Minggu, 14 Agustus 2011

Kisah Mantan "Jugun Ianfu" Dipamerkan

Kisah para mantan "jugun ianfu", para wanita yang dipaksa melayani nafsu serdadu Jepang saat Perang Dunia II, dipamerkan lewat sederet potret, Rabu, yang menggambarkan pedihnya derita yang mereka alami.

Sebanyak 18 potret mantan "jugun ianfu" tersebut dipajang di halaman Gedung Henricus Constant Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, lengkap dengan rekam jejak yang didapat berdasarkan pengakuan mereka.

Foto hasil jepretan Jan Banning itu memang terlihat sederhana, yakni berupa potret "close up" 18 mantan "jugun ianfu", namun mampu menguak kisah secara lengkap, dipadu dengan teks hasil wawancara oleh Hilde Jansen.

Hilden Jansen adalah seorang wartawati Belanda yang telah melakukan wawancara pada 2007 dengan sekitar 50 korban kekejaman perang dan memutuskan untuk menyumbangkan pengalaman yang didapatnya melalui tulisan.

Penjelasan Hilden Jansen di samping setiap foto yang dipajang merekam dengan jelas bagaimana kisah masing-masing korban kekejaman perang, saat mereka dipaksa untuk melayani "hasrat purba" para serdadu Jepang.

Menurut ketua penyelenggara pameran bertajuk "Jugun Ianfu", Donny Danardono, pameran tersebut dilakukan untuk memperjuangkan para mantan "jugun ianfu" di Indonesia yang hingga saat ini tidak diakui.

"Kami secara tidak langsung ingin memperjuangkan nasib para mantan `jugun ianfu` yang telah menjadi korban kekejaman perang, sebab sejarah pun tidak pernah menyebut," kata pengajar filsafat Unika Soegijapranata Semarang itu.

Ia mengatakan foto dan hasil wawancara terhadap para mantan "jugun ianfu" itu dikumpulkan Jan Banning dan Hilden Jansen dari seluruh pelosok Indonesia, seperti Jawa, Maluku, Kalimantan Timur, dan Sumatera Utara.

"Kami merasa mendapatkan kehormatan untuk menjadi bagian dari penyelenggaraan pameran ini, sebab nasib para mantan `jugun ianfu` itu memang menyedihkan dan tidak boleh sampai dilupakan," katanya.

Keunikan foto-foto karya Jan Banning itu, kata dia, terletak pada kemampuannya memotret para korban kekerasan, sebab jelas ada kesulitan tersendiri dibandingkan memotret objek-objek lain yang bersifat biasa.

"Pameran ini terselenggara atas kerja sama beberapa pihak yang peduli dengan nasib `jugun ianfu`, di antaranya Erasmus Huis, Widya Mitra, Mondriaan Stiching, Unika Soegijapranata, dan Byar Creative," katanya.

Selain pameran foto yang berlangsung pada 11-23 Oktober itu, kata dia, pihaknya juga akan menyelenggarakan seminar dan workshop tentang fotografi dengan menghadirkan beberapa narasumber yang kompeten.

"Untuk seminar, kami selenggarakan 18 Oktober, sedangkan workshop pada 20 Oktober. Di acara itu akan dijelaskan bagaimana teknik memotret objek-objek yang tidak biasa, seperti para korban kekerasan," kata Donny.
Sumber Berita : http://www.iannnews.com/news.php?kat=4&bid=502

0 komentar:

Posting Komentar