jadi menarik kalau bisa diselesaikan dan kita cari solusinya. Enggak usah susah-susahlah. Saya pingin konkretnya saja, misalnya untuk penyelesaian macet, solusinya apa untuk jangka pendek dan jangka panjang. Kalau hanya menunggu monorel dan MRT, kan butuh berapa tahun. Soal preman di Solo juga ada, dulu ada dan sekarang juga ada, tapi kan harus dikurangi yang seperti itu.

Moto Solo adalah The Spirit of Java, Jakarta kira-kira apa?

Begini, untuk membuat slogan, ada prosesnya, yakni partisipasi masyarakat. Jadi dilombakan, bukan ditanyakan kepada saya. Itu dari hasil lomba dan partisipasi masyarakat, ditentukan bersama-sama. Kota sebagai sebuah produk perlu yang namanya management product, positioning, diferensiasi, slogan, trademark, trade-name, perlu yang namanya brand. Jadi jangan terjebak pada sisi administrasi saja dan melupakan bahwa kota itu perlu sebuah city branding, sehingga dikenal.
Kalau orang mau ke Jakarta, sudah tahu, misalnya di sini adalah kota karnaval, kota festival, atau kota fashion muslim, misalnya. Bisa saja itu dibangun, tapi dengan proses partisipasi. Kayak orang mau ke Paris, bayanginnya langsung mode. Itu yang harus diproses, tapi justru itu yang dilupakan. Ide dan gagasan itu akan muncul berbondong-bondong dari masyarakat kalau mereka diajak berpikir memajukan kotanya. Pemimpin itu sebenarnya hanya memotivasi dan menginspirasi. Jangan berpikir yang sulit-sulit, kalau enggak mau yang susah-susah, sederhana saja tapi segera dilaksanakan. Masyarakat itu menunggu yang nyata, yang konkret, bukan menunggu rencana, wacana, atau yang akan datang, ha-ha-ha....

***

Setiba kami di gedung Menara Epicentrum, ternyata tak ada tanda-tanda sukarelawan yang memandu. Si pengundang pun sulit dihubungi. Sambil menanti stafnya berkoordinasi, Jokowi tetap meladeni pertanyaan seputar keluarga dan hobinya.

***

Fisik Anda dari dulu kerempeng seperti ini?

Ya enggak, di Aceh saya dulu gemuk, di atas 60 kilogram. Sekarang 53-54 kilogram karena rajin olahraga. Itu wajib. Olahraganya ya jalan-jalan ke wilayah-wilayah, murah meriah. Joging dan sepedaan juga. Atau sesekali futsal.

Masih kuat sepak bola?

Masihlah, saya masih muda, kok, ha-ha-ha.... Ikutin saya kalau mau, dari pagi sampai pagi ke kampung-kampung. Nah, itu kan tivi-tivi kalau ikutin saya dari pagi, siangnya sudah pada ngglundung. Pengawal-pengawal juga sama, berapa dari Polda ada empat orang yang ngglundung, ha-ha-ha....

Pernah diopname? Sakit sampai korbankan kesehatan?

Hmm, gimana sih ya, saya sampai sekarang paling takut sama dokter. Saya kalau enggak karena pilkada enggak pernah check-up, hahaha.... Enggak pernah sampai sakit keras yang bikin saya harus masuk rumah sakit.
Sumber Berita : http://news.detik.com/read/2012/08/14/071946/1990514/10/jokowi-tak-suka-koalisi-simbolis?991104topnews

0 komentar:

Posting Komentar