Minggu, 14 Agustus 2011

Tak Henti henti Meraih Kemerdekaan

KEMERDEKAAN? O, memang sudah tergapai. Akan tetapi mengapa negeri ini masih terpuruk dan terampas kemerdekaan di berbagai bidang?
Dosen Filsafat Universitas Indonesia, Rocky Gerung mencoba menelusuri. Menurut dia sulit meng-install demokrasi modern kepada masyarakat yang masih dalam belenggu budaya feodal.
”Di satu sisi kita menawarkan demokrasi yang khas dengan sifat yang egaliter, di sisi lain masyarakat masih memuja kejayaan masa lalu, serta berupaya mengembalikan kejayaan itu dengan cara-cara yang tidak modern.”
Pemujaan ulang terhadap masa lalu tersebut membuat negeri yang berbentuk republik ini, menjadi negara yang dipimpin oleh pemimpin yang dianggap rakyat sebagai raja. Atau sang pemimpin memposisikan diri seperti raja. Kondisi ini memunculkan sikap pemimpin yang ingin menjadi penguasa powerfull, yang begitu besar keyakinan dirinya atas setiap langkah yang diambil, sehingga ia antikritik.
Kondisi ”pelayanan” pun berubah. Tujuan negara untuk sebesar-besarnya melayani rakyat, dikooptasi. Tak pelak  pelayanan hanya untuk kepentingan pemimpin dan rezim. Bahkan kepentingan pihak asing yang mendukung kekuasaan. Rakyat pun merasa terjajah, merasa diabaikan, dikesampingkan, sehingga muncul berbagai reaksi muai yang verbal, teaterikal, sampai frontal, dan brutal. Rakyat ingin merebut kembali hak-haknya sebagai warga di sebuah negara merdeka.
Di sisi lain di tengah masyarakat muncul kelompok-kelompok berlatar belakang agama, etnis atau kepentingan lain yang seakan-akan ingin memaksakan, menjadikan aturan, atau keyakinan mereka sebagai suatu yang mendominasi ruang publik bangsa Indonesia. ”Jalan keluar dari ini semua adalah meneguhkan konstitusi sebagai salah satu pilar utama demokrasi, yang menjamin kesetaraan hidup berbangsa dan bernegara. Juga memerangi kekuasaan yang berlebihan yang berpotensi untuk berlaku koruptif serta antidemokrasi. Dengan apa? Tak lain dan tak bukan dengan cara melakukan civic education seluas-luasnya kepada bangsa ini.”
Menurut penyair Sitok Srengenge, berbicara tentang kemerdekaan, maka kita akan membicarakan kedaulatan untuk melangkah menentukan jalan hidup, harga diri, serta membicarakan rasa aman dari ketakutan terhadap berbagai ancaman berbagai jenis penjajahan dalam bentuk baru.
Yang menamakan dirinya ”negara” di dunia ini, menurut pendapat dia, adalah negara yang merdeka, atau setengah merdeka. Namun banyak hal yang unik terjadi dalam konteks merdeka dan setengah merdeka ini. Sitok mencontohkan negeri Kanguru Australia, yang hingga kini masih berstatus dominion Kerajaan Inggris, atau belum merdeka penuh.
”Namun dalam kenyataannya Australia lebih leluasa untuk menentukan gerak langkah demi kepentingan dalam negeri dan luar negerinya, baik itu bidang sosial, ekonomi, budaya dan sebagainya. Australia bisa lebih bebas melakukan dan bebas dari intervensi atau tekanan pihak tertentu, dibandingkan dengan negara kita,” kata pria asal Dorolegi, Godong, Kabupaten Grobogan ini. 
Dalam konteks esensi kemerdekaan suatu negara merdeka, Australia dan juga Kanada (yang juga dominion Inggris) bisa dikatakan sebagai negara yang sukses menggapai esensi kemerdekaan. Namun banyak negara yang merdeka penuh tidak merasakan esensi kemerdekaan, karena mereka belum juga berhasil mengeyahkan dirinya dari ketakutan akan adanya ancaman dalam berbagai bidang dari pihak lain.
Bahkan demi rasa aman, negara-negara tersebut rela membarter kepentingan luar negeri bahkan dalam negeri dengan kepentingan pihak luar. Menurut Sitok ada banyak jalan keluar secara budaya demi membangkitkan semangat untuk meraih kemerdekaan secara esensi tersebut, yaitu dengan menggabungkan sikap terbuka terhadap budaya dan informasi yang masuk, merdeka untuk melakukan seleksi, mengembangkan rasa percaya diri, dan bebas dari ketakutan yang sampai menjurus ketamakan.
Sitok menambahkan, ketimpangan yang terjadi dalam kehidupan dunia ini memunculkan penjajahan. Ini akibat  ketakutan yang menjurus pada ketamakan sehingga kini sejatinya tidak ada relasi hubungan antara bangsa yang sederajat.
”Negara industri maju takut industrinya terganggu bila tidak ada pasokan dari negara dunia ketiga yang kaya sumber daya alam. Mereka juga takut bila posisi mereka yang sudah mapan disaingi dengan kebangkitan negara industri baru. Dari hubungan saling memerlukan, muncul keserakahan untuk menguasai dunia ketiga. Muncullah penjajahan, muncullah penekanan, embargo, juga standar ganda dalam menyikapi HAM, yang menunjukkan posisi si kuat dan si lemah,” katanya.
Indonesia sebagai negara yang kaya sumber daya alam, menurutnya harus bangkit dari posisi si lemah, menjadi yang diperhitungkan. Namun untuk menuju menjadi bangsa yang diperhitungkan di kancah persaingan global dalam berbagai bidang ini, harus terlebih dulu memulai konsolidasi bangsa yang majemuk ini. Sayang kini negeri ini sedang dilanda fenomena saling mengalahkan.
”Etnis yang dominan di suatu daerah harus menjadi penguasa sesungguhnya dan harus mengalahkan kaum minorotas di daerah tertentu. Juga perbedaan paham suatu agama, antara mayoritas dan minoritas yang jauh dari sikap toleransi, dan mengarah kepada pembunuhan paham, ide bahkan diri kelompok yang dianggap menyempal tersebut. Juga harus diselesaikan itu segala bentuk keserakahan yang menimbulkan korupsi perorangan sampai dengan secara kelompok, atau berjamaah. Keserakahan inilah yang mendorong seseorang sampai tega mengorbankan atau tepatnya menjual kepentingan nasonal kepada asing demi kepentingan pribadi dan kelompok.  PR seperti ini yang harus diselesaikan bersama dengan mengedepankan konstitusi sebagai aturan main, kesepakatan bangsa dan negara ini,” paparnya

