Senin, 04 Juli 2011

Menyoal Pembiayaan Infrastruktur Daerah

INFRASTRUKTUR tidak hanya penting bagi pembangunan ekonomi nasional, tetapi merupakan instrumen utama pembangunan daerah. Dengan pembiayaan pembangunan yang meningkat cukup signifikan pada alokasi belanja publik di sektor tersebut, salah satu tantangan bagi pemerintah adalah mendorong pemerintah daerah juga meningkatkan kualitas aset pekerjaan umum yang dikelola kabupaten/kota dan provinsi.
Laporan ESCAP tahun 2009 dan diskusi dalam ADB Annual Meeting dua tahun lalu juga menunjukkan, ada berbagai tantangan pembangunan, seperti kelangkaan energi dan pangan, perubahan iklim, dan perubahan tatanan finansial global yang perlu direspons dengan menumbuhkan ekonomi daerah yang tangguh.
Jelaslah, perekonomian daerah harus dibangun atas infrastruktur yang kuat. Itu tidak hanya sebagai foundation for growth, tetapi juga karena telah dapat diperlihatkan bahwa belanja sektor publik, khususnya infrastruktur, masih menjadi pendorong konsumsi yang akhirnya akan menggerakkan pertumbuhan ekonomi daerah.
Perlu Dicermati
Dalam konsep pembangunan modern, pemerintah menjalankan fungsi untuk memfasilitasi proses pembangunan, baik pembangunan sosial maupun pembangunan ekonomi. Pemerintah daerah dituntut membelanjakan anggaran bagi pelayanan publik dan bagi belanja modal, khususnya di sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Berdasar kajian PES/Bank Dunia tahun 2007, total belanja pemerintah kabupaten/kota tahun 2004 adalah 64,72 persen dari belanja total atau 3,67 kali belanja pemerintah pusat. Karena itu, belanja pemerintah daerah perlu dicermati untuk memastikan dampaknya bisa menggerakkan pembangunan. Namun kenyataan berkata lain.
Pertama, total belanja infrastruktur ditentukan oleh belanja pemerintah daerah, bukan oleh belanja pemerintah pusat. Belanja pemerintah pusat untuk infrastruktur sebesar 43 persen tidak mampu mengangkat belanja total nasional sebesar 22 persen. Jadi, peningkatan anggaran pemerintah yang signifikan pun, apabila tidak disertai semangat yang sama di tingkat daerah, tidak akan mampu mendorong peningkatan mutu infrastruktur nasional secara signifikan. Padahal, efisiensi sistem ekonomi nasional akan ditentukan oleh infrastruktur yang paling buruk, bukan back-bone nasionalnya. Karena itu, kesuksesan program infrastruktur secara nasional akan ditentukan oleh bagaimana daerah membelanjakan dana untuk infrastruktur tersebut.
Kedua, pemerintah daerah membelanjakan terlalu banyak dana untuk administrasi pemerintahan. Dalam konteks ini, dapat dikatakan pemerintah pusat telah memiliki efisiensi yang sangat baik bagi belanja aparatur dan sebagian besar dana telah dialokasikan untuk pembiayaan program. Belanja aparatur pemerintah daerah yang tidak efisien membuat kita memiliki kesempatan belanja modal yang terbatas (lost opportunities). Simulasi peningkatan efisiensi belanja aparatur antara 10 persen dan 15 persen akan memungkinkan pemerintah daerah mengalokasikan dana antara Rp 5 triliun dan Rp 8 triliun yang bisa menyelesaikan sebagian besar jaringan jalan kabupaten atau penyediaan air bersih dan sanitasi di ibu kota kabupaten. Angka itu setara dengan alokasi dana alokasi khusus (DAK) infrastruktur yang dibelanjakan pemerintah pusat.
Hasil studi SMERU tahun 2008 menyebutkan, meskipun jumlahnya meningkat, keberadaan DAK yang bersifat alokasi belum mampu mendorong pertumbuhan inovasi program pemerintah daerah. Bahkan studi tersebut memberikan abstraksi bahwa DAK menyebabkan pemerintah daerah menjadi pasif dalam menyusun program. Berkurangnya keterlibatan kementerian teknis dalam pemantauan teknis kesisteman, misalnya dalam sistem infrastruktur, menjadikan DAK sebagai instrumen pembangunan nasional menjadi tidak efektif. Kemunculan skema DAK baru yang sangat spesifik dalam tiga tahun terakhir juga menyebabkan alokasi pembiayaan pembangunan daerah dan besarnya kebutuhan manajemen pengelolaan DAK terkotak.
Ketiga, pembiayaan pembangunan saat ini belum mampu mengaitkan berbagai pembiayaan (pusat, provinsi, kabupaten/kota) secara tersistem, baik secara vertikal maupun diagonal, dengan berbagai aktor pembiayaan lain seperti swasta dan masyarakat.
Paradoks lain dari pembangunan daerah yang dialami Indonesia pascadesentralisasi tahun 1997 adalah kecenderungan pemerintah daerah mendudukkan diri terlalu jauh sebagai korporasi. Pendapatan daerah yang ditempatkan di sektor perbankan makin menunjukkan gejala mengkhawatirkan karena tidak dibelanjakan untuk sebesar-besar kemanfaatan rakyat. Data Bank Indonesia yang dianalisis Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menunjukkan, pemerintah daerah menempatkan dana yang sangat besar dalam bentuk berbagai instrumen surat berharga dan deposito di lembaga keuangan.(51)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/4 Juli 2011

0 komentar:

Posting Komentar