Minggu, 03 Juli 2011

Relakah Negeri Ini Dikuasai Mafia

Dari satu mafia ke mafia berikutnya. Negeri ini seperti tak pernah sepi dari kehirukpikukan persoalan hukum dengan akar yang membelit bak gurita. Kini yang terbaru adalah skandal pemalsuan surat keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga ada anggota DPR yang sebenarnya tidak berhak bisa meraih kursi parlemen. Ditengarai, masalah yang kini sedang ditelaah melalui Panitia Kerja Mafia Pemilu DPR itu melibatkan persekongkolan orang-orang yang berkepentingan dengan jaringan tertentu di internal mahkamah.

Kita tunggu bagaimana skandal tersebut disikapi secara politik di parlemen dan ditelusur secara hukum oleh kepolisian. Yang memprihatinkan, barang tentu, mengapa begitu banyak persoalan yang dikendalikan oleh jejaring persekongkolan, sehingga kehidupan berpemerintahan dan bernegara seolah-olah dikendalikan oleh mafia? Mafia peradilan, kita tahu bukan isapan jempol ketika pada 2009 seorang jaksa tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang menerima sekardus uang suap.

Di lembaga pemasyarakatan, Artalyta Suryani menyulap selnya semewah kamar hotel. Gayus Tambunan bisa mengatur berapa setoran pajak perusahaan-perusahaan besar, juga mengatur aparat penegak hukum untuk menutup mafia pajaknya, diteruskan dengan kemampuan “mengelola” berbagai pihak sehingga bisa berjalan-jalan keluar negeri dalam statusnya sebagai tahanan. Di parlemen, kita juga sering mendengar istilah mafia anggaran, dan kini kerunyaman itu berlanjut dengan dugaan adanya jejaring mafia pemilu.

Relakah kita negeri ini dikuasai oleh para mafia? Pangkal persoalannya adalah ketika aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi pilar-pilar untuk memerangi malah berperan sebagai bagian dari sulur mafia. Padahal kunci melawan mafia adalah penegakan hukum yang konsisten. Di sinilah paradoks itu muncul. Mafia dalam berbagai bentuk itu lazimnya terkait dengan akses ke pusat-pusat kekuasaan. Independensi hukum pun terposisikan “kalah energi” manakala kekuatan-kekuatan politik aktif mengintervensi.

Kelumpuhan hukum terasa ketika terjadi kondisi saling sandera antarelite politik. Mafia-mafia di berbagai bidang tidak bisa terbersihkan hingga kerak persoalannya. Bahkan sengkarut tenaga kerja migran kita pun tak pernah bisa dikelola dengan regulasi perlindungan yang efektif, sebagian karena adanya faktor-faktor “permainan”. Pekerja migran masih menjadi objek karena memang ada kekuatan yang bermain dengan mengabaikan kualitas kesiapan, mata rantai pengawalan, dan perlindungannya.

Apakah Panja Mafia Pemilu DPR bisa menghasilkan sesuatu yang mencerahkan? Skeptisitas sudah membayangi, jangan-jangan kepentingan politik pula yang lebih dominan ketimbang niat luhur membangun kemaslahatan. Satu-satunya harapan adalah revitalisasi total mentalitas penegakan hukum kita sebagai sumber persoalan sekaligus sumber cita-cita keadilan. Di tengah kondisi seperti sekarang ini, tanpa keberanian pemimpin nasional untuk membuat terobosan, kita tak akan pernah bisa menemukan jawaban.
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/2 Juli 2011

0 komentar:

Posting Komentar