Senin, 14 Mei 2012

Jokowi dan Kebo Ijo

JOKOWI yang berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sudah mengantongi nomor urut 3 dari KPU untuk berkampanye di DKI Jakarta pada 24 Juni-7 Juli mendatang (SM, 12/05/12). Kiprahnya memang fenomenal, dipuncaki mencuatnya Esemka, mobil rakitan anak SMK yang pada awalnya difasilitasi Bengkel Kiat Motor. Dia pun mendapat pujian atas keberaniannya menjadi brand ambassador mobil tersebut.
Bahkan ketika Gubernur Bibit Waluyo tak sepaham de-ngan kiprahnya itu, sejumlah elemen masyarakat membelanya. Barangkali itulah yang menjadikannya seperti terlena ketika PDIP meminang menjadi salah satu jago dalam pilgub di Ibu Kota. Berbekal heroisme Esemka dan pujian masyarakat, Jokowi seperti mengunci diri bahwa ia hanya mau dicalonkan menjadi gubernur.
Meskipun ada tarik ulur di internal PDIP, sebagaimana pernyataan Taufik Kiemas bahwa partai  akan memasangkan dengan Foke, faktanya Jokowi ditetapkan sebagai cagub partai banteng ber-pasangan dengan Ahok, yang sebelumnya dari Golkar. Akhirnya, Jokowi di-duetkan dengan Ahok, yang secara kilat menjadi kader Gerinda.
Saya mendukung Jokowi sehubungan kiprahnya atas mobil Esemka. Namun terkait kepercayaan dirinya maju di Jakarta, saya teringat kisah Douglas McArthur, jenderal bintang lima, yang sehabis Perang Dunia II dipuji sela-ngit namun tak mendapat tempat ketika mencalonkan sebagai presiden Amerika Serikat. Penyebabnya ia mabuk pujian kemudian mengenyampingkan fenomena politik yang dalam keadaan tertentu membuat pujian jadi alat untuk menyingkirkan.
Itulah yang terjadi pada Jokowi, pujian seperti membuatnya lupa dan tak sepenuhnya mencermati fenomena politik di balik penggiringannya ke Ibu Kota. Istilah pengasingan itu mengingat siapa kelak yang dicalonkan PDIP untuk Jateng-1, sepertinya masih condong ke Bibit Waluyo. Seandainya tidak terlalu miring ke Bibit, 50 persennya lari ke Rustriningsih, yang secara politik juga bisa dikatakan tercela ketika teperdaya oleh angin surga Nasdem.
Alat Menyingkirkan
Jokowi pernah menyatakan tak tertarik dengan tantangan menjadi Jateng-1, seiring masih kuatnya suara PDIP untuk kembali mendukung Bibit. Ketidaktertarikan itu bisa jadi lantaran pembacaannya atas fenomena itu, atau bisa juga modal pujian membuatnya merasa perlu mencari tantangan lebih besar di Jakarta.
Saya berpendapat peluangnya di Ibu Kota tidak besar mengingat ia berasal dari daerah yang luas wilayahnya relatif kecil. Peluangnya makin diperkecil ketika memilih Ahok yang secara ekonomi kuat, namun lemah dari segi entitas keagamaan dan etnis. Saya tidak diskriminatif apalagi rasis, namun fakta politik menunjukkan bahwa mayoritas entitas keagamaan dan etnis sangat menentukan pada era reformasi.
Lihatlah realitas dari Kota Singkawang Kalimantan Barat, yang dihuni etnis Melayu. Karena di kota itu etnis Tionghoa menjadi mayoritas, warga menjatuhkan pilihan pada calon kepala daerah yang berlatar belakang etnis Tionghoa. Hal ini berbeda bila tujuan Pilgub DKI 2012 itu untuk pendidikan demokrasi, dan hal itu justru sangat baik. Tapi adalah orang mau mencalonkan diri sebagai pejabat politik sekadar untuk memberikan pendidikan politik?
Seorang teman yang lagi menyelesaikan disertasi sastra gending mengatakan Jokowi seperti Kebo Ijo yang ke sana kemari bangga memamerkan keris pinjaman dari Ken Arok. Padahal keris yang membuatnya merasa gagah itu hanya menggiringnya menjadi tumbal. Begitulah Jokowi, lanjut kawan saya itu, yang merasa sudah terkenal dengan Esemka, ternyata itu menjadi alat oleh sementara pihak guna menyingkirkan dari bursa Jateng.
Modusnya, mendalihkan pada keberhasilannya di Solo sehingga layak membenahi Ibu Kota. Semoga ia bisa memenangi Pilgub DKI Jakarta pada 11 Juli mendatang. (10)

— Dr Mahmudi Asyari, peneliti dari ICIS Jakarta
Sumber Berita : http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/05/15/186507/Jokowi-dan-Kebo-Ijo

0 komentar:

Posting Komentar