Minggu, 05 Juni 2011

Hik, Usaha Turun Temurun Bayat

ASYIKNYA duduk bercengkerama di warung angkringan di malam hari. Di bawah lampu remang-remang nikmat menyeruput minuman jahe panas, kopi kental atau teh nasgithel. 

Ditemani gorengan atau nasi kucing dengan harga terjangkau, sehingga warung hik akrab dengan kalangan berkantong ciut.Warung yang menyajikan menu utama nasi kucing, kopi, dan jahe panas itu banyak dijumpai di sudut-sudut kota besar masuk sampai ke kampung-kampung, bahkan ke pelosok desa. Di Solo, ada warung hik, di Yogyakarta, di Semarang dan semua kota di Jateng juga ada.

Menu sego kucing dengan sedikit nasi dan lauk seadanya, secuil bandeng dengan sambal, sambel goreng tempe, bakmi atau secuil telur dadar. Semua makanan dijual dengan harga sangat terjangkau, tak heran kalau anak kos dengan uang saku cepak pun menjadi langganannya.

Coba bila mampir minum di angkringan pedagangnya ditanya, sebagian besar pasti mengaku dari Klaten, terutama Kecamatan Bayat, yang kedua dari Cawas. Daerah Bayat masuk katagori miskin untuk wilayah Klaten.

Kondisi alam turut memengaruhinya. Daerah Bayat dan Cawas dikenal kering. Sebagian warga bertani di sawah tadah hujan karena minimnya air. Namun, bagian wilayah Cawas sering juga kebanjiran akibat meluapnya Sungai Dengkeng.

‘’Daerah Bayat sulit air sehingga tak cocok untuk bertani, sebagian besar warga memilih boro atau mencari uang dengan berdagang di luar daerah bahkan luar Jawa. Dari jumlah penduduk usia produktif sebanyak 39.338, ada 10.000 lebih warga yang boro, mulai dari jual hik sampai tukang becak, dawet, es dan bakso,’’ kata Camat Bayat Agus Sukoco SH MM.

Angkringan merupakan pekerjaan turun-temurun dari nenek moyang. Banyak yang tak tahu siapa yang pertama. Yang terbanyak berasal dari Desa Ngerangan, Bayat. Dari total penduduk 7.145 orang, sebanyak 1.550 orang di antaranya menjadi penjual hik.

Bila melintas di Jalan Bayat-Cawas, hampir setiap 50 meter dijumpai penjual hik. Saat ini, tak hanya berjualan di malam hari, tapi banyak pula yang berjualan siang hari. Saking banyaknya penjual angkringan, sampai-sampai Kecamatan punya data khusus penjual hik, baik yang berjualan di wilayah Klaten maupun di berbagai kota.

Di Cawas

Selain Bayat, banyak pula penjual hik yang sukses di kota-kota besar berasal dari Cawas. Penjual hik terbanyak di Cawas dari Desa Karangasem, juga Burikan. Khusus Karangasem, jumlah penjual hik mencapai 500 KK dari 1.000-an KK yang ada.

Salah satu yang sukses adalah Bujo Sutar (65) warga Dukuh Gandingan, Karangasem. Dia berjualan di Jalan Diponegoro, Yogyakarta. Yang masyhur dengan kopi josnya adalah Sisgiman alias Pak Man, warga Desa Tugu yang berjualan di Jalan Sosrowijayan, Yogyakarta.

Kondisi di Cawas nyaris sama dengan di Bayat, banyak dijumpai penjual angkringan di sepanjang jalan. Namun, omzet mereka tak terlalu besar, cukup untuk menghidupi rumah tangga dan menyekolahkan anaknya.

‘’Penjual hik itu perlu mendapat perhatian untuk kelangsungannya karena dapat meningkatkan penghasilan, sekaligus sebagai alternatif untuk menciptakan lapangan kerja. Apalagi, di daerah asal mereka peluang kerja terbatas,’’ kata Camat Cawas Ir Pri Harsanto MSi.

Usaha hik mudah dan tak perlu modal besar, Rp 1 juta sudah cukup. Hanya perlu gerobak, terpal peneduh, bangku dan cerek. Adapun dagangan hanya air dan gula. Selebihnya aneka gorengan dan nasi yang dijual sudah ada yang nyetori. Keuntungannya cukup menjanjikan. Dalam semalam, minimal Rp 100.000 bisa dikantongi. Tak heran kalau banyak orang tertarik di bisnis ini.

Hik menjadi lapangan kerja bagi warga terutama yang hanya lulusan SMP atau SMA, namun ada pula sarjana berjualan hik sambil menunggu pekerjaan tetap. Biasanya mereka berkelompok, satu juragan yang menyetor aneka makanan pada beberapa pedagang sekaligus.

Penjual hik dari Cawas dan Bayat menyebar sampai ke luar Jawa. Namun, dari kecamatan lain seperti Trucuk juga banyak. Untuk penjual hik di kawasan Klaten justru banyak yang datang dari Gunung Kidul dan Wonogiri.

0 komentar:

Posting Komentar