Selasa, 18 Oktober 2011

Pemerintah Lembek Tiap Hari Empat Ton Ikan Lenyap

Eksistensi Rawapening di Kabupaten Semarang semakin terancam. Kondisinya kritis, bahkandiramalkan 10 tahun ke depan berubah menjadi daratan. Pemerintah memprioritaskan penyelamatan danau alam itu dari total 15 danau kritis di Indonesia. Seberapa efektifkah langkah yang dilakukan?

SELAIN pertumbuhan eceng gondok dan tingkat sedimentasi yang tinggi, masih banyak permasalahan lain yang membelit Rawapening. Butuh solusi efektif agar danau tersebut—seperti kata Gubernur Bibit Waluyo—tidak membuat pemerintahan setempat menjadi semakin pening memikirkan nasib danau seluas lebih kurang 2.670 hektare tersebut.

Komandan Satgas Pengawasan Rawapening, Kasiyan, ketika ditemui di rumahnya di Tuntang belum lama ini mengidentifikasi tak hanya eceng gondok dan ketebalan sedimentasi yang menjadi sumber permasalahan. Dua hal tersebut, dilihat dari latar belakang ataupun dampaknya kemudian, menimbulkan masalah lain.
“Secara kasat mata, kondisi air sekarang keruh. Itu jelas menunjukkan tingginya volume sampah yang masuk ke danau,” ungkapnya.

Air yang keruh itu, menurutnya, menimbulkan bau anyir yang menyebabkan ekosistem air, terutama ikan, mati. Air tak laik lagi dimanfaatkan warga, bahkan membahayakan. Kekumuhan rawa tersebut memberi ruang bagi tikus sawah untuk berkembang biak. Pada gilirannya, serangan tikus pada tanaman padi menggila. Petani pun berteriak.
Kasiyan juga prihatin dengan perilaku nelayan. Pasalnya, di sekitar rawa tersebut disinyalir masih banyak penangkap ikan menggunakan alat yang dilarang. Jenis alat tangkap semisal setrum, branjang kelambu, serta racun, masih sering ditemui.

Padahal, berdasarkan Perda No 5 Tahun 2001, alat-alat itu dilarang pemerintah. Dia menyinyalir, selama ini tetap terjadi pelanggaran karena pemerintah lembek dalam menegakkan aturan itu. Praktis, pihaknya yang secara langsung berada di lingkungan sekitar rawa tersebut tidak dapat berbuat banyak.
“Pernah dilakukan razia alat terlarang itu di sekitar rawa. Namun ketika Satpol PP datang, pemiliknya menghindar dan tidak ditangkap,” katanya.

Tidak Diproses

Petugas yang merazia tersebut, menurutnya, hanya mengambil alat yang dilarang itu, tapi tidak memberi sanksi kepada pemiliknya. Jangankan memberi sanksi, siapa pemiliknya saja menurutnya tidak diproses oleh petugas. Penegakan perda yang dinilainya lembek itu dipastikan tidak membuat jera para nelayan nakal.
“Mereka pasti kembali kemudian hari dengan alat serupa yang baru,” ujarnya.

Ketidaktegasan pemerintah, lanjut Kasiyan, menunjukkan bahwa aturan tersebut sia-sia belaka. Pasalnya, kondisi saat ini ibarat berbanding terbalik dengan ketertiban yang terjadi sebelum perda itu muncul. Sekitar tahun 1999, Rawapening dari segi manapun justru lebih teroganisasi. Keberadaannya benar-benar menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat sekitar.

Kini, dengan maraknya pelanggaran penggunaan alat tangkap, Kasiyan memperkirakan sekitar dua kilogram ikan hilang per hari tanpa terganti. Padahal, di sekitar rawa diperkirakan terdapat 2.000 nelayan aktif. Jika semua dibiarkan menggunakan alat tersebut, setidaknya empat ton ikan lenyap setiap hari.
“Tanda-tanda dampak negatif itu sudah mulai tampak. Saya pastikan beberapa tahun ke depan masyarakat kehilangan mata pencaharian,” katanya.

Karena itu, pemerintah harus tegas. Tidak sekadar melakukan revitalisasi secara fisik, namun juga menegakkan perda. Mungkin aturan itu harus direvisi karena dampaknya sangat luas dan mencakup empat kecamatan, yaitu Banyubiru, Ambarawa, Tuntang, dan Bawen.

Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Semarang Ghofar Ismail mengakui, pemerintah melaksanakan perda dengan cara mengambil alat milik nelayan yang melanggar. Selama ini pemerintah lebih memilih tindakan preventif agar tidak terjadi pelanggaran.
“Kalau perlu pemiliknya kami bina. Tapi selebihnya penegakan itu dilakukan Satpol PP,” katanya. (Modesta Fiska, Yoseph Hary W, Royce Wijaya-59)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/10/19/163266/

0 komentar:

Posting Komentar