Minggu, 05 Juni 2011

Ketika Rakyat Sangat Terlupakan

SALING sandera antara kekuatan politik yang ada kini tengah mewarnai dinamika politik kita. Hal ini berdampak pada kasus-kasus hukum yang beraroma politik yang makin tidak jelas penyelesaiannya. Bila kita telisik, saling sandera antar kekuatan politik justru marak setelah periode kedua Presiden SBY.

Sepanjang 2010 ini saling sandera mewarnai dinamika politik Indonesia. Ini menunjukkan masih ada masalah di ranah politik kita. Dalam arti tidak ada kekuatan yang benar-benar single majority, yang mampu menekan secara efektif, tanpa harus balik ditekan. Ungkapan ‘’saling sandera’’ menunjukkan tidak ada yang terkuat yang bisa mendiktekan kemauan.

Saling sandera juga menunjukkan hampir semua pihak tidak bersih. Ada celah untuk menjerat mereka, akibat praktik kotor yang mereka lakukan dalam berpolitik. Inilah yang menyebabkan belum tuntas proses konsolidasi sistem politik dan ketatanegaraan di Indonesia. Padahal di sisi lain usia reformasi sudah berjalan 13 tahun.

Dengan adanya kondisi saling sandera ini, maka DPR pun tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya, karena tersandera kepentingan parpol di belakang mereka yang saling sandera. Semua institusi negara ini pun juga terjebak dalam permainan saling sandera ini. Maka saat isu reshuffle kabinet berembus, banyak pihak yang memprediksi sebagai upaya Presiden untuk menciptakan dominasi baru dalam ranah politik kita, yang saat ini mengalami kebuntuan.

Presiden ingin ganti menyandera, serta juga ingin menegaskan bahwa sistem presidensial yang dianut dapat berjalan efektif dari rongrongan dan sandera multipartai. Sayang reshuffle yang ditunggu-tunggu ternyata tidak juga jelas kelanjutannya.

Sebenarnya posisi presiden dengan leadership yang diperkuat akan sangat strategis untuk memecah kebuntuan. Dengan leadership yang andal, serta tidak tersangkut kasus tertentu, maka presiden akan mampu menjadi panglima penegakan hukum yang tidak akan mampu disandera atau diintervensi kekuatan politik yang ada.
Semua kasus yang memiliki aroma politik sangat kuat dibuka dan diselesaikan setuntas-tuntasnya, agar tidak lagi dijadikan alat untuk menyandera lawan-lawan politik. Bila Presiden dan orang-orang dibelakangnya juga bermasalah, maka upaya untuk mendobrak kebuntuan karena saling sandera, hanya tinggal kata-kata tanpa makna.

Penyebab Utama

Mengutip pendapat pengamat politik Yudi Latif, problem utama dunia politik kita adalah begitu kuat faktor uang sebagai penentu. Faktor ini sengaja dibuat oleh para elite untuk memperkaya diri dan merekayasa kehendak politik rakyat.

Akibatnya dunia politik kita didominasi hal-hal yang bersifat transaksional belaka. Kering dari norma dan etika. Kalaupun ada pemegang norma dan etika itu, akhirnya menjadi kelompok minoritas yang akhirnya terkunci dalam sistem.
Para elite yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang bersifat transaksional, membiarkan para pesaing untuk melakukan hal yang sama, dan akhirnya terjadilah hubungan yang saling menyandera. Parpol akhirnya dijadikan perisai untuk bisa melakukan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) secara aman.

Akhirnya bagi parpol yang relatif tidak kuat, praktik KKN yang dilakukannya dibongkar oleh lawan yang lebih kuat atau yang sedang memegang tampuk kekuasaan. Yang kuat melakukan kriminalisasi terhadap yang lemah. Hari-hari kita pun diisi oleh berita-berita orang-orang parpol yang terjerat kasus korupsi.

Bahkan ada satu parpol yang anggotanya berendengan tersangkut satu kasus korupsi. Makin banyak mereka yang tersangkut kasus korupsi, semakin menunjukkan praktik demokrasi kita masih bermasalah. Fakta ini perlu kita kritik lagi apakah keterlibatan mereka karena keserakahan yang bersifat personal, atau mereka memang ditugaskan partai untuk mengincar proyek miliaran rupiah, akibat dari partai-partai tengah berlomba untuk mencari pendanaan untuk dapat berkiprah prima pada Pemilu 2014?

Sumber dana partai yang sementara ini diketahui diperoleh dengan cara memotong gaji kader yang duduk di parlemen dan pemerintahan, dirasa kurang, sehingga mulailah melirik cara-cara yang melanggar aturan. Keadaan ini makin kompleks saja saat mereka yang melakukan pelanggaran itu seakan tidak tersentuh hukum, lantaran dilindungi perisai parpol yang tengah berkuasa.

Ternyata perisai parpol juga bukan jaminan bahwa sang pelaku akan aman selamanya. Saat parpol melihat opini publik yang terbentuk menuntut harus mengorbankan kadernya, maka parpol akan mudah mengorbankan kader yang bermasalah. Penegakan hukum pun berjalan, walau tetap saja hukum hanya bisa menyentuh yang lemah, bukan aktor intelektualnya.

Parpol sadar bahwa citra buruk parpol akibat melindungi kader yang bermasalah dapat menganggu perolehan suara pada pemilu. Selama posisi masih bisa saling sandera, maka upaya melindungi orang bermasalah masih bisa dilakukan. Lalu yang terjadi adalah mereka tetap sibuk, tetap berusaha mengumpulkan uang dengan berbagai cara, sambil terus saling menyandera.

Terjadi kebuntutan politik akibat saling sandera ini. Rakyat pun terlupakan, dan hanya dibutuhkan suaranya pada saat pemilu. Penegakan hukum pun tidak memuaskan rakyat, karena ada kasus-kasus yang penyelesaiannya melalui janji-janji antarparpol. Perbaikan ekonomi rakyat pun seakan dibarengkan dengan paket untuk menyenangkan rakyat menjelang pemilu. Akhirnya kita hanya bisa berharap agar rakyat masih tetap senang, tetap percaya dengan demokrasi. Walaupun kebuntuan terjadi di mana-mana akibat saling sandera. (Hartono Harimurti-35)
Sumber Berita : Suara Merdeka CyberNews, 6 Juni 2011

0 komentar:

Posting Komentar