Selasa, 14 Juni 2011

RI "Juara" Korupsi Asia Tenggara

JAKARTA - Indonesia masih menjadi lahan subur bagi para koruptor. Survei terhadap penegakan hukum dan korupsi di 65 negara di dunia yang diselenggarakan oleh World Justice Project menyebutkan, praktik korupsi di Indonesia sudah sangat menyebar luas.

Jika diurutkan, Indonesia berada di posisi bawah baik secara regional maupun global. Survei dilakukan dengan sangat hati-hati, melibatkan lebih dari 66.000 responden dan 2.000 ahli.

Dalam hal ketiadaan korupsi, Indonesia mendapatkan skor 0,46 atau berada di urutan 47 dari 65 negara tersurvei. Jika dilihat dari sisi kawasan (regional), Indonesia adalah ’’juara’’ korupsi di antara negara-negara besar Asia Tenggara.

Vietnam tepat berada di atas Indonesia dengan skor 0,50. Filipina dua tingkat lebih baik karena mengantongi nilai 0,57. Negara terbersih dari korupsi di Asia Tenggara tetap dipegang oleh Singapura dengan skor 0,91. Malaysia menyusul di bawahnya dengan 0,64. Thailand (0,61). Skor terjelek adalah nol, sedang skor tertinggi satu.

Survei yang diberi nama ’’World Justice Project 2011 Rule of Law’’ ini diumumkan Selasa (14/6) kemarin di Washington, AS.

“Korupsi sudah sangat menyebar luas di Indonesia. Negara itu berada di posisi kedua dari terakhir untuk wilayah regional dan posisi 47 secara global (dari total 65 negara),” jelas hasil survei tersebut.

“Bantuan hukum bisa jadi terlalu mahal atau tidak tersedia sama sekali di Indonesia, dan kesenjangan antara kaya dan miskin terhadap pelaksanaan proses hukum dan kepuasan hukum sipil menjadi signifikan.”

Survei ini terbagi ke dalam delapan kategori penegakan hukum, yakni kekuasaan pemerintah yang terbatas, ketiadaan korupsi, hukum yang jelas, stabil dan transparan, ketertiban dan keamanan, hak-hak dasar, keterbukaan pemerintah, penegakan perundang-undangan, akses terhadap keadilan sipil, dan peradilan yang efektif.

Dalam survei itu, Indonesia dimasukkan dalam kawasan Asia Timur-Pasifik bersama Jepang, Singapura, Korea Selatan, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan lainnya.

Negara-negara maju seperti Jepang, Australia, Singapura, dan Korea Selatan memiliki angka tinggi hampir di semua dimensi. Berbeda halnya dengan negara-negara berkembang seperti Indonesia, Filipina, dan Thailand yang cenderung memiliki angka rendah di semua dimensi penegakan hukum.

Tanpa Gaung

Wakil Presiden Boediono mengakui pemberantasan korupsi tidak mudah dilakukan. Dia bahkan mengkritik Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2011 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi yang sampai sekarang tidak ada gaungnya.

Selain kurangnya respons dari publik, belum berjalannya Inpres tersebut disebabkan penyusunan rencana aksi yang membutuhkan waktu lama.
’’Inpres No 9 kami harapkan ada gaungnya. Ternyata tidak sama sekali. Mungkin dinilai tidak ada bobotnya,’’ kata Boediono saat membuka Forum Antikorupsi II dan Sosialisasi Inpres No 9/2011 di Jakarta, Selasa (14/6).

Hadir pada acara tersebut Menteri BUMN Mustafa Abubakar, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Kepala Bappenas Armida Alisjahbana, Menteri Perhubungan Fredy Numberi, Kepala Polri Jenderal Timur Pradopo, dan Kepala UKP4 Kuntoro Mangkusoebroto.

Boediono yang juga mantan Menkeu menjelaskan, Inpres No.9/2011 merupakan rencana penting pemerintah yang dituangkan dalam program aksi selama satu tahun. Isinya muatan dan curahan dari pimpinan instansi untuk melakukan pembenahan ke dalam yang sudah disusun secara komprehensif dan rinci, terkait langkah yang akan dilakukan pemerintah dan lembaga penegak hukum untuk meminimalisasi korupsi di semua lembaga pemerintah.

