Minggu, 26 Juni 2011

Darsem Bebas dari Qisas

AKARTA-Tidak mau kecolongan lagi seperti kasus Ruyati yang dihukum pancung, pemerintah cepat-cepat membayar diyat Rp 4,7 miliar untuk Darsem. Uang telah dibayarkan KBRI di Riyadh ke pengadilan.

Hakim pun sudah menandatangani surat pembebasan Darsem dari hukuman mati.
”Tiga Hakim di pengadilan telah membuat keputusan bebas qisas,” kata juru bicara Kemlu, Michael Tene dalam keterangannya, Sabtu (25/6).

Pembayaran dilakukan resmi pada hari ini (kemarin-Red) oleh KBRI ke keluarga majikan Darsem melalui Ketua Lembaga Lajnah Islah yang mengurusi diyat. ”Secara resmi telah menyerahkan uang cek diyat. Dengan demikian bebas dari qisas yang ditetapkan melalui keputusan hakim,” terang Michael.

Namun, Darsem tetap meringkuk di tahanan. Dia akan menjalani hukuman. Namun, masih terbuka kemungkinan Darsem segera dibebaskan.

”Bebas murni terbuka, namun belum bisa dipastikan,” kata juru ichael Tene. KBRI Riyadh, lanjutnya akan mengupayakan agar Darsem bisa segera bebas dari hukuman bui. ”KBRI mengupayakan pembebasan,” jelas Michael.
Uang diyat yang dibayarkan hanya membebaskan Darsem dari hukuman pancung. Namun tidak dari hukuman fisik, kuat dugaan dia kan di penjara hingga hitungan tahun di Arab Saudi.
”Untuk tuntutan publik belum lepas,” tutur Michael.

Darsem divonis bersalah telah membunuh saudara pria majikannya di Arab Saudi. Pembunuhan itu terpaksa dilakukan sebagai upaya membela diri karena pria tersebut akan memperkosanya, pada Desember 2008. Oleh pengadilan Arab Saudi, dia dijatuhi hukuman mati.

Langgar

Sementara itu pembentukan Satgas TKI oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan moratorium TKI yang akan diberlakukan Agustus masih menuai kritik. Selain dinilai bukan langkah politik kongkrit dan hanya solusi instan, keputusan itu juga dinilai melanggar hak-hak asasi buruh.   
Menurut analis Migrant Care Wahyu Susilo, pembentukan satgas ini dinilai sebagai solusi instan dan hafalan karena SBY sebelumnya cukup sering membentuk satgas-satgas untuk mengatasi suatu permasalahan.

Menurut Wahyu, kebiasaan presiden membentuk Satgas tidak bisa selalu dipandang sebagai sesuatu yang positif. Wahyu menganggap perlu dilakukan langkah politik yang kongkrit yang dilakukan langsung oleh Presiden SBY.
”Kalau sekarang bikin Satgas, saya pikir mengulang hal yang sama. Perlu political action yang kongkrit dari SBY. Seperti mendatangi Raja Arab Saudi,” paparnya dalam diskusi di Jakarta kemarin.

Sementara itu untuk memperbaiki kinerja membela WNI yang terancam hukuman mati di luar negeri, Solidaritas Perempuan mengeluhkan dampak moratorium pengiriman TKI
Komunitas Solidaritas Perempuan (SP), Mendesak SBY agar membatalkan moratorium TKI yang akan diberlakukan Agustus nanti. Mereka juga menyarankan agar SBY lebih mengedepankan perspektif HAM dalam mengelola sistem perlindungan buruh migran Indonesia.

”Moratorium justru melanggar HAM buruh migran karena menghalangi buruh migran untuk bermigrasi,” kata Ketua Badan Eksekutif Nasional SP, Risma Umar terpisah.
Menurutnya, kebijakan pemerintah mengeluarkan moratorium malah membuat hak warga negara untuk meraih pekerjaan yang layak semakin sempit.
”Moratorium merupakan kebijakan yang semakin menguatkan pelanggaran hak warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak,” tegasnya.

