Rabu, 08 Juni 2011

Cricula Triphenestrata

TEMPO Interaktif, Yogyakarta: Tadinya, kokon atau kepompong ulat sutra liar yang banyak bertebaran di kawasan pedesaan di Yogyakarta sering disia-siakan masyarakat. Paling-paling ulatnya dimakan manusia, dan kupunya dijadikan makanan ayam.
Tapi kini tidak lagi. Kepompong-kepompong itu telah bersalin rupa menjadi benang dan kain berharga hingga jutaan rupiah. Semuanya berkat kreativitas 41 orang perajin di perusahaan kerajinan tangan PT Yarsilk Gora Mahottama.
Pemimpin Yarsilk, Gusti Kanjeng Ratu Pembayun, menjelaskan bahwa perusahaan ini bergiat di usaha pengolahan kokon, pembuatan benang, serta pengerjaan aneka kerajinan. "Kepompong sutra liar itu jenis yang spesial," kata putri sulung Sri Sultan Hamengku Buwono X ini kepada Tempo di Yogyakarta, Rabu lalu.

Kepompong sutra liar yang dimaksud Pembayun adalah jenis Attacus dan Criculla. Berbeda dengan kepompong ulat sutra budidaya yang hidup di pohon murbei, ulat sutra liar hidup alami di pohon-pohon inangnya, seperti mahoni, jambu mete, sirsak, dan alpukat.

Keunggulan kepompong ulat sutra liar itu disebutkan pula dalam hasil penelitian guru besar Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, J. Situmorang, pada 1995. Ia menemukan warna sutra liar lebih natural dan tidak memerlukan pewarnaan lagi.
Warna asli Criculla adalah kuning emas, dan Attacus cokelat. Warna-warna ini bergantung pada masing-masing pohon inangnya. Keunggulan lainnya, jika dibuat pakaian, tidak menimbulkan gatal, tidak panas, mampu menyerap keringat, serta lebih lembut.

Temuan itulah yang memicu Pembayun merintis usaha lewat pendirian Yarsilk, yang berlokasi di Jalan Ahmad Dahlan, Yogyakarta, pada 1998 dengan modal awal Rp 500 juta.

Kegiatan produksi Yarsilk dimulai pada 1 Juni 1999 dengan membuat kebun percontohan hingga mempunyai lahan sendiri pada 2002 di Desa Karangtengah, Bantul. Letaknya di sisi selatan Yogyakarta seluas 55 hektare, yang diolah warga setempat bersama 100 keluarga transmigran.
Lahan tersebut dikelola Yayasan Royal Silk, yang berkolaborasi dengan Yarsilk. Di Yayasan Royal, Pembayun menjadi pembina, sedangkan ketuanya adalah Fitriana Kuroda, yang sekaligus menjadi Direktur Pemasaran Yarsilk.
Dalam sehari Yarsilk bisa membeli kepompong dari warga sebanyak 3 kilogram atau sekitar 7.500 buah kepompong. Satu kilogram benang Attacus dihargai Rp 1,5 juta. Adapun 1 kilogram benang Criculla dibanderol Rp 1,7 juta. "Tujuan kami adalah ekspor ke Jepang," tutur Pembayun.
Untuk mencapai tujuan itu, perajin Yarsilk dibimbing tim ahli dari Jepang mulai dari riset hingga pembuatan benang. "Kami menganggap, kalau sudah bisa diterima di Jepang, di negara lain pasti lebih mudah," ucapnya. Kini Yarsilk telah mempunyai ruang pamer di Tokyo, Jepang.
Dalam sebulan, sekitar 20-23 kilogram benang sutra liar telah dikirim ke Jepang. Sampai di sana, barulah benang tersebut diolah menjadi kain untuk dibuat kimono. "Menurut orang Jepang, kualitas kimono yang baik adalah yang keawetannya bisa sampai 50 tahun," ucapnya.

Kain yang ditenun dari benang sutra liar bisa berwujud kain dengan motif batik yang langsung dari alatnya. Itu berkat keunggulan kepompong sutra liar yang selain menghasilkan warna kemilau, mempunyai gradasi garis yang unik.

Dia pun mantap menjadikan Jepang sebagai pangsa pasar utamanya. Alasannya, baru negara itu yang bisa mengapresiasi produk-produk mereka. "Tidak cuma untuk dikenakan, orang Jepang juga mengapresiasi produknya dari sisi seni," tutur Pembayun.

Konsumen di Yogyakarta maupun Indonesia belum banyak. Meski demikian, Yarsilk tetap menjual benang yang dibutuhkan konsumen dalam negeri untuk membuat stola dan aneka kerajinan dari benang sutra liar.

Perusahaan Pembayun mampu membuat benang sebanyak 25 kilogram dalam sebulan. Satu kilogram kokon bisa menghasilkan benang sekitar 10 meter. Sisa benang ekspor digunakannya membuat produk yang dipasarkan sendiri di Indonesia, seperti stola, kain, dan aneka kerajinan tangan.

Pembayun menjelaskan, ada dua alasan yang menggerakkan Yarsilk memilih usaha pemintalan sutra liar. Pertama, mereka ingin memanfaatkan barang berharga yang selama ini terabaikan, sekaligus membuka peluang bagi petani untuk mendapatkan penghasilan tambahan.
Kedua, produknya ramah lingkungan. Artinya, tidak satu pun hewan serangga yang dikorbankan. Seluruh proses berlangsung secara alamiah. Yakni, setelah kepompong itu menjadi kupu-kupu, maka pelindungnya (sutranya) akan jatuh.

Produk-produk yang dihasilkan dari bahan baku kepompong ulat sutra pun cukup banyak, sebagaimana yang dipajang di ruang pamer Ahmad Dahlan. Di dalam bangunan kuno yang dulu dipakai penjajah Belanda sebagai balai kota itu terdapat aneka kerajinan tangan dengan bermacam bentuk.

