Rabu, 29 Juni 2011

Saya Dizalimi

BERKAUS oblong abu-abu dan celana khaki krem, pagi itu Agus Riyanto SSos MM tampak seperti bukan seorang bupati. Padahal siapa pun tahu, pria kelahiran Tegal 16 Agustus 1965 ini telah memimpin daerah penghasil teh itu sejak 2004.
Dan mayoritas dari satu juta lebih pemilih Pilkada Tegal 2008 kembali memilihnya untuk kali kedua.
Namun, sejak Selasa (28/6), suami Marhamah ini harus menanggalkan sejenak jas putih kebesarannya.

Status tersangka kasus dugaan korupsi proyek Jalan Lingkar Kota Slawi (Jalingkos) 2006-2007 yang disandangnya sejak 20 November 2010 sebentar lagi berakhir.
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Tengah menyatakan penyidikan selesai dan kasus akan segera berlanjut ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Selama menunggu jadwal sidang, Agus harus menghabiskan hari-harinya di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kedungpane Semarang.

Bagaimana sang bupati menghadapi kenyataan ini? Ditemui di ruang tunggu LP Kedungpane, Rabu (29/6) kemarin, jebolan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta ini menjawab dengan tenang.
”Apakah saya takut? Jujur, jelas ada ketakutan. Namun ketakutan itu lebih karena bila fakta hukum yang digunakan tidak sesuai dengan apa yang  terjadi,” ujarnya.

Selama dua jam berbincang, ketenangan itu jualah yang terpancar. Agus sama sekali tidak tampak tertekan. Bahkan dia mengaku menikmati malam pertamanya di tahanan Blok J Nomor 8 LP Kedungpane.
 Situasi terasing yang acap dirasakan orang yang pertama masuk jeruji besi, tidak ia temui. Malah Agus bisa berkelakar dengan nyaman bersama para penghuni lama yang sudah banyak dikenalnya. ”Ngobrol dengan Pak Mardijo (mantan Ketua DPRD Jateng), Pak Hamid (tersangka kasus Jatirunggo) dan lainnya, setelah itu tidur nyenyak sampai pagi,” ujarnya.

Namun bukan berarti Agus tanpa beban.
 Diakui atau tidak, menjadi pesakitan di tahanan bukanlah cita-citanya ketika menerima mandat rakyat sebagai bupati. Dengan emosi yang tetap terkendali, Agus mengungkapkan bahwa dia merasa dizalimi.
Penyidikan Jalingkos, menurutnya, tidak pernah sampai pada substansi. Padahal yang dipersoalkan pertama adalah masih adanya empat warga yang belum menerima ganti rugi.

”Tapi kejati tidak ke sana. Menahan saya tidak membuat empat warga itu menerima haknya. Banyak keganjilan dalam penyidikan ini yang berasal dari penyidik sendiri,” jelasnya.
Diceritakannya, ketika pertama kali ditetapkan sebagai tersangka, ia masih tenang karena memang tidak melakukan perbuatan korupsi.

Namun sejak pemeriksaan kedua pada pertengahan Februari, sejumlah keanehan menggiring opini bahwa ada rekayasa untuk menjatuhkan. Dari pertanyaan-pertanyaan penyidik yang dinilainya tidak fair, adanya sejumlah pihak yang tidak pernah diperiksa, penyitaan asetnya yang ganjil dan banyaknya fakta yang dikesampingkan.
”Saya dikorbankan kejaksaan, ada rekayasa untuk memaksakan saya menjadi tersangka kemudian terdakwa,” kata bapak tiga putri ini.

Sejak itu ayah dari Rosmalia Yulia, Dian Aulia, dan Enka Mutu Manikam ini menyiapkan mental dan hati. Juga menyiapkan sejumlah disposisi pada wakilnya untuk menggantikannya selama dibui.
Karena pekerjaan itulah dia sempat beberapa kali tidak memenuhi panggilan pemeriksaan kejati.
Bahkan malam sebelum ditahan atau Senin (27/6) malam, Agus telah mengumpulkan seluruh muspida Kabupaten Tegal.

”Feeling saya tidak pernah salah. Saya sudah merasa akan ditahan, makanya saya siapkan. Berangkat dari Tegal, saya sudah bawa pakaian ganti,” kata anggota grup musik indie ”G-One” yang didirikannya pada 2006 itu.
Keyakinan tersebut semakin kuat setelah dia benar-benar merasakan dinginnya malam di tahanan.

”Ternyata saya tidak sendiri. Banyak di sini yang juga merasa terzalimi. Dengan cara begini, pemberantasan korupsi tidak akan berhasil di negeri ini karena tidak pernah sampai substansi. Aksi aparat hanya menghasilkan orang-orang teraniaya dan barisan sakit hati,” katanya dengan nada meninggi.
Semakin lantang, Agus menyatakan bahwa Kejati Jateng mempertaruhkan reputasinya dalam kasus Jalingkos ini. Didukung pengacaranya Wilson Tambunan dan Winarno Djati, Agus menantang kejati di pengadilan untuk adu fakta dan bukti.

”Tapi apakah ada sanksi untuk penyidik jika ternyata penyidikannya tidak terbukti? Kasus ini dipaksakan,” tegasnya.  Namun kelantangan Agus itu cepat melunak kembali. Terlebih setelah sang istri, Marhamah, tiba di Kedungpane dan membawakan nasi bungkus untuk makan pagi. Sebelumnya, Agus  mengakui bahwa di atas semuanya ia lebih memikirkan tekanan yang dihadapi anak dan istri.

”Paling berat anak-anak, ini baru saja putri saya SMS. ‘Bapak pripun, kabare sae? bapak sing sabar  ja....” kalimatnya tak selesai, terpenggal oleh air mata yang jatuh membasahi layar ponselnya. (Anton Sudibyo, Modesta Fiska-43)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/30 Juni 2011

0 komentar:

Posting Komentar