Solidaritas Perempuan juga menyatakan, ditengah sulitnya lapangan pekerjaan, moratorium bisa menambah jumlah pengangguran wanita. Dan meningkatkan arus migrasi buruh Indonesia ke luar negeri melalui jalur-jalur tidak resmi.
”Kebijakan moratorium di saat maraknya PHK dan sulitnya lapangan kerja di dalam negeri menyebabkan perempuan Indonesia terperangkap pada situasi pemiskinan dan kehilangan kontrol untuk menopang beban hidup dan keluarganya,” terang Risma.

Prof Sulistyowati Irianto pengamat masalah gender Universitas Indonesia mengatakan, migrasi merupakan hak azasi manusia yang harus dihormati, dan banyak sekali jalan yang bisa dilakukan pemerintah untuk melindungi TKI daripada melarang warga negaranya melakukan migrasi demi perbaikan nasib.
 ”Yang terpenting adalah adanya akses keadilan, dan bantuan hukum kepada para TKI kita. Adil sejak dari penyusunan kontrak, juga bantuan hukum yang mencapai mereka,” katanya.

Indonesia, menurutnya, bisa mengoptimalkan bargaining power terhadap negara Arab. Namun juga harus dibenahi pelatihan TKI di dalam negeri. ”Juga harus dipahamkan bahwa kenyataannya orang Arab itu memang meremehkan buruh migran. Makanya kita harus mengirimkan TKI yang mampu bekerja di sektor formal yang lebih dipandang orang Arab daripada PRT (sektor informal) yang sering dianggap orang rendahan dan rentan diperlakukan semena-mena,” katanya.

Ajak Kades

Sementara itu Menakertrans Muhaimin Iskandar meminta para Kepala Desa dan Camat ikut membantu mencegah berangkat ke Luar Negeri TKI yang tak berkualitas. Peran ini harus dilakukan untuk mengimbangi iming-iming gaji  besar yang sering disosialisasikan oleh para calo tenaga kerja. Muhaimin juga meminta peran ulama untuk kembali mensosialisasikan fatwa MUI. Pasalnya, sejak sejak 1980-an sudah ada fatwa MUI yang melarang jadi TKW ke Luar Negeri. Tapi seruan dan fatwa itu tidak bisa membendung logika ekonomi rakyat yang miskin. ”Tapi tetap sosialisasikan lagi saja,” kata Muhaimin dalam acara Dialog Polemik bertema Nasib Ruyati dan Harga Diri Negeri di Warung Daun Cikini kemarin.

Muhaimin juga berjanji akan menggunakan  ”tangan besi” terhadap PJTKI yang masih melakukan penempatan dan pengikatan kontrak yang merugikan dan menjerumuskan TKI.
Muhaimin lebih jauh mengatakan bahwa data terakhir menyebutkan bahwa 47 persen TKI  di LN berpendidikan SD dan ke bawah. Hal ini menyebabkan bargaining power TKI rendah, sehingga tidak bisa masuk sektor formal dengan kualifikasi tertentu.

”Kita ingin TKI yang bekerja punya pendidikan dan keahlian dan mampu bekerja di  sektor formal.”
Dalam kesempatan yang sama, Imas, TKI asal Majalengka Jawa Barat meminta Muhaimin peduli akan nasib TKI yang berprofesi PRT agar tidak bernasib seperti dirinya.
”Saya pernah kerja di Kuwait, pertama kerja di majikan yang galak, gampang mukul dan nendang. Saya mengadu ke KBRI, tapi diminta diselesaikan ke agensi. Sama agensi saya dijual lagi ke majikan lain, bahkan mau diperkosa sama majikan yang baru. Saya minta nasib kami dilindungi,” kata Imas.

Muhaimin juga mengatakan, perlindunga terhadap TKI tak bisa berdiri sendiri. Perlu kerjasama berbagai pihak lintas sektor agar hal ini bisa efektif. Menurutnya pemerintah sudah meminta Arab Saudi agar memperlakukan TKI yang bekerja disana sebagaimana layaknya pekerja formal lainnya. Juga jangan ada lagi TKI yang tinggal di rumah majikan sehingga harus kerja hampir 24 jam.

”Kalau bisa nanti mereka kerja dengan jam yang ditentukan. Tapi mereka pulang pergi dari pondokkan ke rumah majikan. Namun proses ini tidak mudah, tapi tetap kita harus melakukannya,” katanya.(F4,dtc-80)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/26 Januari 2011

0 komentar:

Posting Komentar