Selasa, 07 Juni 2011

Tak Ingin Tragedi Sinila Terulang

Tim relawan selalu berada di garda terdepan setiap kali terjadi bencana. Demikian pula saat Kawah Timbang di Dataran Tinggi Dieng mengeluarkan gas beracun, lebih dari sepekan terakhir ini. Demi sesama, mereka rela mengesampingkan materi dan meninggalkan keluarga.


SELASA Legi, 19 Februari 1979, merupakan hari paling memilukan bagi bagi Sutikno (50). Kala itu, ia yang menjabat kepala Desa Kepucukan, Kecamatan Batur, Banjarnegara, kehilangan 149 warganya yang tewas akibat menghirup gas beracun dari Kawah Sinila.

Akibat kejadian itu, sekitar 1.600 warga yang selamat ditransmigrasikan ke Kabupaten Baturaja, Provinsi Sumatera Selatan, termasuk dirinya. Desa Kepucukan pun dihapus. Pengalaman pahit itu masih membekas dalam ingatan Sutikno. Dari kejadian tragis itu, banyak hikmah yang bisa dipetik.

Saat itu warga menganggap sepele bahaya gas mematikan tersebut, sehingga tidak mau mengungsi. Tak lama setelah kejadian itu, Sutikno memutuskan untuk bergabung menjadi relawan bersama tim SAR Jawa Tengah. Keputusan itu awalnya ditentang oleh keluarganya. Namun setelah dijelaskan, akhirnya keluarganya menerima.

”Saya anggap Kawah Timbang sebagai rumah sendiri, sehingga ketika ada peningkatan aktivitas vulkanik seperti saat ini, saya ikut turun. Jangan sampai kejadian memilukan itu terulang. Mengungsi tidak perlu dipaksa, namun harus dari kesadaran diri sendiri,” kata dia.

Hal itulah yang menjadi alasan kuat sehingga Sutikno bergabung menjadi tim relawan bersama ribuan orang lainnya yang siap terjun di lokasi bencana untuk membantu sesama. Selama dua minggu berada di Batur, dia aktif membujuk warga, terutama di Dusun Simbar dan Serang, Desa Sumberejo, untuk mengungsi.

Dicibir

Hal yang sama dikatakan Joni (35), relawan dari Tagana Provinsi Jawa Tengah. Sudah sekitar 10 dia berada di Dieng. Demi kemanusiaan, dia rela meninggalkan istri dan tiga anaknya yang tinggal di Kabupaten Magelang.
Beruntung, istrinya bisa memberikan pemahaman kepada anak-anaknya tentang kepergian sang ayah. Menjadi relawan adalah pilihan hidupnya, meskipun sebagian masyarakat menganggap itu bukanlah pekerjaan yang layak. Ia mengaku, awalnya mendapat banyak cibiran dari keluarga terdekat. Menjadi relawan dianggap tidak bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. ”Saya ikhlas menjadi relawan demi kemanusiaan. Rezeki sudah ada yang mengatur. Puji Tuhan, selalu ada rezeki untuk keluarga kami,” kata dia.

Berminggu-minggu di lokasi bencana kerap dijalaninya. Terakhir, ia menjadi relawan bencana Merapi, sebelum dikirim ke Banjarnegara. Suka duka dinikmatinya. Duka mendalam yang masih membekas yakni saat mengevakuasi korban erupsi Merapi. Saat itu ada warga yang enggan mengungsi dan akhirnya menjadi korban keganasan Merapi. Sukanya, Joni bisa mendapat banyak teman baru dan jaringan dengan relawan lainnya yang sama-sama terjun ke daerah bencana.

”Jaringan dan pertemanan ini yang tidak bisa dibeli dengan materi,” ujarnya.
Untuk mengurangi rasa rindu pada keluarga, tiap hari ia menyempatkan menelepon istri dan ketiga anaknya.
Sumber Berita : Suara Merdeka CyberNews 7 Juni 2011

0 komentar:

Posting Komentar