Minggu, 29 Mei 2011

Konservasi Alam, Konservasi Moral

BUKAN sekadar omong kosong bila sekarang konservasi alam menjadi kecenderungan. Banyak ide bermunculan, seperti go green, green school award, back to nature. Di Indonesia, salah satu penyandang go green adalah Universitas Negeri Semarang (Unnes). Ya, universitas itu telah mendeklarasikan diri sebagai universitas konservasi.

Kini, wajah universitas itu telah menampakkan kehijauan pepohonan, wajah sejuk penuh berbagai keanekaragaman (biodiversity), yang makin lama kian indah dipandang mata dan menyejukkan jiwa.
Tak cuma manusia yang dapat menikmati kehijaurindangan kampus go green itu. Berbagai jenis kupu-kupu dan burung-burung pun meikmati.

Gerakan Sukarela

Gerakan konservasi alam juga dilakukan di Jepang, misalnya di Chukyo University, lewat gerakan Gomihirio-tai. Itulah pasukan pemungut sampah yang bertujuan mewujudkan kampus Chukyo sebagai kampus tercantik di Jepang. Gomihiroi-tai bersifat sukarela. Mereka rela memungut sampah, bahkan kotoran sekalipun, dengan wajah tersenyum, tanpa perasaan malu atau dengan mengumpat.

Sebenarnya dengan langkah konservasi seperti itu, nilai-nilai seni, budaya, dan akademik pun terangkat dan akhirnya bisa menjadi simbol suatu negara. Konservasi seperti itulah yang acap digembar-gemborkan sampai ke seantero dunia; berbagai ragam pembangunan dan kegiatan dilaksanakan untuk mendukung program go green.
Konservasi berasal dari kata conservation yang terdiri atas con (together) dan servare (keep/save) yang berarti upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have) secara bijaksana (wise use). Ide itu dikemukakan Theodore Roosevelt (1902). Dialah orang pertama di Amerika Serikat yang mengemukakan gagasan konservasi.

Tak Cuma Fisik

Pembangunan yang terus-menerus, tanpa disertai pembangunan dari dalam, hanya akan tampak bagus di luar. Padahal, di dalamnya tak mengandung nilai sama sekali. Walau, sebenarnya tujuan pembangunan adalah untuk mewujudkan pendidikan berkarakter, menuju Indonesia adil, sejahtera, dan bermartabat.
Manifestasi konservasi seperti itulah yang semestinya dihindari. Sebab, saking fokus mengejar konservasi alam, tujuan perguruan tinggi yang sebenarnya justru terabaikan.

Sepertinya tidak adil jika hanya memperbaiki prasarana dan sarana fisik, tanpa perbaikan dan pemeliharaan sama sekali pada kepribadian. Ironis melihat degradasi moral yang makin menggerogoti negeri ini. Generasi muda yang seharusnya menjadi pemeimpin masa depan, kini rentan mengalami pergaulan bebas. Tingkah laku, sopan santun. dan budi pekerti seakan-akan hilang karena kurang pengawasan dan kesadaran diri.

Ketika suatu sivitas akademika menyelenggarakan deklarasi moral sebagai usaha meningkatkan dan memperbaiki tingkah laku dan moralitas, saya berharap itu bukan isapan jempol belaka — langkah untuk menambah nilai plus universitas, tanpa implementasi sama sekali. Sebaiknya, deklarasi moral benar-benar dilaksanakan secara nyata.
Tak bisa dimungkiri, memperbaiki kesadaran moral perlu dorongan dari diri sendiri. Kesadaran diri sendiri itulah yang utama dan penting. Karena kesadaran diri sendiri menjadi benteng pencegahan krisis moral, sedangkan aturan dan disiplin dari orang lain sebagai motivasi penggerak moralitas. Jadi, apa yang kita bangun selama ini tak hanya dapat dirasakan dan dilihat, tetapi juga dijaga dan dipelihara.

Dengan pembenahan moral, bangsa ini akan dihormati dan disegani bangsa lain. Jadi, mari kita lestarikan moral bangsa dengan berbudi pekerti luhur dan mengembangkan konservasi moral seiring sejalan dengan konservasi alam. Itu jika kita tak mau bangsa ini dipandang rendah oleh bangsa lain. (51)

— Rina Widyastuti, mahasiswa Bahasa dan Sastra Jawa FBS Universitas Negeri Semarang (Unnes)
Sumber Berita : Suara Merdeka CyberNews, 29 Mei 2011

0 komentar:

Posting Komentar