Senin, 08 Agustus 2011

Kisah Darsem dan Ukuran Kebahagiaan

Sejumlah media dan situs menulis perihal perilaku Darsem, tenaga kerja wanita (TKW) dari daerah Subang, Jawa Barat, yang luput dari hukuman pancung di Arab Saudi. Ia berhasil lolos dari hukuman, karena Pemerintah Indonesia membayar diyat kepada pemerintah Arab Saudi. Setelah selamat, Darsem pulang ke Tanah Air 13 Juli lalu, dan mendapat rezeki berupa uang Rp 1,2 miliar hasil sumbangan masyarakat yang dikelola oleh TV One sebagai wujud simpati mendalam atas penderitaannya selama bekerja di Arab.

Darsem mendapat simpati. Di tengah maraknya beragam kasus yang menimpa wanita pekerja di Arab, terutama pelecehan dan kekerasan seksual, ia berani mempertahankan kesuciannya dari keberingasan sejumlah majikan, berjuang untuk anak tunggalnya dan kedua orang tuanya yang renta, serta rela bertahan di penjara tanpa berpikir akan dijatuhi hukuman pancung. Tetapi Darsem sekarang bak “toko emas berjalan”, berlimpah materi, bisa membangun rumah dan membeli perhiasan berkat sumbangan itu.


Setelah diekspose televisi, perilaku itu menjadi perhatian, yang berbuntut cibiran. Masyarakat tentu berpikir, apa makna simpati yang telah mereka berikan? Memang, uang itu kini menjadi hak pribadi Darsem, dan kita tidak bisa mencampuri untuk apa uang itu digunakan. Yang terpikir, mungkin, alangkah baiknya jika kita mendorong, memotivasi, dan mengarahkan pengelolaannya agar uang itu menjadi lebih bermanfaat, misalnya membantu sesama TKW yang tidak beruntung.

Kasus ini memberi pelajaran agar kita memahami kondisi psikologis penerima sumbangan, sehingga tidak mudah memberikan uang tunai dalam jumlah besar tanpa disertai pengarahan pengelolaannya. Bagaimanapun, uang bisa membuat siapa pun lupa. Mungkin dengan itu Darsem bahagia, setelah sekian lama tertekan. Tujuan hidup seseorang adalah untuk meraih kebahagiaan dengan cara yang berbeda-beda. Dan, mereka yang berpenghasilan rendah masih melihat uang sebagai sumber kebahagiaan.

Tentu setiap individu punya persepsi yang berbeda. Orang yang serba-kekurangan, kesehatan dan lingkungannya buruk, bisa saja merasa hidup bahagia. Sebaliknya, orang yang berkecukupan, kesehatan dan lingkungannya baik malah tidak bahagia. Menurut survei, mayoritas masyarakat kita memilih hidup bahagia meskipun tidak cukup uang. Perempuan desa sesungguhnya tidak terlalu yakin uang bisa mendatangkan kebahagiaan, justru taat agamalah yang merupakan salah satu sumber kebahagiaan.

Secara umum, ada lima variabel yang memengaruhi tingkat kebahagiaan seseorang. Pertama, semakin ia merasa puas dengan kehidupan, akan semakin merasa bahagia. Kedua, semakin kondisi kesehatannya baik, semakin bahagia. Ketiga, semakin sedikit gangguan kesehatan, semakin bahagia. Keempat, semakin merasa aman, semakin bahagia. Kelima, semakin seseorang merasa dirinya mempunyai cukup uang, semakin ia merasa bahagia. Mungkinkah itu yang dirasakan oleh seorang Darsem?
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/08/09/155526/10

0 komentar:

Posting Komentar