Minggu, 16 Oktober 2011

Tak Ada Kesejahteraan bagi Petani

KESAL dengan kemembanjiran bahan pangan impor ke Indonesia yang notabene negeri agraris, ribuan petani kentang asal Jawa Tengah dan sekitarnya mendemo Kementerian Perdagangan dan Istana. Kemembanjiran bahan pangan impor membuat mereka tekor, karena harga kentang mereka kojor diterjang serbuan kentang China dan  Bangladesh yang lebih murah. Petani heran atas sikap pemerintah yang tak berpihak pada mereka. Kekesalan memuncak, sehingga mereka melontarkan kata-kata: kalau tidak juga ditolong pemerintah yang dipimpin Presiden, biar nggak tekor, kita impor saja Presiden dari negara lain.
Di tengah kememuncakan kekesalan para aktor utama penyedia pangan, yakni petani, muncul beragam spekulasi bahwa impor berbagai bahan pangan — padahal bahan pangan Indonesia lebih bagus daripada hasil impor— lebih merupakan upaya pihak tertentu untuk memupuk keuntungan. Ironis, di negara agraris ada pihak yang memperoleh fee segunung dengan mengimpor berbagai bahan pangan, seperti garam, beras, daging sapi, bawang, dan kentang. Sementara itu, petani lokal yang mampu menghasilkan produk berkualitas lebih baik justru tergencet di pasar dalam negeri.
Mengapa kebijakan pemerintah tak menyediakan ruang bagi kesejahteraan petani sehingga menambah suram masa depan mereka dan memupuskan semangat rakyat untuk bertani? Mengapa nilai impor pangan rata-rata di negara agraris ini Rp 110 triliun/tahun (berdasar data Serikat Petani Indonesia)? Mengapa pemerintah tak juga menyadari kebijakan impor pangan akan mengantarkan negeri ini ke jurang krisis pangan?
Sambil menunggu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, mari kita lihat ”pertentangan” para menteri Kabinet Indonesia Bersatu II yang berkait dengan impor bahan pangan. Kebijakan impor beras yang dilakukan Menteri Perdagangan Mari Pangestu dikritik Menteri Pertanian Suswono. Awal Agustus lalu, Suswono menyebut Mari tak mempunyai kebijakan yang memihak petani. Namun Mari beralasan kebijakan itu demi menjaga keseimbangan harga beras, sehingga dapat dijangkau konsumen secara luas.
Kritik terhadap Mari Pangestu juga datang dari Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad. Kali ini soal impor garam. Fadel geram karena sudah menggelontorkan Rp 97 miliar untuk meningkatkan produksi garam petani. Namun Mari justru mengizinkan impor garam dari China, India, dan Australia hingga 900.000 metrik ton. Impor garam murah itu justru pada saat terlarang, yakni sebulan sebelum panen garam sampai dengan dua bulan setelah panen, atau antara Juli dan Oktober 2011.
Terlepas dari pro-kontra terhadap sosok Mari Pangestu, berbicara masalah pangan, kita berbicara soal komoditas ”khusus”. Khusus, karena merupakan salah satu kebutuhan mendasar manusia dan perlu pengaturan khusus dalam distribusi pangan yang seharusnya berbeda dari pengaturan distribusi barang lain.

Kewajiban Negara
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih berpendapat, pengaturan pangan harus di bawah kendali negara. Sebab, negara berkewajiban menjamin dan memenuhi salah satu hak dasar rakyat itu. Sayang, kondisi itu jauh panggang dari api. Kebijakan pangan negeri ini telah diserahkan ke pasar, sehingga pemerintah kesulitan mengendalikan fluktuasi harga pangan. Akibatnya, harga pangan melambung tinggi dan tak bisa dijangkau masyarakat miskin.
Di sisi lain, produktivitas pertanian harus terus ditingkatkan untuk menuju ke swasembada pangan. Kenyataan di lapangan menunjukkan, rata-rata alih fungsi lahan pertanian yang mencapai 230.000 hektare per tahun serta dukungan infrastruktur dan input pertanian yang belum memadai membuat beban para petani untuk memproduksi pangan yang mencukupi seluruh rakyat Indonesia sangat berat. Belum lagi terjadi perubahan iklim yang ekstrem sehingga di mana-mana gagal panen akibat cuaca dan serangan hama.(Hartono Harimurti-51)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/10/17/163031/

0 komentar:

Posting Komentar