Jumat, 17 Juni 2011

Ibu Dalam Lagu

SETIAP orang pasti memiliki kenangan personal dengan orang tuanya, terutama ibu. Namun pada zaman modern yang makin individualis ini, arti kasih cinta ibu sepanjang jalan mulai bias. Berbagai hal dapat menjelma jadi medium dalam merefleksi kasih ibu, termasuk musik.

Selama ini, lagu “Kasih Ibu”, “Ibu” (Iwan Fals), “Bunda” (Melly Goeslaw), “Satu Rindu” (Opick) menjadi contoh lagu-lagu yang jadi momentum dalam memaknai peran dan eksistensi ibu (dan kaum perempuan) dalam rutinitas perayaan setahun sekali: Hari Ibu.

Lagu anak-anak “Kasih Ibu” mungkin termasuk lagu kenangan sepanjang masa. Kita sering menyanyikan lagu itu sejak kecil sampai jadi orang tua. Lagu sederhana, tetapi berkesan mendalam. Lagu itu mengajak kita merenungkan siapa sosok ibu dalam kehidupan manusia.

Anak-anak sering menyanyikan dengan tulus dan ekspresi jujur. Lagu itu menjadi sarana pengajaran dan pendidikan yang efektif pada anak-anak untuk menghormati ibu. Lagu “Ibu” (Iwan Fals) masih populer sampai sekarang. Sebab, menjelang peringatan Hari Ibu sering diputar di radio atau jadi lagu pengiring acara televisi.

Kini, penting bagi kita mempertanyakan kembali spirit reflektif dalam lagu-lagu itu. Sekadar jadi syair yang dinyanyikan atau mengandung semangat penyadaran yang dapat tersalurkan lebih konstruktif dalam memaknai kedudukan ibu dalam kehidupan?

Populer

Harus diakui, di satu sisi lagu lebih mudah jadi saluran menyampaikan pesan ke masyarakat mengenai sosok ibu. Pesan moral lebih komunikatif disampaikan lewat lagu daripada dengan media lain, seperti buku, artikel, apalagi pidato.

Lagu Iwan Fals, Melly Goeslaw, dan Opick itu akhirnya membuktikan dapat menghapus sekat kesakralan lagu “kenangan personal” menjadi bentuk baru dengan semangat refleksi yang mengini dan populis. Setidaknya lewat lagu itu mereka berhasil membawa spirit baru bagi masyarakat untuk kembali merenungi sejarah personalitas dan jadi rujukan sosok dengan sifat mulia, yaitu kasih, cinta, dan tanggung jawab ibu.

Lagu kenangan personal mengenai ibu yang populis itu menjadi warna baru dalam percaturan musik di Tanah Air. Patut diingat, lagu-lagu bertema ibu memang sangat sedikit dibandingkan tema cinta. Artinya lagu-lagu itu mungkin cukup mewakili iklim musik di Indonesia yang kurang variatif secara tematis.
Lagu bertema ibu itu lebih populer dan familiar di telinga setiap lapisan masyarakat. Lagu-lagu itu tak hanya untuk dinyanyikan, tetapi juga dapat memberikan hikmah untuk menghormati ibu sepanjang masa.

Kebudayaan

Itu membuktikan musik telah menjadi bagian penting dalam kebudayaan. Ia terus hadir, hidup, dan menyertai alam pikiran. Berabad-abad musik sebagai salah satu medium ekspresi budaya menyatu dalam struktur kebudayaan masyarakat.

Terbukti, semua komunitas hampir pasti selalu memiliki genealogi musik atas dasar etnisitas, agama, dan bangsa yang mereka warisi. Musik adalah “percakapan besar kebudayaan”, representasi beragam maksud dan pemikiran, yang luruh menampung semua pendekatan artistik.

Musik bisa selalu memainkan peran secara mandiri sebagai kritik kebudayaan. Pada saat yang sama, musik dapat memainkan peran sebagai bagian dari strategi kebudayaan nasional. Sebagai arena kebudayaan, di dalam musik, terefleksi dan tersimpan nilai-nilai sosial kultural, spiritualitas, ideologi, serta kritik sosial pada zamannya. Itu berlangsung dalam dua medium: lirik lagu dan musik itu sendiri (Tompi, 2010).

Pada konteks ini, musik adalah salah satu produk budaya yang akan senantiasa berkembang, menjelma menjadi bentuk baru untuk menuruti kehendak zaman. Menarik bila kita juga mempertanyakan seberapa jauh sumbangan lagu-lagu kenangan-populis generasi muda kita dalam membawa perkembangan perilaku bangsa.

Ataukah, justru dalam lagu-lagu itu, makna reflektif nilai dan makna kekeluargaan hanya secuil dan tertimbun di antara semangat kapitalisme populis? Layaknya lagu-lagu masa kini, lagu-lagu bertema ibu (yang kebanyakan dianggap melankolis) saat ini hanya jadi pelipur lara bagi kaum utopia di tengah hiruk-pikuk negeri yang dilanda krisis nilai kebersamaan dan kekeluargaan.

Maka, melalui lagu-lagu bertema sosok ibu, kita diajak merevitalisasi pikiran bahwa keluarga adalah bangunan tempat kita mulai membenahi hal-hal dalam kehidupan bersama. Musik dalam rangka multikulturalisme kritis (Danusiri, 2004) semacam itu adalah musik yang melampaui batas personalitas dan menawarkan peran reflektif yang kontekstual. Bisa jadi ia menampilkan kembali “kesadaran rasa bersalah” yang harus kita telan lebih dahulu sebagai kedewasaan dan penghormatan atas sesuatu yang paling dekat dengan kita, yakni ibu, sebagai bagian dari keluarga dan orang tua, sebelum kita bisa bicara dalam satuan lebih besar.

Lagu bertema ibu bertutur mengenai hal yang telah lama hilang itu. Ia memang tak mengajukan gagasan canggih tentang masa depan. Namun ia berangkat dari satu titik yang tepat, bicara tentang apa yang ada dan bagaimana seharusnya menyikapi keluarga: konsep nilai lama yang pelan-pelan tergusur entah karena apa dan siapa. Dengan pemikiran semacam itu, revisi dan revitalisasi peran ibu (dan kaum perempuan) jadi penting bagi kehidupan saat ini. (51)

- Andriani Agustina SSos, peminat kajian gender, alumnus UNS Surakarta, tinggal dan bekerja di Jakarta


Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/11 Mei 2011

0 komentar:

Posting Komentar