Sabtu, 02 Juli 2011

Richard Gere dan Borobudur

Kedatangan Richard Gere ke Borobudur  adalah usaha promosi wisata yang menarik walau pasti tidak yang paling menarik. Itu keputusan promosi yang relatif mudah. Tinggal memadukan dua nama besar, satu Borobudur, satu Richard Gere. Yang susah pastilah cuma biaya besar untuk mengundang nama besar. Tapi itu sungguh bisa dibuat mudah bukan?
   
Borobudur itu sebetulnya sudah tidak perlu promosi lagi. Candi itu sudah  terlalu besar untuk dipromosikan apalagi dengan jurus promosi ‘’hafalan’’. Danau Loch Ness di Sekotlandia tak perlu mengundang Ronaldo untuk menarik turis, Taj Mahal tak perlu mengundang Mike Tyson dan Bali tak perlu mengundang Julia Roberts. Artis itulah yang malah membutuhkan berkunjung ke Bali untuk syuting. Justin Bieber yang diundang ke Jakarta tetapi butuh singgah ke Bali atas inisiatifnya sendiri. Apa ini karena hasutan Menteri Pariwisata? Tidak. Bali telah memiliki daya hasutnya sendiri, begitu  juga Borobodur. Sebelum Richard Gere Lahir, Candi itu sudah memukau orang dari seluruh dunia.
   
Jadi, promosi yang mendesak kita lakukan di hari-hari ini adalah  mencegah seluruh inisiden yang anti promosi. Apa itu? Kemerosotan bangsa. Di hari-hari ini, popularitas Borobudur pasti tenggelam oleh isu  korupsi. Belum sempat masyarakat dunia menikmati keajaiban Borobudur sudah keburu diperlihatkan keajaiban baru bernama Lumpur Lapindo. Itu lumpur ajaib sepanjang sejarah yang  alirannya tanpa henti seperti hendak  mengosongkan perut bumi, hingga kini.
   
Jadi jelas, ketertarikan pariwisatata itu bukan hanya tempat tapi juga nilai. Malah, hanya dengan nilai,  gua berbatu, panas , terjal dan  tinggi pun tak pernah lengang dikunjungi. Lihatlah Gua HIra itu. Bahkan di panas  terik jalan terjal menujunya di penuhi ular-ularan antrean.
   
Persoalannya, nilai apa yang sekarang ini sanggup kita tawarkan. Tentu, memasuki Borobudur dengan cara mengitari pedagang kakakilima yang berliku-liku itu bukan tawaran menarik. Mengitari jalur paksa ini sudah setara mengitari sekujur  candi. Saya tidak  tahu apakah Richard Gere juga harus menempuh prosedur ini. Saran saya sebaiknya ia juga harus  mengerti keadaan ini. Kalau tidak, Borobudur hanya akan terasa indah bagi orang tertentu tapi tidak bagi turis kebanyakan.
   
Karena inilah persoalannya, setiap ada keindahan di Indonesia, selalu ada persoalan sosial di bawahnya. Borobudur yang indah menantang di ketinggian sana, ada jalur rumit kaki lima di depannya. Tetapi inilah sayangnya, kakilima itu bukan  persoalan sesungguhnya. Kakilima di  setiap trotoar  kota di Indonesia ini pasti bukan juga persoalan sesunguhnya. Persoalan yang asli ada di jauh ke dalanman sana  tetapi terlihat  begitu jelasnya: kepemimpinan. Karena pemimpin sekarang ini tidak tunggal maka kata kepemimpinan jauh lebih cocok katimbang pemimpin. Sekarang ini, kegagalan kepemimpinan itu terperagakan dengan begitu nyata. Banyak pemimpin yan tidak  cuma dinyatakan gagal tetapi malah menjadi terpidana.
   
Di dalam iklim gagal kepemimpinan semacam itu, akan banyak  sekali ditemui kegagalan keteladanan, kegagalan kepatuhan dan akhirnya kegagalan hukum. Maka jika cuma kesalahan kakilima itu apalah artinya dibandingkan dengan kesalahan  para pemimpin. Kebenaran seorang  pemimpin, akan membuat daerahnya  menjadi turistik  dengan sendirinya.  Buktikan saja.
(Prie GS/bnol)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/1 Juli 2011

0 komentar:

Posting Komentar