Misalnya tas, buku, sampul payung, penyekat ruangan, kain, kimono, obi atau pengikat pinggang pada kimono, dan baju. Harga kerajinan tangan berkisar Rp 15 ribu sampai Rp 300 ribu. Aneka tas Rp 60-380 ribu. Sedangkan kain bisa mencapai Rp 500 ribu per meter.

Pembuatan produk Yarsilk saat ini masih bersifat non-mass production, sehingga kapasitas produknya pun terbatas. "Karena kami ingin kualitas yang baik, bukan pada banyaknya produk," kata Pembayun.

Kendala yang dihadapi Yarsilk adalah mahalnya harga jual produk karena proses produksinya yang sangat panjang dan rumit. Ihwal itu pula yang membuat minimnya minat konsumen Indonesia.

Tantangan lain, kedua jenis ulat sutra itu hanya menghasilkan kokon selama musim penghujan. Akibatnya, Yarsilk selalu harus menimbun berton-ton bahan baku pada musim penghujan untuk mencukupi kebutuhan produksi selama sembilan bulan. "Jangan khawatir, benang sutra bisa tahan hingga puluhan tahun," ujarnya.

"Lihat, kokon ulat sutra ini berwarna keemasan. Kami menanam pohon tidak hanya agar ulat hidup, tetapi juga agar hidup kami membaik," tutur Sabar. Siang itu, warga Karang Tengah, Imogiri, Kabupaten Bantul, ini memandu orang-orang dari Keraton Yogya, pemda, dan penumpang Garuda Indonesia rute Jepang menyusuri hutan desanya.
Hutan Desa Karang Tengah berjarak 15 kilometer arah tenggara Kota Yogyakarta, atau 2 km dari pemakaman raja-raja Jawa Imogiri, yang dibangun Sultan Agung Hanyokrokusumo pada 1645. Topografinya berbukit-bukit dan bukit Imogiri menjadi pusatnya.
Sabar mengajak tamunya berkeliling, memamerkan reboisasi di hutan itu yang akan mengubah lahan kritis menjadi hutan budidaya ulat sutra. Sesekali, ia memperlihatkan ulat-ulat sutra yang hidup di pohon jambu mete, alpukat, sirsak, mahoni, dadap, dan keben.
Sabar, yang berpakaian hitam-hitam lengkap dengan sepatu laras, selalu mengawali jawaban dengan kata ”siap!” bila mendapat pertanyaan. Sikapnya lebih mirip anggota paramiliter daripada abdi dalem keraton. Lahan yang dipijaknya saat itu merupakan Sultan Ground, atau lahan milik Keraton Yogyakarta Hadiningrat.

Kehidupan Sabar, seperti umumnya warga Desa Karang Tengah, jauh dari sejahtera. Tinggal di kawasan berbukit-bukit membuat warga mustahil menanam padi, apalagi air sulit didapat. Di sana juga terdapat transmigran lokal, di antaranya pedagang dari Parangtritis, korban gempa bumi Yogya. "Kami dapat banyak tawaran lokasi, di antaranya Kaliurang. Namun, lebih baik di Karang Tengah sekaligus memberdayakan masyarakat kurang beruntung," kata Direktur PT Yarsilk Gora Mahottama Fitriani Kuroda.
Fitriani adalah eksportir benang sutra ke Jepang. Ia kerap bekerja sama dengan Gusti Pembayun, putri sulung Sultan Hamengkubuwono X, untuk mengembangkan ulat sutra. Gusti Pembayun-lah yang memperkenankan Sultan Ground Karang Tengah untuk disulap menjadi koloni ulat sutra.
Cerita ulat sutra di Sultan Ground itu bermula dari Profesor Hiromu Akai, Ketua Perkumpulan Sutra Liar Dunia, yang ”mencekoki” pikiran kerabat Keraton Yogyakarta, termasuk Fitriani, bahwa ulat sutra Indonesia sangat bernilai. Ulat sutra itu bukan yang dibudidayakan, tetapi ulat sutra yang liar.
Sebelumnya, warga Karang Tengah menganggap ulat sutra adalah hama yang menyebabkan daun-daun tanaman mereka gundul sehingga tidak jarang mereka membasminya, menggoreng, lalu memakan hama itu.
Sebagai mitra Universitas Gadjah Mada yang kerap menyusuri pedesaan di Yogyakarta, Prof Hiromu melihat hal itu. Dia terkejut setelah mengidentifikasi ulat sutra yang dibunuh penduduk itu adalah jenis Cricula triphenestrata. Spesies ini adalah satu-satunya spesies di dunia yang memproduksi benang sutra berwarna emas.
Hiromu pernah mencoba membudidayakan Cricula di Jepang, tetapi gagal. Tampaknya spesies ini hanya hidup di habitat dan iklim tertentu, seperti di Pulau Jawa. Cricula merupakan spesies unggul ulat sutra di Pulau Jawa, selain spesies lain seperti Attacus atlas dan Antheraea. "Karena ulat sutra liar Cricula hanya hidup di Indonesia, seharusnya kainnya menjadi produk eksklusif Indonesia. Boleh jadi dapat sejajar dengan produk internasional seperti Armani dan Gucci," kata Fitriani.
Satu kilogram benang dari ulat murbei yang dikolonikan di ruangan harganya Rp 60.000-Rp 120.000. Sedangkan, 1 kg benang dari ulat sutra liar berwarna coklat harganya Rp 1,5 juta dan berwarna emas Rp 2 juta per kg.
Sumber Berita : : ayi_d9@yahoo.com

0 komentar:

Posting Komentar