Belum pernah saya mendengar pakar gizi membahas manfaat kerupuk. Atau mungkin, barang ini cuma sedikit bermanaaf saja sehingga tak perlu ada pembahasan atasnya. Atau malah tak bermanfaat sama sekali sehingga meskipun tidak dilarang juga tidak perlu dianjurkan. Karena jangankan kerupuk yang bahkan belum diperdebatkan. Rokok saja, yang jelas-jelas berbahaya mustahil dilarang secara serta-merta.
Tetapi walau kerupuk tidak dipentingkan di takaran wacana, ia amat sentral keududukannya bagi lidah manusia Indonesia. Saya sendiri gelisah setiap kerupuk tidak tersedia menyertai menu makanan yang ada. Meskipun saya bukan ahli gizi, tetapi saya tahu, kandungan gizi kerupuk bisa jadi memang rendah sekali. Sebelum melar menjadi sebesar wajan, kerupuk mentah bisa kecil sekali. Saya belum pernah menemukan jenis pemekaran yang seagresif kerupuk saat sudah jatuh di bejana penggorengan.
Mungkin pemelaran yang dramatis itu yang mendatangkan efek yang juga daramatik di mulut. Ia meramaikan kedudukan sayur dan nasi walau penuh gizi tapi sepi. Ia memberi sensasi seperti halnya pedas. Ia memperdayai dan menipu lidah. Itulah kenapa bagi pengemarnya, gabungan antar pedas dan kerupuk adalah duet yan menggemparkan. Menu paling sederhana sekalipun menjadi gegap gempita jika dua aksesoris ini turut serta.
Maka jadilah kerupuk sebagai makanan kultural karena keakrapan kita atasnya. Ia sebetulnya tidak penting, tetapi harus ada. Karena harus ada, maka jadilah ia penting. Lalu sampailah kenyataan ketiga: akhirnya ada barang yang tidak penting menjadi penting. Dari sekadar cuma soal makanan kebiasaan ini turun ke dalam kenyataan. Di dalam kenyataan, betapa banyak mementingkan soal-soal yang tidak penting. Lalu terjadilah kekacauan urutan antara tidak penting, penting, dan mendesak. Pertukaran tempat di antara ketiganya tinggi sekali di negeri ini.
Ada barang yang tidak penting tidak cuma diubah menjadi penting tetapi juga ditingkatkan jadi mendesak. Maka ketika salah urutan ini telah menjadi kebiasaan, ia lalu menjadi peristiwa kultural. Dari yang kultural lalu jadilah ia fenomena sosial. Karenanya mudah sekali kita menjumpai keleliruan prioritas. Di sebuah kampung miskin, bisa terdapat rumah-rumah ibadah yang bagus sekali. Ada konsentrasi yang tampak lebih menuju ke arah yan berbeda katimbang ke tujuan yang mendesak keadaannya. Jangan lupa dana pembangunan tempat ibadah itu, biasanya sebagian besar, diambil bukan dari poduktivitas warga sendiri, melainkan sekadar dari hasil mengedarkan proposal ke sana- kemari. Jadi ada sebuah tata nilai, yang lebih suka merangsang untuk pintar mencari sumbangan katimbang pintar berproduksi. Rumah ibadah itu, jika berasal dari keringat warga sendiri, meskipun sederhana bentuknya dan pelan pembangunannya, tetapi ia akan jauh lebih meruhani jika penuh keterlibatan warga.
Lalau apa jadinya jika tradisi mendahulukan sensasi ala makan kerupuk itu diam-diam ada dalam diri kita sebagai pribadi, keluarga, masyarakat, sampai Negara. Apa jadinya jika seorang penganggur lebih mendahulukan rokoknya katimbang beras untuk anak istrinya. Apa jadinya jika sebuah keluarga lebih banyak menghabiskan waktunya di depan televisi cuma untuk mengibur diri katimbang memperkembangkan diri. Apa jadinya jika kesibukan negara ternyata bukan untuk kepentingan negara tetapi lebih untuk kepentingan politiknya sendiri. Krupuk memang sensasional, tetapi satu soal yang harus disepakati: ia ramai di mulut tapi rendah di gizi. ()
(Prie GS/bnol)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/1 Juli 2011
0 komentar:
Posting Komentar