Dia menilai, keberadaan Inpres ini merupakan hal yang baik guna menciptakan iklim antikorupsi. Namun, Wapres menyayangkan bahwa proses penyusunan rencana aksinya memakan waktu lama. Dia melihat sendiri proses pembahasannya sangat alot dan harus bolak-balik dari instansi masing-masing.

Terpisah, Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi menilai, pernyataan Wapres Boediono bahwa Inpres No.9/2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (RA-PPK) tidak ada gaungnya sama sekali, merupakan bentuk pengakuan kelemahan leadership Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono dalam memberantas korupsi.

’’Pernyataan ini juga sekaligus menggambarkan bahwa kementerian terkait dan penegak hukum dalam lingkup eksekutif seperti Polri, Kejaksaan Agung tidak patuh atas instruksi ini,’’ katanya.

Terpisah, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso juga mengungkapkan keprihatinannya karena Indonesia berada di nomor 47 dari 65 negara terkorup dan tidak adil di dunia. “Saya prihatin dengan hasil survei  itu. Ini menjadi warning bagi kita,” kata Priyo dalam diskusi Forum MKGR di Jakarta, kemarin.

Untuk itu, menurut Priyo, survei itu harus menjadi momentum melakukan mawas diri bersama. Kondisi yang penuh dengan hiruk pikuk saat ini menjadi masa sulit bagi Indonesia ke depan, terutama reformasi dan demokrasi.
“Kalau ini tidak direspon, saya khawatir akan terjadi turbulensi atau kekacauan, menuju negara gagal,” katanya.

Ia menambahkan, reformasi dan demokrasi yang telah diperjuangkan tidak boleh berhenti. Menurut Priyo, saat ini Indonesia masih dalam tahap mencari bentuk demokrasi yang tepat, sehingga kegagalan dalam mengelola berbagai masalah bisa menggelincirkan kembali ke negara otoriter.

Priyo juga khawatir bila keadaannya terus seperti ini, akan terjadi gejolak di masyarakat yang dapat mengakibatkan bentrokan dengan negara.
“Akan ada tumbukan lempeng negara dan masyarakat yang berbahaya yang perlu dihindari,” katanya.

Ketua Satgas Pemberantasan Mafia Hukum Kuntoro Mangkusoebroto pun kaget atas hasil survei World Justice Project itu. Dia mengaku sangat malu. Apalagi dalam waktu dekat ini dia akan menjadi pembicara soal pemberantasan korupsi di Indonesia di kantor World Justice Project di Washington. “Celaka, malu ya. Jalan saya enggak bisa tegak ya,” kata Kuntoro, kemarin.

Kuntoro dijadwalkan menyambangi kantor WJP di Washington untuk memaparkan kondisi penegakan hukum di Indonesia. Dia akan memaparkan government public participation.

Upaya Radikal

Anggota Satgas Pemberantasan Mafia Hukum Mas Achmad Santosa berpendapat, perlu ada langkah revolusioner untuk memberangus korupsi.
“Ikhtiar ini terancam akan tidak berdampak pada perubahan apabila kepemimpinan di instansi penegak hukum tidak menggunakan tangan besi untuk melaksanakan upaya-upaya perbaikan secara radikal,” kata Mas Achmad Santosa. ’’Apabila kita mau secara serius memulihkan citra penegakan hukum di mata masyarakat, ada beberapa langkah yang harus dilakukan. Cara yang pertama yakni mengurangi keganasan dari political corruption atau grand corruption yang melibatkan para elite politik,’’ ujarnya.

“Korupsi ini sangat luar biasa, menyebabkan lahirnya kebijakan yang korup dan hilangnya pendapatan negara. Kebijakan yang korup termasuk kebijakan pengalokasian anggaran dan alokasi konsesi untuk eksploitasi sumber daya alam. Political corruption juga menghambat penegakan hukum yang adil,” urai Ota.

Langkah kedua adalah menghilangkan korupsi di level regulatory. Langkah ketiga pada pengadaan barang dan jasa atau kontrak-kontrak pemerintah.
“Apabila ketiga hal itu mampu kita lakukan maka dengan sendirinya kepercayaan masyarakat internasional dan domestik terhadap hukum akan membaik,” tuturnya. (F3,J13,D3,K24-43)
Sumber Berita : Suara Merdeka CyberNews, 15 Juni 2011

0 komentar:

Posting Komentar