Perilaku Koruptif
Senada dengan Sitok, rohaniawan Antonius Benny Susetyo Pr mengatakan, yang membuat bangsa Indonesia belum merdeka secara esensi, adalah kemunculan penjajah-penjajah baru yang menggantikan Portugis, Belanda dan Jepang. Mreka adalah bangsa Indonesia sendiri.
”Tujuan kemerdekaan adalah mewujudkan kesejahteraan, kedamaian, kemakmuran rakyat. Tujuan ini diganggu, dibelokkan, oleh kepentingan penjajah bentuk baru yang kini menjelma menjadi oknum elite politik dan birokrat yang korup. Tujuan mulia ini dijajah oleh kepentingan pribadi dan kelompok mereka,” kata pria yang akrab dipanggil Romo Benny tersebut.
Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tersebut mengingatkan betapa perlu revolusi atas berbagai bentuk budaya yang bersifat koruptif. Budaya penghisapan terhadap jerih payah rakyat, menyetor upeti serta menjilat ke atasan tersebut sudah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan feodal di bumi pertiwi ini.
”Revolusi ini diharapkan akan menghasilkan manusia-manusia merdeka, yang bebas dari perilaku buruk dan perilaku yang koruptif, yang membuat terpuruk bangsa ini, manusia merdeka yang mempunyai keleluasaan untuk berkarya, berkreasi, serta mempunyai etos kerja tinggi yang tetap pada sifat-sifat luhur.
”Dengan kontrol sifat luhur inilah, kita mampu membebaskan seseorang dari budaya korup. Juga bisa menyelesaikan kemiskinan dan ketidakadilan di negara yang hampir 66 tahun merdeka ini,” katanya.
Selain itu Romo Benny juga mengajak format ulang kebudayaan Indonesia, dari budaya feodalisme yang begitu kuat, menjadi budaya maritim yang lebih egaliter, terbuka, dengan melalui proses dialektika yang terus berlanjut. Proses yang menjunjung tinggi toleransi atas ke-bhinneka-an pandangan, serta dengan cara yang damai tersebut, nanti akan menumbuhkan kesadaran, dan solidaritas bersama.
Kita, dengan demikian, memang masih tak henti-henti meraih kemerdekaan. (33)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/08/14/156094/

0 komentar:

Posting Komentar