Senin, 04 Juli 2011

Penyelamatan Kota Lama Tak Jelas

SEMARANG - Penyelamatan Kota Lama yang dilakukan Pemkot dinilai tidak jelas oleh kalangan pemerhati. Berbagai masalah, mulai dari pelapukan dan kerusakan bangunan hingga rendahnya kepedulian terhadap nilai dan manfaat bangunan kuno terus berlangsung, tanpa ada reaksi.

Ir Kriswandhono, anggota Badan Pengelola Kawasan Kota Lama (BPK2L) mengatakan, keterpurukan kawasan ini merupakan akumulasi ketidakpedulian Pemkot. Padahal ini merupakan aset sejarah dan budaya sebuah Kota Semarang.

”Kota Lama masih jadi pekerjaan rumah yang harus ditangani dan memerlukan komitmen tinggi dari semua pemangku kepentingan, termasuk masyarakat,” katanya, kemarin.

Selama ini masalah sosial, kepemilikan bangunan, hingga masalah teknis lingkungan mikro dan makro bersama-sama menghadang kawasan tersebut.

Dari sisi kepemilikan bangunan, saat ini Pemkot tidak memiliki satu bangunan di Kota Lama. Akibatnya ada  dugaan Pemkot hanya setengah-setengah memperhatikan Kota Lama. Meski pemerintah telah membentuk BPK2L yang bertanggung jawab atas bangunan dan situs cagar budaya di wilayah seluas lebih kurang empat puluh hektare tersebut, namun BPK2L juga tidak mampu menyelesaikan sendiri masalah.

”Kompleksnya masalah dan minimnya dana, membuat BPK2L tak bisa menyelesaikan masalah ini sendiri. Kami perlu sinergi dengan pemerintah kota, provinsi dan pusat. Masyarakat juga harus diberikan informasi dan pemahaman yang jelas akan manfaat dan arah perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan Kota Lama sehingga juga dapat ikut berperan,” tuturnya.

Pelapukan

Anggota RMIT (Restorasi, Modifikasi, Intervensi, Transformasi) Conservation Institute Semarang ini memaparkan, hampir semua bangunan di Kota Lama sudah mengalami pelapukan tingkat tinggi, karena degradasi bahan penyusun.

Mineral pada bahan organik maupun anorganik terurai karena faktor air dan intensitas cahaya matahari. Ditambah faktor udara yang juga mengandung garam.

Ir Nelwan, ahli hidrologi dari Undip menambahkan, saat ini hampir semua bangunan tua di sana mengalami gejala runtuh. Bangunan yang rata-rata dibangun pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 sebagian besar berbahan nonsemen. Dengan demikian proses terurainya bahan penyusun yang disebabkan oleh faktor temperatur (fluktuasi suhu), curah hujan, intensitas sinar matahari, kelembapan dan angin,  jauh lebih cepat terjadi. ”Tak heran jika pada awal abad ke-21 bangunan-bangunan tersebut mulai lapuk dan rusak bahkan runtuh. Apalagi perubahan iklim ekstrem yang terjadi memperparah dan mempercepat terjadinya kerusakan, kehancuran bahkan kemusnahan bangunan dan kawasan,” ujarnya.(J8-16)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/5 Juni

0 komentar:

Posting Komentar