Sabtu, 02 Juli 2011

Megawati: Negara Gagal

TRIBUNNEWS/DANY PERMANA
Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati
Soekarnoputri menyampaikan pidato politiknya dalam acara ulang tahun
ke-38 PDI-P di Kantor DPP PDI-P, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Senin
(10/1).
Jakarta, Kompas - Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Megawati Sokarnoputri menilai negara gagal meletakkan fondasi dasar
bagi pencapaian kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial.
Megawati menyampaikan hal itu dalam pidato politik memperingati ulang
tahun ke-38 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Senin
(10/1) di Jakarta. Hadir sejumlah tokoh, antara lain Ketua Umum Partai
Demokrat Anas Urbaningrum, Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Akbar
Tandjung, Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto, Sekretaris
Jenderal DPP PPP Irgan Chairul Mahfiz, mantan Ketua Mahkamah
Konstitusi Jimly Asshiddiqie, serta mantan Kepala Staf TNI Angkatan
Darat Jenderal (purn) Ryamizard Ryacudu.
Menurut Mega, klaim pemerintah tentang keberhasilan statistik
makroekonomi tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan
rakyat.
Ironi rakyat kecil di sejumlah daerah yang bunuh diri karena tidak
mampu menanggung beban hidup yang semakin berat menjadi gambaran
betapa sulitnya rakyat berjuang hidup-mati hanya untuk memenuhi
kebutuhan dasar.
Selain fenomena bunuh diri di sejumlah daerah karena kenaikan harga
melebihi daya beli masyarakat, Megawati juga mengangkat persoalan
pengurangan secara sistematis atas subsidi untuk rakyat. Di sisi lain,
pemerintah dinilai terus melakukan pemborosan anggaran, mengedepankan
impor sebagai opsi penyelamatan pemenuhan kebutuhan dalam negeri,
serta membiarkan ketergantungan sumber pembiayaan APBN dari pinjaman
luar negeri.
Menurut dia, sudah saatnya pameran keberhasilan indikasi makroekonomi
dihentikan, digantikan dengan gerakan ekonomi kerakyatan yang bertumpu
pada kekuatan rakyat. Dengan kekayaan sumber daya alam yang dimiliki,
Indonesia seharusnya mampu mencukupi kebutuhan pokok dalam negeri dan
berdikari di bidang ekonomi.
Ditanya wartawan, Akbar sependapat dengan Megawati soal kemiskinan.
"Kita sekarang memang prihatin, angka inflasi tinggi, rakyat yang
miskin tetap saja masih tinggi, harga-harga terutama yang berkaitan
dengan kebutuhan dasar pangan masyarakat terus naik," katanya.
Sementara Anas menilai, kritik Megawati kepada pemerintah merupakan
sesuatu yang normal. Kritik itu bukan hanya sah dalam demokrasi,
melainkan jika diolah bisa menjadi energi positif yang memacu kinerja
pemerintah agar makin baik. "Kita tidak boleh alergi kritik. Kritik
itu bagian yang baik dari demokrasi. Jadi, kita nikmati keindahan
demokrasi itu," katanya.
Substansi pidato Megawati, kata Anas, memiliki spirit yang sama dengan
pemerintah, yakni keinginan menyejahterakan rakyat. Hanya saja, karena
posisi partai berbeda, perspektifnya menjadi agak berbeda. "Yang
penting adalah bagaimana semuanya menjadi bagian dari pembangunan
demokrasi dan kesejahteraan rakyat," katanya.
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Syarifuddin Hasan, yang juga
anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, menepis tudingan Mega itu.
"Kemajuan ekonomi yang dicapai Pak SBY lebih baik dari pemerintahan
Ibu Mega," kata Syarifuddin saat ditanya Kompas di sela-sela rapat
kerja pemerintah di Jakarta, kemarin.
Sementara di tempat yang sama, Hatta Rajasa, yang juga Ketua Umum DPP
Partai Amanat Nasional, mengatakan, "Kalau kita bilang kita sudah maju
semuanya, tentu itu kurang tepat."
"Yang jelas, kita ini banyak mencapai kemajuan, akan tetapi masih
belum cukup dan harus terus ditingkatkan lagi bagi kesejahteraan dan
keadilan rakyat," kata Hatta lagi.
Dalam pidatonya, Megawati juga menyampaikan keprihatinannya tentang
sulitnya menemukan pemimpin yang memiliki kesatuan antara perkataan
dan perbuatan.
"Lihatlah di televisi dan berbagai media. Semakin banyak menteri dan
kementerian yang lebih sibuk mengiklankan diri ketimbang bekerja untuk
kesejahteraan rakyat. Hal ini juga berlaku bagi sejumlah kepala
daerah," imbuhnya.
Soal Yogyakarta
Mega juga melihat kecenderungan kepemimpinan nasional yang lebih
produktif menciptakan polemik ketimbang menjadi rujukan integritas
kebangsaan. Kasus debat tanpa kesudahan atas status keistimewaan
Yogyakarta menjadi ironi bagaimana rakyat akhirnya dipaksa memilih
antara kesetiaan kebangsaan atau kedaerahan. "Sebuah ironi dalam
pengelolaan kekuasaan negara karena lunturnya pemahaman terhadap
sejarah," katanya.
Megawati juga mengemukakan, PDI-P harus memberikan perhatian ekstra
pada proses kaderisasi dan regenerasi intern.
(HAR/WHY)
http://cetak.kompas.com/read/2011/01/11/0239401/megawati.negara.gagal
--

0 komentar:

Posting Komentar