Minggu, 21 Agustus 2011

Aktor Intelektual Belum Disentuh

JAKARTA - Penetapan Zaenal Arifin Husein sebagai tersangka pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sengketa calon legislatif (caleg) daerah pemilihan (dapil) I Sulsel dinilai akan menjadi kontroversi berkepanjangan. Pasalnya, aktor intelektual belum tersentuh, sementara polisi hanya berani menetapkan tersangka pada orang selevel Zaenal, mantan panitera MK, dan Mashuri Hasan, mantan juru panggil MK.
Menurut Wakil Ketua Panitia Kerja (Panja) Mafia Pemilu Komisi II DPR Ganjar Pranowo, polisi mungkin takut kepada kekuasaan bila tersangka sebatas dua orang itu. ”Logikanya tidak nyambung kalau membuat aturan tanpa sebuah keputusan. Yang menikmati bukan keduanya, pasti ada yang mengorder dan mengeksekusi. Itu berarti ada jaringannya. Orang-orang yang masuk jaringan itu yang pantas menjadi tersangka,” ujar Ganjar, Minggu (21/8).
Dia menyebut sekarang saatnya bagi kepolisian menunjukkan profesionalitas dan tidak bisa diintervensi dalam bekerja. Politikus FPDIP ini juga mengingatkan aparat tidak berjudi dalam persoalan yang diketahui oleh publik. Apalagi jika berniat membalikkan akal atau rasio masyarakat luas.
”Namun, sampai hari ini saya masih menghormati polisi. Mudah-mudahan ditetapkannya Mashuri dan Zaenal sebagai tersangka itu tahapan yang belum selesai. Saya percaya polisi akan menuntaskan persoalan tanpa meninggalkan cacat,” terangnya.
Ganjar menyatakan polisi bakal bekerja maksimal ketika ditanya apakah panitia kerja yang dipimpinnya akan meminta penjelasan kepada Kapolri. Panja disebutnya masih menunggu dulu penanganan kasus itu.
Meski dua mantan bawahannya sudah menjadi tersangka, Ketua MK Mahfud MD juga menyatakan masih percaya kepada kepolisian. Dia yakin pada waktunya nanti pemalsu surat yang sesungguhnya diumumkan.
Menurut Mahfud, tidak masuk akal ada rekonstruksi dan konfrontasi dengan hasil terlalu fokus kepada orang-orang tertentu jika polisi tidak membidik pelaku utama. Apabila polisi mengabaikannya, bertentangan dengan common sense dan logika hukum.  ”Sejauh yang saya tahu, polisi masih memperkokoh konstruksi kasus dan argumen hukum. Jadi tunggu saja,” tuturnya singkat.

Mencari Aman
Penilaian lebih pesimistis dikemukakan hakim konstitusi, Akil Mochtar. Akil menyebut polisi belum berani mengusut otak dari kasus pemalsuan surat MK dengan ditetapkannya Zaenal sebagai tersangka.
Penetapan dua tersangka yang hanya berasal dari MK bisa diartikan penyidik hanya mencari aman dan berada di bawah tekanan. ”Tampaknya polisi takut mengusut aktor utama karena orang-orang tersebut punya beking politik dan kekuasaan. Dengan pola penyidikan seperti itu, tidak ada harapan mengandalkan kepolisian guna penyelidikan secara profesional,” keluh Akil.
Kepala Bidang Penerangan Umum Polri Kombes Boy Rafli Amar meminta semua pihak bersabar dan percaya penyidik mampu membongkar aktor intelektual. Menurutnya, penyidik Direktorat I Tindak Pidana Umum Bareskrim masih fokus menyelidiki proses pembuatan surat palsu tersebut.
Boy menegaskan, pihaknya baru menetapkan dua tersangka yakni mantan juru panggil MK, Masyhuri, dan mantan panitera MK, Zaenal. Keduanya dijerat dengan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen. ”Penyidik masih fokus ke proses surat palsu. Penyelidikan kasus tersebut masih terus berjalan. Rencananya Zaenal akan diperiksa sebagai tersangka, hari ini, ” ujar Boy di Mabes Polri.
Direktur Nasional Lingkar Madani Ray Rangkuti menyebut perkembangan kasus surat pemalsuan MK memunculkan pertanyaan baru. Penetapan dua tersangka ini sangat berjarak dengan keputusan apapun tentang pemilu.
”Sejauh ini baru dua tersangka yg ditetapkan polisi. Penetapan ini justru menimbulkan pertanyaan baru. Apa motif utama tersangka membuat surat palsu? Apa keuntungan yang mereka raih? Pembelokan ini mencemaskan,” tanya Ray.
Stagnasi penyelidikan di tangan kepolisian bukan saja mengabaikan logika hukum, tapi juga berpotensi mencederai penegakan hukum.
”Pokok soal pada pertanyaan dan sekaligus jawaban adalah apa guna dan untungnya dua pejabat MK membuat surat palsu. Apakah benar mereka bergerak karena keinginan pribadi untuk tujuan yang semata-mata, misalnya kesenangan belaka? Jelas jawabannya tidak masuk akal,” jelas dia.
Menurutnya, logika yang bisa diterima adalah dua tersangka itu beraksi karena ada yang menggerakkan. Menurut Ray, publik perlu lantang mengingatkan kepolisian agar tidak main-main dalam kasus ini. (K24,F4,J22-65)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/08/22/156882/

0 komentar:

Posting Komentar