Kamis, 26 Mei 2011

Martabak Lebaksiu Merajai Indonesia

PETANG segera menjelang. Roni ”Sodong”, warga Tegalkubur, Desa Yamansari, Kecamatan Lebaksiu, Kabupaten Tegal bergegas mendorong gerobak berukuran 2 meter x 60 sentimeter menuju ke perempatan Pasar Ngaliyan, Semarang.

Dibantu istrinya, ia memulai usahanya, menjual martabak telur. Semerbak bau yang khas mengepul dari wajan penggorengan berukuran besar sehingga mengundang selera. Martabak itu dibuat dari adonan tepung terigu, telur, sayuran, dan  cacahan daging.

Banyak warga yang menyukai makanan tersebut sehingga usaha tersebut berkembang. Lebih dari 50 warga Yamansari membuka usaha yang sama di Boja, Semarang, Grobogan hingga Ungaran. 

Tak hanya itu, hampir di setiap sudut kota-kota besar di Indonesia terdapat penjual martabak. Dan, mereka rata-rata berasal dari Lebaksiu. ”Saya pernah jualan martabak di Ambon, Batam, Ujung Pandang, Manado, dan Ternate,” kata Roni.

Ya, beberapa pedagang martabak itu sudah melalang buana sejak puluhan tahun lalu. Tidak hanya di Indonesia, mereka mengadu nasib denga berjualan martabak hingga ke beberapa negara tetangga, seperti Malaysia, Timor Timur, dan Arab Saudi.

Untuk menggaet konsumen, berbagai trik pun dilakukan. Salah satunya dengan menyewa lokasi di depan mini market yang ramai pengunjung. Adi Mawardi, warga Desa Lebaksiu Kidul mengatakan, dirinya dan rekan-rekannya memilih berjualan di depan mini market agar usahanya tetap bertahan karena pesaingan kian tetat.

‘’Saya berjualan di depan Mini Market Yapora, Jalan Raya Lebaksiu. Biaya sewanya antara Rp 300 ribu/ bulan dan Rp 500 ribu/ bulan,’’ kata Adi Mawardi yang pernah berjualan martabak di Solo, Yogyakarta, Cirebon, Ujung Pandang, dan Bali sejak tahun 1972 itu.

Upaya lain untuk mempopulerkan martabak Lebaksiu, para pedagang memecahkan rekor Muri, pembuatan martabak telur terbesar di dunia. Bahkan, setiap pedagang asal Lebaksiu diminta menempelkan fotokopi piagam dari Muri itu di gerobagnya.

”Keuntungan bersih berjualan martabak minimal Rp 300 ribu/ hari. Terkadang mencapai lebih dari Rp 1,5 juta/ hari,’’ terang Adi yang memiliki dua karyawan itu. 

Pedagang lainnya, Asrofi (43) menjelaskan, karena persamaan nasib dan asal daerah, para pedagang martabak Lebaksiu membuat Paguyuban Al Marjan (Paguyuban Anak Lebaksiu Martabak dan Jajanan). Paguyuban tersebut berkembang di setiap daerah dan  menjadi wahana untuk pengembangan usaha.
Tenaga Kerja Tak hanya itu, melalui wadah tersebut mereka ikut serta membangun daerahnya. Setiap tahun, mereka meng­umpulkan sebagian rezekinya untuk membantu guru mengaji di daerahnya. ‘’Tahun lalu, kami memberikan santunan kepada 100 guru mengaji. Ini akan berlanjut setiap tahunnya,’’ katanya.  

Berkembang usaha itu yang begitu pesat membuat sejumlah pedagang kesulitan mencari tenaga kerja. Sebab, lebih dari 1.500 warga Lebaksiu berkecimpung pada usaha yang sama.

”Di Lebaksiu jarang ada pemuda pengangguran. Mereka rata-rata ikut bekerja ke luar daerah menjadi penjual martabak. Bahkan, banyak pedagang yang mencari tenaga kerja dari luar daerah,” jelasnya.

Berdasarkan pantaun anggota DPRD Kabupaten Tegal asal Lebaksiu, M Khuzaeni SE SH, warga di kecamatannya yang berjualan martabak mencapai 60 persen dari total penduduk, sekitar 100 ribu orang. Mereka dari Desa Lebaksiu Kidul, Desa Lebaksiu Lor, dan Desa Kajen. Terbanyak warga Desa Lebaksiu Kidul.

Hampir 80 persen warganya merantau ke luar daerah. Sementara di Desa Lebaksiu Lor sekitar 40 persen dan Desa Kajen sekitar 20 persen. Tingginya angka penyerapan tenaga kerja itu membuat daerah itu tumbuh pesat. Dari sisi ekonomi, di sepanjang Jalan Raya Lebaksiu bermunculan toko dan pusat perbelanjaan. Mayoritas pemilik toko itu adalah mantan pedagang martabak.

”Dari tingkat kesejahteraan bisa dilihat dari rumah pedagang martabak yang rata-rata sudah menggunakan bangunan modern. Bahkan, setiap Lebaran para pedagang itu pulang kampung membawa mobil mewah,” ujar Khuzaeni.

Perkembangan martabak itu juga berpengaruh terhadap pola pikir warga. Setiap pemuda yang akan meminang gadis Lebaksiu biasanya ditanya soal kepemilikan gerobak martabak. ”Jika seorang pemuda memilik satu gerobok, anggapan orangtua sudah cukup untuk meng­hidupi anaknya. Sebab, keuntungan per harinya bisa mencapai Rp 300 ribu,” terang Khuzaeni.

Anggota DPRD dari Fraksi Golkar itu kagung dengan sistem pengembangan usaha oleh pedagang Lebaksiu. Mereka secara terorganisir menjajaki satu daerah dengan bermodalkan ketekunan. Setelah mendapatkan pangsa pasar, mereka memanggil rekan-rekannya untuk berjualan di daerah tersebut.

Perburuan wilayah itu terus berlanjut ke daerah lainnya yang belum terjamah produk martabak. Hal itu yang membuat martabak Lebaksiu ada di setiap kota di Indonesia. Bahkan, martabak Lebaksiu sudah dipasarkan di Timor Timur.

‘’Teman saya ada yang berjualan di Timor Timur. Selain itu, ada juga jualan di Malaysia dan Arab Saudi. Namun, perkembangannya kurang bagus,’’ katanya.
Sumber Berita : Suara Merdeka, 27 Maret 2011

0 komentar:

Posting Komentar