Jumat, 21 Oktober 2011

Cinta Sejati Inggit Soekarno

Inggit tidak mengeluh. Tidak menangis. Demikianlah cinta Inggit pada Soekarno. Cinta semata-mata karena cinta. Tidak luka ketika dilukai dan tidak sakit ketika disakiti. Tanpa pamrih tanpa motivasi.

Orang yang mengerti dan setuju poligami tidak berpoligami. Orang yang tidak mengerti dan tidak setuju poligami justru berpoligami. Contohnya Soekarno dan Agus Salim. Mereka berpolemik panjang lebar soal poligami. Soekarno tidak setuju karena dianggapnya poligami adalah perendahan harkat dan martabat kaum perempuan. Sebaliknya Agus Salim setuju karena pengertian beliau yang mendalam tentang agama.

Beberapa tahun kemudian mereka bertemu. Soekarno istrinya banyak, sementara Agus Salim tetap beristri satu. Akhirnya segala sesuatu dikembalikan kepada niatnya.

Kata Huttaqi, yang luar biasa adalah istri pertama Soekarno, bu Inggit. Apabila Soekarno diibaratkan api, maka bu Inggit adalah kayu bakarnya. Inggit menghapus keringat ketika Soekarno kelelahan. Inggit menghibur ketika Soekarno kesepian. Inggit menjahitkan ketika kancing baju Soekarno lepas. Inggit hadir ketika Soekarno muda membutuhkan kehangatan perempuan baik sebagai ibu maupun teman.

Inggit bagi Soekarno laksana Khadijah bagi Nabi Muhammad. Bedanya Nabi Muhammad setia hingga Khadijah meninggal sedangkan Soekarno tidak. Dia kawin lagi, melangkah ke gerbang istana dan Inggit pulang ke Bandung, menenun sepi.

Dalam kamus hidupnya bu Inggit hanya ada kata memberi. Tidak ada kata meminta. Bu Inggit menjual bedak, meramu jamu dan menjahit kutang untuk nafkah keluarga. Sementara Soekarno seperti singa yang mengaum dari satu podium ke podium berikutnya. Pikirannya tercurah untuk untuk pergerakan. Inggit yang setia mencari uang. Inggit mencinta karena cinta, tanpa pamrih tanpa motivasi.

Suatu malam di jalan Jaksa, kedua pasang mata bertemu. Soekarno berkata, "Aku cinta padamu". Inggit tersipu menunduk dalam-dalam sambil mempermainkan ujung kebaya. Itulah cinta yang dibawakan Inggit dengan mesra, tanpa suara tanpa kata-kata, tanpa bahasa.

Kejadian yang sangat lazim dan sederhana tetapi merupakan kejadian penting yang terlupakan oleh segenap bangsa. Inggit menemani Soekarno yang terlunta-lunta di pembuangan. Jauh di pulau Ende lalu di Bengkulu, Inggit tetap menemani. Bu Inggit merupakan baterai bagi kehidupan Soekarno yang menderita.

Tetapi di ujung masa penjajahan Soekarno berkata pada Inggit,
"Eulis aku akan menikah lagi supaya punya anak seperti orang-orang lain."
"Kalau begitu antarkan saja aku ke Bandung!" Jawab Inggit.
"Tidak begitu. Maksudku engkau akan tetap jadi istri utama. Jadi first lady seandainya kita nanti merdeka."
"Tidak. Antarkan saja aku ke Bandung," jawab Inggit lagi.

Akhirnya Soekarno mengantar Inggit ke Bandung. Kembali tinggal di jalan Tjiateul dan Soekarno balik ke Jakarta. Dalam kesepiannya Inggit selalu berdoa bagi kebaikan Soekarno. Inggit kembali menjual bedak, meramu jamu dan menjahit kutang sebagai nafkah. Dagangannya dititipkan di toko Delima. Inggit tidak mengeluh. Tidak menangis. Demikianlah cinta Inggit pada Soekarno. Cinta semata-mata karena cinta. Tidak luka ketika dilukai dan tidak sakit ketika disakiti. Tanpa pamrih tanpa motivasi.

Bila anda di Bandung lewatlah Jl Ciateul yang sibuk dan panas itu, sekarang dinamakan Jl Inggit Garnasih. Tampak sebuah rumah lama dicat baru, katanya disitu dulu Inggit tinggal dan akan dijadikan museum. Tengoklah isinya ... kosong melompong. Tak ada yang ditinggalkan oleh Inggit selain satu pelajaran tentang CINTA.



Sumber Berita : http://m.yusuf.web.id/v20/

0 komentar:

Posting Komentar