Minggu, 26 Juni 2011

Batu Sentuhan Tuhan

BATU, seperti juga pasir, air,  tanah, pohon, dan semua ”produk” Tuhan diyakini memiliki ”nyawa”. Pohon itu ”bernyawa” karena ia bisa tumbuh besar, sangat besar, dan akhirnya menuju kematian. Jika ada sumber air yang cukup, tak disentuh oleh tangan jahil, dan tidak terlanda badai dan gempa, ia akan terus tumbuh dan membesar. Karena itu, berbeda dari manusia, umur pohon bisa mencapai ratusan, bahkan ribuan tahun.  Seperti  hari ini kita masih bisa menyaksikan pohon tertua di dunia, yakni Pohon Ek Plm di Kalifornia yang diperkirakan berusia 13.000 tahun.  Ada juga pohon Jhomonsugi di Yakushima, Jepang, yang diperkirakan berumur 7.200 tahun. Karena bisa tumbuh dan berkembang, ia hampir dipastikan punya ”nyawa”.
Lalu bagaimana batuk akik? Seperti juga ”produk” Tuhan yang lain, batu ini juga diyakini memiliki ”nyawa”. Entah karena pengaruh cuaca, pancaran sinar mahatari, atau alam semesta, batu ini  beraneka warna. Ada hijau, kuning, merah, putih, biru, dan hampir semua warna. Batu yang paling tua, biasanya masuk kategori berlian. Dari sudut pandang agama, batu yang berwarna-warna tersebut menjadi sedemikian rupa akibat sentuhan Tuhan.  Seperti pohon yang memiliki gurat-gurat jelek, maupun indah, semua lahir dari tangan-Nya.
Karena itu keindahan batu dengan segala aneka gurat emas, perak, lembayung, dan lain-lain terjadi karena ada ungkapan, ”Kun fayakun....” dari Tuhan.  Ini sentuhan langsung dari Tuhan.
Ada sentuhan tidak langsung dan manusialah yang menjadi alat Tuhan. Lahirlah kemudian berbagai macam patung dan lukisan kelas wahid yang lahir dari tangan-tangan terampil Michel Angelo, Salvador Dali, Raden Saleh, Afandi, dan sebagainya.  Mereka menjadi alat Tuhan. Dan mereka melukis semua kebesaran produk Tuhan, entah berupa hewan, pemandangan yang indah, ayam sedang berlaga, atau ”Monalisa”. Kuda berlari di tangan Salvador Dali sedemikian ”hidup” dan dahsyat serta dikagumi mereka yang memiliki selera seni tinggi. Lalu, apa salahnya jika seseorang mengagumi ”lukisan” Allah langsung seperti yang terpahat cantik di bongkahan-kongkahan batu kecil yang bernama akik. Lukisan Allah di batu safir, mirah, topaz, sulaiman, yang bukan hanya patut dikagumi, tetapi bahkan ”harus” dikagumi.
Allah menggurat salah satu batu safir nan cantik dan memesona yang ditatah menjadi cicin Lady Diana dan kemudian dikenakan oleh istri Pangeran William, Kate Midleton. Jika tak memiliki unsur cantik dan memesona, siapa yang mau menjadi ”pewaris”?
Seperti ada hujan emas di batu akik. Terlihat terang benderang, dan jernih. Tetesan air hujan terlihat kuning keemasan. Lalu, para penggemar akik menyebutnya ”udan emas”. Siapa yang ”melukis”? Nah, penggemar akik pun memberikan asosiasi, bahwa ”udan emas” itu jika dipakai seseorang dan diberkati Allah, maka akan melancarkan rezeki.
Jika kemudian yang terjadi memang demikian, maka bekah Tuhan bekerja. Manakala tidak, ya hanya sebatas sebongkah batu kecil dan meski dikenakan selama hidup pun  bisa saja tetap miskin. Diyakini Tuhan memberkati semua ”produk”-Nya sendiri. Jadi, manakala berkat Tuhan bekerja di pohon, di batu Ponari (Jombang), batu akik pejabat, pengusaha, maka tidak ada yang salah.
Seperti orang memakai kacamata, sepatu, ikat pinggang, gelang, kalung dan sebagainya hampir dipastikanmengenakan akik pun dengan pertimbangan kepantasan sebagai aksesori.  Syukur menambah kecantikan, kegantengan, kemegahan, dan lain-lain. Jika seorang merasa sreg mengenakan safir biru, misalnya, dan dia merasa ”nyaman”, itu sama artinya dia memakai pakaian dengan pertimbangan sreg dan nyaman. Karena itu, sebenarnya terlalu jauh menghubungkan akik dengan syirik. Menikmati keindahan Allah di sebongkah akik tentu tak ada yang salah bukan? (33) 
l  Hendro Basuki
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/26 Juni 2011

0 komentar:

Posting Komentar