TUBUH birokrasi di negeri ini kian tambun dan penuh 'kolesterol'. Dalam kurun sewindu, jumlah pegawai negeri sipil (PNS) di Republik ini bertambah 1 juta orang.
Jika pada 2003 jumlah abdi negara itu masih 3,5 juta orang, pada tahun 2011 sudah membengkak menjadi 4,58 juta orang. Bila ditambah dengan tenaga honorer, total jenderal mencapai 4,7 juta orang.
Celakanya, dari 4,58 juta PNS tersebut, lebih dari 60% atau sekitar 2,5 juta orang merupakan para administratur atau orang kantoran. Hanya 2 juta PNS yang berada di jalur fungsional seperti guru dan tenaga medis.
Negara pun kelabakan menyediakan anggaran akibat pembengkakan jumlah PNS itu. Jika pada 2005 pemerintah masih merogoh Rp54,3 triliun untuk kerah coklat itu, lima tahun kemudian (pada 2010) APBN dipaksa menyediakan Rp147,9 triliun untuk PNS.
Tahun ini, kantong negara harus dirogoh Rp180,8 triliun atau 21,61% dari APBN untuk menggaji PNS. Bahkan, besarnya jumlah PNS itu menyebabkan pemerintah harus berutang untuk memenuhi jaminan sosial mereka.
Utang pemerintah terhadap PT Taspen (persero) untuk tunjangan pensiunan PNS, TNI, dan Polri dari 2007 hingga kini mencapai Rp8 triliun. Besarnya biaya pegawai juga ikut menyumbang besarnya defisit APBN.
Kian menjadi persoalan ketika banyaknya PNS itu tidak berbanding lurus dengan efektiivitas dan efisiensi birokrasi. Justru yang terjadi adalah birokrasi yang lamban dan sering membuat capek.
Belum lagi citra yang berkembang bahwa PNS suka mengorting waktu kerja. Datang mepet makan siang dan sebentar saja di kantor sudah menghilang lagi.
Maka, terasa ironis jika negara harus membelanjakan banyak uang untuk kemalasan sementara di sisi lain pembangunan infrastruktur dan gedung-gedung sekolah di Tanah Air terbengkalai karena tidak ada dana.
Karena itu, wacana pemberian opsi pensiun dini untuk PNS dengan memberikan kompensasi sebagaimana diusulkan Menteri Keuangan Agus Martowardojo layak menjadi pertimbangan. Namun, bukankah 'diet' seperti itu juga menghabiskan biaya dan belum tentu menyehatkan?
Selama kultur para pegawai negeri tidak berubah, juga mekanisme ganjaran dan hukuman tidak ditegakkan secara konsisten, opsi apa pun tidak akan menyehatkan birokrasi. Bisa-bisa 'diet' lewat pensiun dini hanya menghasilkan kerampingan, tapi tidak menghilangkan penyakit.
Sumber Berita : http://www.mediaindonesia.com/29 Juni 2011
0 komentar:
Posting Komentar