Senin, 17 Oktober 2011

Air Siraman dari Tujuh Sumber

YOGYAKARTA - Pasangan pengantin GKR Bendara dan KPH Yudanegara mengikuti prosesi siraman di Sekar Kedathon dan Bangsal Kasatriyan, Kompleks Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, kemarin.
Air yang digunakan untuk siraman itu diambilkan dari tujuh sumber mata air di kompleks Keraton. Ritual tersebut bermakna agar kedua pengantin bersih, baik lahir dan batin. Upacara ini dilakukan sehari sebelum akad nikah.
Tujuh sumber air menunjukkan tingkatan langit termasuk Keraton yang juga memiliki tujuh shaf. Selain air, juga diberikan bunga siraman, seperti mawar, melati, dan kenanga.
”Jadi semua itu ada maknanya,” kata KRT Yudha Hadiningrat, koordinator Penyelenggara Prosesi Pernikahan di Keraton Yogyakarta, Senin (17/10).
Sebelum siraman, GKR Pembayun, kakak GKR Bendara mengutus adiknya GKR Maduretna didampingi oleh abdi dalem Sipat Bupati dan abdi dalem Keparak mengambil air di tujuh sumber, yakni air di Dalem Bangsal Sekar Kedhaton, Dalem Regol Manikhantoyo, Dalem Bangsal Manis, Dalem Regol Gapura, Dalem Regol Kasatriyan, Dalem Kasatriyan Kilen dan terakhir di Gadri Kagungan Dalem Kasatriyan.
Siraman dilakukan lima orang, yakni GKR Hemas, Hj Nurbaiti Helmi (ibu pengantin pria), GBRAy Murdokusumo, BRA Puruboro dan Nyai Kangjeng Raden Penghulu Dipodiningrat.
Menurut GKR Pembayun, ada tiga tokoh yang akan melakukan siraman, yaitu GKR Hemas ibu pengantin putri,  Hj Nurbaeti Helmi atau ibu KPH Yudanegara dan Nyai Pengulu, sesepuh Keraton.
Figur orang yang melakukan siraman harus baik. Sebab, dia harus menjadi teladan dan doa yang baik pula bagi calon pengantin.
Prosesi ini,  kata istri KPH Wironegara itu, dianggap sakral. Sebab, ritual untuk membersihkan diri sebelum melakukan upacara adat lainnya.
”Yang boleh menyiram selain ibunya adalah orang yang memiliki figur yang baik. Misalnya, keluarga pengantin yang sudah menikah dan belum pernah bercerai,” katanya.
 GKR Pembayun mengatakan, prosesi pernikahan adiknya ini digelar sama meriahnya dengan pernikahan putri Sultan sebelumnya.
Bedanya, kirab dilakukan di Kepatihan, sedangkan sebelumnya mubeng beteng. ”Sama meriahnya. Bedanya dulu tidak digelar di Kepatihan,” katanya.  (sgt-71)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/10/18/163149/

0 komentar:

Posting Komentar